Oleh: Waskito Giri Sasongko, Pemerhati Budaya

Benarkah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden Republik Indonesia Keempat itu, ternyata tak pernah hadir dalam momen pernikahannya sendiri? Ya, benar.

Saat itu Gus Dur berjarak lebih dari 12.000 km. dari Indonesia. Gus Dur tengah melangsungkan studi di Universitas Baghdad, Irak, setelah sebelumnya juga pernah studi di universitas tertua di dunia, Universitas Al-Azhar, Mesir, namun tak berhasil lulus. Sedang gadis pujaan hatinya Sinta Nuriah berada di Indonesia, setelah lulus sekolah menengah di Pesantren Tambakberas, Jombang, dan berencana mondok di Jogja karena mulai kuliah di IAIN Sunan Kalijaga.

Greg Barton dalam Biografi Gus Dur  (2016) mencatat pernikahan Gus Dur berlangsung pada September 1967. Barton juga mencatat keganjilan momen pernikahan kedua pasangan itu. Apa pasal? Gus Dur tak hadir dalam pernikahan itu, dan ia diwakili oleh kakeknya, Kyai Bisri Syansuri. Para tamu undangan kaget dan heboh, saat melihat seorang Kyai berusia 81 tahun bersanding dengan seorang pengantin perempuan muda usia.

Akan tetapi, tampaknya Barton luput mencatat keganjilan lain dalam momen perkawinan Gus Dur. Apakah itu? Ada ritus keris, sebuah tradisi unik dari kaum priyayi Jawa.

Anda sudah membaca novel Gadis Pantai, bukan? Betul, mungkin mirip halnya kisah Bendoro dengan Mas Nganten dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, ketidakhadiran Gus Dur dalam momen sakral pernikahannya itu juga digantikan sebuah keris. Kita bisa menduga, seperti lazimnya makna keris dalam tradisi Jawa, keris secara simbolis merepresentasikan keberadaan pemiliknya. Selain kakeknya Kyai Bisri Syansuri, saat itu juga ada sebuah keris yang dianggap sebagai representasi sosok Gus Dur.

Mungkin sebagian pembaca terkejut mendengar fenomena pernikahan Gus Dur. Terlebih bagi yang telah membaca karya-karya realisme-sosialis buah pena Pram.

Bagaimana tidak, Gadis Pantai berhasil ditulis jadi lakon yang sepenuhnya hidup. Karakter Mas Nganten dirupa sedemikian hingga mewakili aspek kemanusiaan kita sendiri yang dilindas relasi kuasa kelas dan kalah; sedang karakter Bendoro juga berhasil dirupa negatif sebegitu rupa hingga sepenuhnya maujud antagonistik dalam ruang imajinasi kita.

Stereotipe priyayi Jawa. Selain dicitrakan feodal, suka di-subyo namun piawai menjilat ke atas, Bendoro juga dilukis sebagai laki-laki patriarkh gemar kawin-mawin. Di akhir kisah, Bendoro diceritakan bahkan sampai hati memulangkan Mas Nganten pada orang tuanya setelah sang priyayi itu beroleh anak dari rahimnya.

Demikianlah, stereotipe laki-laki priyayi Jawa seturut Pram. Kita tentu tahu, Pram sangat antipati terhadap budaya feodalisme Jawa. Bicara feodalisme Jawa sama sekali tiada aspek positif sedikitpun dan cenderung selalu ditulis hitam-putih. Ini mudah dipahami, mengingat posisi intelektual-ideologis Pram adalah sengaja mengkritik tajam dekadensi feodalisme dalam budaya Jawa.

Sementara, dari penelitian lapangan etnografi, Clifford Geertz juga mencatat ritus keris dalam perkawinan Orang Jawa di masa lalu. Dalam The Religion of Java, buku yang mempopulerkan istilah abangan, santri, dan priyayi itu, Geertz menulis: “Pada zaman dahulu, seorang priyayi tinggi yang mengawini gadis dari kelas yang lebih rendah (biasanya istri kedua) tidak akan hadir dalam pesta perkawinan, tetapi hanya mengirimkan kerisnya.”

Anehnya, lanjut Geertz terkejut, pola ritus budaya yang menurutnya sudah usang ini ternyata masih hidup saat ia riset lapangan di Modjokuto kisaran 1953-1954. Modjokuto adalah nama samaran Pare, desa yang kini identik dan sohor sebagai Kampung Inggris, di Kediri, Jawa Timur.

Pernikahan Gus Dur sendiri digelar tahun 1967, hampir satu setengah dekade sejak Geertz merampungkan riset etnografisnya. Gus Dur bukan asli Pare, ia lahir Jombang. Bukan pula seorang priyayi tinggi. Ia adalah seorang santri. Membaca Gadis Pantai, karakter Gus Dur adalah antithesis Bendoro. Membaca catatan Geertz dalam The Religion of Java, representasi keris sebagai pengganti Gus Dur dalam pernikahannya jelas bukan karena ada motif poligami. Bukan istri kedua, Sinta Nuriah adalah istri pertama dan satu-satunya.

Catatan sejarah cucu KH Hasyim Asyari itu bukan saja dikenang sebagai sosok bersahaja dan humoris, juga menyandang atribut pembela pluralisme dan hak-hak kaum minoritas. Selain itu, jelas Gus Dur bukanlah patriarkh laiknya Bendoro. Bahkan sebaliknya, sekalipun tak pernah mendaku diri sebagai laki-laki feminis seperti Rocky Gerung, misalnya, kita tahu ide-ide pemikiran Gus Dur tak sedikit terlihat turut  memperjuangkan dan mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan kaum perempuan. Kita ingat, Gus Dur bahkan pernah mendesain upaya pelokalan istilah kesetaraan gender dengan mengenalkan istilah “mitra sejajar” sebagai penggantinya.

Ya, Gus Dur adalah Guru Bangsa, sebuah nama besar yang terpatri kuat pada eksistensinya. Rasanya tak berlebihan kiranya publik menempatkan tokoh ini sebagai demokrat sejati sekaligus negarawan par excellent.

Bicara Gus Dur sebagai santri, namun tak jengah mempraktikan ritus kalangan priyayi—yaitu menempatkan keris sebagai pengganti eksistensinya dalam momen sakral pernikahannya—jelas momen itu merupakan isyarat penting dalam peristiwa kebudayaan: bahwa sejak mula sebenarnya terdapat irisan dan titik temu kultural di antara kaum santri dan priyayi.

Kata kunci irisan dan titik temu kultural antara santri dan priyayi adalah Islam Sufisme dan nalar simbolik. Dan bicara semesta nalar simbolik dalam budaya Jawa, keris jelas menempati posisi yang terhormat.

The Power of Symbol

Mengutip fungsi keris dari laman UNESCO, ditulis: “…spiritualitas dan mitologi yang kaya berkembang di sekitar belati ini. Selain untuk pajangan, juga bermakna sebagai jimat yang diyakini penuh kekuatan magis, senjata, pusaka keramat, dstnya… “

Ada hal menarik patut disimak: selain bermakna jimat dan pusaka keramat, keris juga memiliki aspek magis, atau dalam bahasa Jawa lazim disebut “tanjeg” atau “sipat kandel.”

Pertanyaannya: “Apakah keyakinan bahwa keris atau benda keramat tertentu lainnya dianggap sebagai jimat atau azimat adalah monopoli kaum priyayi Jawa saja?” Jawabannya tentu “tidak”.

Tradisi pesantren NU, terlebih tarekat Sufi, tentu mengenal baik tradisi seni rajah. Rajah yaitu jimat atau azimat yang dibuat dengan medium kertas, kain, kulit binatang, dsbnya. Lazimnya berisi tulisan tertentu dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan minyak khusus tertentu pula. Isi tulisan bisa berupa Asmaul Husna atau penggalan ayat-ayat Quran, atau bahkan tak jarang hanya sekumpulan huruf dan angka Arab yang membentuk pola gambar tertentu.

Tentu saja, rajah dipercaya memiliki daya atau fungsi magis. Rajah diyakini bisa berfungsi sebagai perantara penyembuhan, pemberi daya kesaktian, kharisma, keselamatan, pengasihan, dsbnya, tentu dengan syarat pemiliknya intens melakukan amalan-amalan tertentu seperti puasa atau dzikir dsbnya. Dalam konteks tradisi seni rajah di pesantren inilah, bukan tak mungkin keris dan seni pamor-nya mendapat ruang apresiasi di kalangan kaum santri.

Seni pamor sendiri yaitu pola hiasan yang terbentuk dari perpaduan beberapa logam pada bilahnya. Secara etimologi, kata pamor berasal dari bahasa Jawa, “amor” atau “awor”, yang berarti bercampur atau berpadu. Material bahan pamor yang berasal dari batu meteor yang ditempa dengan besi secara simbolis berarti memadukan unsur-unsur langit dan bumi, bapa angkasa – ibu bumi, jelas dianggap bernilai spiritual bagi Orang Jawa.

Merujuk laman UNESCO jumlah motif pamor kurang lebih 120 varian. Ada motif beras wutah, pidaringan kebak, udan mas, ron genduru, dsbnya, di mana tiap pamor dipercaya memiliki daya dan fungsi magis tertentu.

Mudah diduga, posisi sang kreator yaitu Kyai dan Mpu bagi para audiens-nya, yaitu kalangan santri dan priyayi, akan cenderung dipandang sama. Kyai dan Mpu dianggap menempati posisi dan fungsi spiritual atau rohaniah tinggi. Kyai atau Mpu dipandang sebagai wasilah bagi kehadiran daya sakralitas dan transendensi Tuhan, di mana daya spiritual atau rohaniah Kyai atau Mpu ini sanggup menginduksi rajah atau pamor bilah keris dalam proses pembuatannya.

Hanya saja bicara pesan makna atau fungsi magis sebilah keris tak cukup dari sisi pamor saja. Dhapur yaitu bentuk desain arsitektural bilah keris juga turut menentukan pesan makna atau fungsi magisnya. Seturut laman UNESCO terdapat 40-an dhapur. Artinya, setidaknya minimal juga terdapat 40-an fungsi atau makna magis tertentu dari keris sebagai jimat atau pusaka keramat.

Sementara, sekalipun terdapat aneka ragam dhapur dan motif pamor, yang masing-masing mengemban makna atau fungsi magisnya sendiri-sendiri, namun pada aras universal secara semiotika semua keris mengemban fungsi atau pesan makna yang satu dan sama. Yaitu, keris merupakan pengejawantahan simbolik filsafat manunggaling kawula-Gusti. Ini eksplisit dalam petatah-petitih Jawa: “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga, manunggaling kawula-Gusti”.

Curiga ialah istilah bahasa Jawa untuk merujuk bilahnya, sedang warangka merujuk sarungnya. Bersatunya Tuhan dan ciptaan-Nya itu digambarkan seperti “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”, seperti keris masuk ke dalam warungnya, seperti sarung memasuki kerisnya. Orang Jawa meyakini bahwa sejatinya manusia dan alam semesta berada dalam kesatuan ilahiah Tuhan itu sendiri.

Dalam budaya Jawa, konsep manunggaling kawula-Gusti bisa bermakna sebagai ajaran teologis maupun sosiologis sekaligus. Pada aras sosiologis, konsep manunggaling kawula-Gusti berarti spirit bersatunya pemimpin dengan rakyatnya, atau meminjam ungkapan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, “tahta untuk rakyat.”

Tentu, tak semua tarekat Sufi mengakui kebenaran filsafat panteisme dan monisme seperti terlihat dalam konsep Wahdatul Wujud a-la Syekh Siti Jenar atau Syekh Amongraga atau Kyai Mutamakkin, misalnya. Meski demikian keluhuran kisah hidup ketiga tokoh yang begitu populer di kalangan priyayi ini juga diakui oleh para santri warga Nahdliyin.

Ambil contoh rasa hormat Gus Dur pada Kyai Mutamakkin, misalnya, sangat terlihat ketika ia ziarah kubur ke sana. Sebuah harian nasional terkemuka pada 24 Oktober 1999 memberitakan, Gus Dur berziarah kubur ke sarean Kyai Mutamakkin. Harian itu, mengutip pernyataan Gus Dur:

“Saya datang ke sini bukan sebagai presiden, tetapi sebagai keturunan Mbah Mutamakkin, dan ini bukan untuk syukuran, tetapi untuk slametan, karena kita selamat bisa melaksanakan perjuangan Mbah Mutamakkin. Beliau melawan sistem yang salah. Beliau menegakkan keadilan demi kepentingan rakyat dan mudah-mudahan ini bisa terwujud tidak lama lagi.”

Dari pernyataan Gus Dur di atas tergambar cukup jelas rasa hormat Gus Dur pada sosok Kyai Mutamakkin, sosok yang dituding sesat oleh para ulama lain karena ajarannya mengingatkan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar di era Kerajaan Demak atau Syekh Amongraga di era Mataram Islam awal.

Kembali ke momen pernikahan Gus Dur dan Sinta Nuriah. Sayangnya, hingga kini kita tak pernah tahu jenis dhapur dan motif pamor bilah keris Gus Dur. Keris ini tentu keris teristimewa bagi Gus Dur ketika itu, mengingat pusaka ini dipilih sebagai representasi keberadaan Gus Dur dalam momen sakral pernikahannya. Andai saja kita tahu dhapur dan pamor keris Presiden Keempat ini, barangkali saja perilaku misterius dan sukar ditebak dari Gus Dur kini lebih mudah kita pahami bersama (***).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *