
oleh: Rasha Putra Permata
Instagram: @animatedrasha
Karya: Harsa Permata
Babak baru dimulai, dalam episode perjuangan Usman untuk menyelamatkan bisnis keluarganya, yang telah dirintis oleh ayahnya dari nol. Semesta, pada hari Sabtu, yang dihiasi hujan gerimis deras ini, ternyata terlihat seolah tidak mendukung perjuangan lelaki separuh baya itu.
Ia teringat beberapa baris lirik lagu “Internasionale”, yang dulu dinyanyikannya bersama para buruh dalam sebuah demonstrasi:
Perjuangan penghabisan
Bangkitlah melawan
Dan Internasionale
Jayalah di dunia
Baginya, saat ini, adalah fase ketika ia perjuangannya akan menemui akhir. Entah bagaimana nanti akhir perjuangan Usman ini. Ada banyak kemungkinan, akan tetapi, jika dikerucutkan, maka hanya ada dua kemungkinan besar. Pertama, perjuangannya akan menemui hasil, yang sesuai dengan harapan. Kedua, karena ketiadaan dukungan semesta, maka perjuangannya menemui kegagalan.
Dini hari yang berkabut, sehabis hujan, Usman duduk sendirian, di ruang tamu rumahnya, memandangi layar telepon selulernya, yang bergoyang, dan tiba-tiba menghitam, mati, lalu menyala kembali. Hal ini terjadi berkali-kali, yang kemudian membuat Usman frustrasi.
Ia ingat masa lalu, dulu ketika telepon genggamnya rusak sedikit saja, tanpa pikir panjang, ia akan langsung ke toko untuk membeli telepon genggam baru. Saat itu, uang di rekeningnya masih lebih dari cukup untuk membeli rumah, dan mencukupi kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya.
Akan tetapi, karena ia terjerembap secara ekonomi, pada pertengahan tahun 2023, yang kemudian membuat hidupnya dan keluarganya, serasa sedang terjun bebas, maka ia hanya bisa berharap supaya telepon genggamnya bisa pulih kembali dengan sendirinya. Pada pukul 3 dini hari, mata Usman yang sangat lelah, tidak bisa dikompromikan lagi. Ia kemudian tertidur sampai pukul 5 subuh.
Suara istrinya, Annie, membangunkan Usman, “Yah, Ayah tidak salat subuh?” tanya Annie padanya.
“Jam berapa sekarang, Bunda?” tanya Usman balik.
“Jam 5 lebih sedikit, Yah,” jawab Annie.
“Baiklah, aku salat dulu ya Bunda,” ucap Usman pada Annie, yang duduk di kursi tamu, di sebelah kiri Usman.
Pada pukul 6 pagi, kembali ia duduk sendiri di ruang tamu, ditatapnya jendela rumah, matanya memang melihat ke jendela, akan tetapi, pikirannya berkelana ke suatu peristiwa yang dilihatnya di layar laptop,beberapa waktu yang lalu. Tepatnya, pada hari buruh, 1 Mei 2025, sebuah video dokumentasi peristiwa bersejarah pada hari itu, telah diunggah ke youtube.
Baru tahun ini, ia menyaksikan seorang presiden Indonesia menyanyikan lagu Internasionale bersama para buruh. Hal yang dulunya tidak pernah terjadi sama sekali. Paling-paling pimpinan Partai Bintang Gerigi (PBG) menyanyikannya bersama para buruh, yang sedang berdemonstrasi.
Perasaannya campur aduk mengingat peristiwa dalam video itu. Sebagai seorang yang pernah berjuang bersama kaum buruh dan kaum tertindas lainnya, ia hanya bisa berharap bahwa presiden tersebut benar-benar menyanyikannya dari hatinya yang paling dalam. Sehingga, semua kebijakannya, benar-benar untuk mewujudkan kesejahteraan bagi kaum buruh dan kaum lainnya yang terpinggirkan oleh sistem.
Pikiran Usman kembali ke dirinya, yang tengah duduk di ruang tamu. Banyak sekali pertanyaan yang belum terjawab di kepalanya, “Bagaimana aku bisa ke Kampuang? Bagaimana bernegosiasi dengan Bambang? Bagaimana aku bisa ke sana dengan istri dan anak-anakku?” begitu sebagian pertanyaan yang berputar di kepala Usman.
Tadi malam, sehabis isya, Usman menelepon Imran, teman sekaligus tetangganya, yang tinggal di depan RSIA (Rumah Sakit Ibu dan Anak) milik keluarganya. Hal itu dilakukannya, karena sebelumnya, ia tidak berhasil menghubungi asisten ibunya, melalui panggilan telepon.
Biasanya, jika kangen dengan ibunya, maka ia akan menelepon asisten ibunya itu, dan mereka (Usman dan ibunya) mengobrol lewat panggilan video. Akan tetapi, tadi malam, ia gagal melakukannya, karena nomor kontak asisten ibunya itu ternyata sudah tidak terdaftar lagi dalam aplikasi panggilan video.
Usman panik, ia kemudian menghubungi temannya, Imran, yang ternyata juga gagal, bukan karena Imran tidak bisa dihubungi, melainkan karena telepon genggam Usman mati total. Untungnya, istrinya, Annie kemudian menawarkan kepada Usman untuk menggunakan telepon genggam miliknya, guna menelepon Imran.
Sebenarnya, di hatinya, Usman sudah tidak sabar untuk pulang ke Kampuang, bertemu ibunya, dan menyelamatkan RSIA milik keluarganya itu. Akan tetapi, karena persoalan dana, dan lainnya, ia masih belum bisa berangkat ke Kampuang, bersama keluarganya.
“Halo Imran, bagaimana kabar Pak Haji?” sapa Usman pada Imran, yang setahun sebelumnya telah berhasil menginjak tanah suci Mekkah untuk melakukan ibadah haji.
“Baik Man, alhamdulillah, ha-ha-ha, tidak usahlah kau panggil aku Pak Haji, aku biasa-biasa saja,” jawab Imran merendah.
“Tidak apa-apa Im, panggilan itu memang pantas untukmu, dirimu kan sudah berhaji,” ucap Usman menangggapi.
“Ada apa ini Man? Tiba-tiba menelepon aku, setelah sekian lama tidak berkontak?” tanya Imran.
Usman kemudian menjelaskan situasi dan kondisi yang membuat ia menelepon Imran, “Aku mau bertanya terkait kondisi ibuku, Im, kau kan tinggal di depan rumah, tentu tahu tentang hal itu.”
“Sudah lama ibumu tidak beli lontong di tempatku Man, mungkin dia sudah pindah ke rumah baru adikmu, si Bambang.” ucap Imran.
Mereka kemudian berbincang lewat telepon cukup lama. Imran mengatakan bahwa ia kasihan terhadap Bambang, karena semua harus ia jalani sendiri, merawat bu Yulia, ibunya Usman dan Bambang, menghadapi masalah istrinya, Lampir, yang suka hedon dan baru-baru ini digugat orang dengan tuduhan penggelapan uang miliaran rupiah. Usman lebih banyak mendengarkan saja perkataan Imran, sembari berpikir, bahwa ternyata memang si Bambang sekarang sedang dalam posisi sulit.
Akan tetapi, si Bambang, adiknya itu, tidak mau terbuka kepada Usman terkait hal ini, entah mengapa. Dalam pandangan Usman, mungkin Bambang menganggap bahwa Usman tidak akan bisa memberi pertolongan terhadap berbagai masalah yang dihadapinya itu.
***
Setelah bermenung, sampai kopinya di gelas habis, Usman kemudian bangkit dari duduknya. Ia meminta pendapat Annie istrinya, tentang persoalan perawat ibunya, yang tidak bisa dihubungi, ia juga menceritakan percakapannya dengan Imran lewat panggilan telepon tadi malam.
Annie lalu menyarankan Usman untuk menelepon Kak Nidar, pegawai ibunya, yang senior, dan sudah cukup lama bekerja di RSIA itu, serta kenal dekat juga dengan Usman. Untungnya, Kak Nidar langsung mengangkat panggilan telepon Usman. Ia lalu memberi Usman kesempatan berbincang dengan Bu Yulia,melalui panggilan video.
Usman girang sekali, akhirnya bisa berbincang dengan ibunya, walaupun yang bersangkutan sudah banyak lupa karena kondisi demensia yang dialaminya. Akan tetapi, Usman bersyukur, karena Bu Yulia masih mengingat Usman sebagai anak sulungnya.
Bagi Usman, keberhasilan berbicara dengan ibunya lewat panggilan telepon ini adalah sebuah kemenangan kecil. Dengan ini, ia bisa memahami bahwa ibunya tidak sedang dicuci otak oleh Bambang, untuk memusuhi Usman. Seperti yang pernah dilakukan Bambang beberapa tahun silam. Saat itu, Bu Yulia bahkan sampai tidak mau berbicara dengan Usman, karena menganggap bahwa Usman adalah orang jahat yang ingin mencelakainya.
Walaupun demikian, Usman sadar, bahwa kondisi ini sewaktu-waktu tetap bisa berubah, jika ia belum berhasil ke Kampuang untuk menyelesaikan segala persoalan di sana. Hal yang tentunya, luar biasa sulit dilakukan dalam kondisi keuangan Usman yang masih sangat kurang untuk membiayai perjalanannya ke Kampuang bersama istri dan dua anaknya.
***
Sore harinya, Usman mengenang masa-masa dirinya berjuang bersama rakyat, belasan tahun yang lalu. Bersama teman-temannya, Gide, Tius, dan Jono, mereka kerap bergabung dalam demonstrasi mahasiswa dan rakyat.
Saat itu, semangat perjuangannya masih sangat besar, walaupun uang sangat minim, bahkan tidak ada sama sekali, ia dan teman-temannya itu tetap tak kenal lelah untuk berdiskusi dan berdemonstrasi. Sayang sekali, hal tersebut harus berakhir setelah masing-masing lulus kuliah. Gide dan Jono lulus duluan, yang kemudian diikuti Usman pada tahun yang sama. Sementara Tius baru lulus kuliah, enam tahun kemudian.
Usman butuh semangat yang dulu pernah dimilikinya itu, untuk menyelesaikanberbagai persoalan yang menimpa keluarganya. Akan tetapi, dengan kondisi sekarang ini, tentulah semangat juang yang sama persis, tidak akan bisa ia bangkitkan kembali.
Sekarang, ia juga tidak mungkin berbagi dengan teman-teman seperjuangannya dulu, dalam perjuangan menyelamatkan bisnis keluarganya ini. Gide sudah meninggal dunia, tahun 2016, karena menderita hepatitis c, sementara Jono dan Tius, tentulah sedang sibuk dengan pekerjaan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarganya masing-masing. Saat ini, temannya yang bisa diajak berbagi pikiran tentang persoalannya yang sekarang, hanya Hotman, teman masa kecilnya,yang tidak rela jika rumah sakit milik keluarga Usman ini harus tutup, karena kasus penggelapan yang menjerat Lampir, istri Bambang.
Selain itu, Usman tidak tega juga harus bersikap keras dan tegas kepada Bambang, yang sebenarnya adalah adik kesayangan Usman. Dulunya Bambang ini adalah anak baik, yang tidak banyak tingkah, baru setelah kenal dan memadu kasih dengan Lampir, Bambang menyerap semua energi negatif yang dimiliki Lampir, dan menjadi orang yang akan melakukan segala cara, walaupun harus menyingkirkan keluarganya sendiri, demi memenuhi hasrat dan keinginan Lampir.
Dalam kebimbangannya, Usman menyanyikan lirik lagu internasionale sendiri, dalam hatinya.
Bangunlah kaum yang tertindas
Bangkitlah kaum yang lapar
Kehendak yang mulia dalam dunia
Senantiasa bertambah besar
Hancurkan adat dan paham tua
Kita rakyat yang sadar, sadar
Dunia telah berganti rupa
Untuk kemenangan kita
Perjuangan penghabisan
Bangkitlah melawan
Dan Internasionale
Jayalan di dunia
Tak terasa, air mata hangat menetes membasahi pipinya. Usman lalu terdiam lama menatap jendela rumahnya, yang dihiasi pemandangan awan mendung. Sebuah panggilan dari Ali yang butuh bantuan untuk ke toilet, menyadarkan Usman dari lamunan. Ia lalu bangkit dari duduknya, dan menuju ke kamar Ali, anak sulungnya.