
Oleh: Putu Ayu Suniadewi
(Mahasiswa Jurusan Teknologi Informasi Inti Malaysia dan Kader Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia, Bali)
Denpasar – Kebudayaan Rakyat – Selain Nyepi , Galungan , dan Kuningan yang senantiasa akrab di ruang publik sebagai perayaan umat Hindu di Indonesia, ada pula Hari Saraswati yang Setiap tahunnya di rayakan oleh umat Hindu di Nusantara khususnya Pulau Dewata. Hari Saraswati merupakan perayaan untuk Dewi Saraswati yang identik dengan dewi pengetahuan dan kebijaksanaan mengikut kalender Pawukon yang berbasis Saniscara (tujuh hari).
Nama Saraswati berasal dari kata “Saras” yang berarti “mengalir” dan “wati” yang berarti perempuan. Makna filosofis dari nama Saraswati adalah bahwa pengetahuan bagaikan aliran sungai yang tak pernah berhenti, serta dapat secantik dan seanggun seorang perempuan jika pengetahuan itu berada pada jalan dan cara yang benar.
Di Hari Saraswati, umat Hindu di Pulau Dewata akan meletakkan buku-buku , naskah suci, alat – alat belajar di pura serta pelinggih sebagai bentuk penghormatan kepada Dewi Saraswati, yang merupakan dewi kebijaksanaan, seni, dan ilmu pengetahuan.
Pada dasarnya perayaan Saraswati di Bali khususnya, sudah menjadi bagian penting dari ritus kebudayaan spiritual Hindu khas Nusantara Yang esensinya layak kita renungkan meretas identitas sebagai bagian dari manusia Nusantara.
Apalagi dalam konteks pembudayaan pengetahuan Yang menurut Bhagavad Ghita dapat diperoleh melalui Pranipātena (dengan sikap hormat ) ; Pariprashnena (dengan bertanya secara mendalam) ; dan Sevayā (melalui pelayanan dengan tulus) di tengah Persoalan zaman yang semakin memberi kita beragam keterancaman. Salah satunya adalah fenomena post-truth yaitu suatu kondisi di mana kebenaran objektif semakin tergerus oleh narasi-narasi yang bersifat emosional dan manipulatif.
Fenomena ini sebenarnya, tidak lepas dari rekayasa sosial yang diciptakan oleh kelas penguasa, yang berupaya membentuk opini dan perilaku masyarakat melalui distorsi fakta demi kepentingan tertentu. Kelas penguasa melalui rekayasa sosial memang telah menciptakan atmosfer di mana yang dangkal lebih dihargai daripada yang mendalam.
Berbagai fenomena kebodohan dianggap cara baru untuk menghasilkan ketenaran dan kekayaan. Dalam kondisi yang demikian, memperkuat basis pengetahuan khas nusantara seperti dalam ajaran Jawa yaitu eling lan waspada dapat menjadi senjata untuk membedakan mana yang benar dan mana yang sebatas tipu daya Dan tentu amat berguna Jika dikoneksikan dengan ajaran Dewi Saraswati.
Yang pertama perlu dipahami untuk mencapai tahapan eling lan waspada, kita perlu memulainya Dari eling yang terkait dengan kesejatian diri manusia, yang mencakup siapa dirinya, dari mana asalnya, dan ke mana tujuannya. Yang kemudian terhubung dengan Sang Pencipta (Gusti Allah). Yang di dalam budaya Jawa menurut subagio satrowardoyo dalam buku Bahasa, Sastra, Dan Budaya (1988) dianggap sebagai sikap batin yang paling inti apalagi konsepsi “eling” ini menghubungkan detik-detik pengalaman dulu dengan pengalaman saat ini ,sehingga ada kesadaran terhadap kelanjutan antara masa lalu dan masa kini kepada pribadi kita.
Eling harus di mulai dari kesadaran terhadap ajaran Ketuhanan yang harus dimulai penerapannya dari mengutamakan kebaikan (yajna) sebagai komitmen tertinggi diatas belenggu kharma-bandhana, yang sarat akan ego atau kepentingan pribadi Karena kuatnya nafsu (muktasanggah).
Jika Berlandaskan pada ajaran Dewi Saraswati (dewi pengetahuan, kebijaksanaan, dan kesucian) untuk mengatasi keterjebakan post-truth, dari konteks eling ini dibutuhkan keutamaan terhadap kebijaksanaan (wicaksana), kejernihan nalar, serta integritas pribadi dalam menilai informasi termasuk sadar moral , etika, Dan konsekuensi.
Sementara dalam konteks kewaspadaan, Dewi Saraswati mengajarkan perihal berpengetahuan sejati yaitu dengan segala sesuatu yang sudah bisa dipahami sebagai bentuk pengetahuan itu seharusnya mampu membuat mereka berpikir sehat, yang dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk. Tapi kemalasan, sikap abai, simplifikasi, amarah , kedangkalan kita secara individual dan kolektif gagal menyalakan obor kewaspadaan.
Di dalam Gita sendiri kewaspadaan harus melalui refleksi, pengendalian indra dan penyerahan diri (Buddhi Yoga), sehingga mampu mengaktifkan Viveka (nalar jernih) guna membedakan mana yang satya (kebenaran sejati) dari asatya (kepalsuan), serta tidak terpengaruh oleh kabut moha (kebingungan) dan rajas (nafsu)
Kalau Semua ini tidak ada , maka Jangan heran jika distorsi pengetahuan kian menjadi-jadi. Apa yang sederhana jadi ribet untuk dipahami dan apa yang penting terabaikan dengan hal – hal yang dangkal
Secara kolektif maupun individual kita akhirnya lupa pada kemanusiaan dan Ketuhanan apalagi di Tengah Penindasan struktural dan kultural, yang dianggap biasa, padahal secara teologis hal itu bertentangan dengan Tat Twam Asi yang dalam filsafat Hindu “ia adalah kamu” saya adalah kamu dan segala mahluk adalah sama memiliki atman (jiwa) yang bersumber dari Brahman.
Oleh karena itu mulailah mendidik kewaspadaan diri di tengah kondisi manusia sekarang, yang membela siapa yang mereka sukai, siapa yang menguntungkan mereka dan siapa yang mereka dukung agar dapat untung darinya.
Tentang Penulis:
Saat ini aktif sebagai pelajar tingkatan master jurusan IT Inti Malaysia selain itu aktif pula di beberapa organisasi seperti Hipmi Bali , KMHDI Bali ,dan Perhimpunan Pelajar Indonesia Sedunia . Penulis sering menulis di media – media Bali seperti tatkala, Balipolitika, dan Bale Benggong