
Sore yang sepi dan penuh debu. Seorang perempuan muda, baru saja melewati jalanan tidak rata depan pagar besi hitam sebuah rumah. Usman sedang duduk di atas kursi kayu panjang samping rumah dengan pagar besi itu, ia terlihat sedang duduk sendirian, ditemani bungkusan rokok kreteknya.
Bermenung sendirian, menghilang dari keramaian, keramaian yang dianggapnya hanya berisikan keluh kesah, caci maki dan bentakan. Melarikan diri dari suara-suara sumbang yang menulikan pendengaran. Menikmati kesendirian, berkawan angin dan debu.
Cinta yang menyakitkan, rasa kecewa akan kehidupan yang teramat dalam, sedalam kata-kata singkat puisi-puisi Tiongkok, yang karena saking dalamnya tidak terlukiskan maknanya. Semuanya bergelut liar dalam kepala dan dada Usman. Setelah semua hal yang dialaminya, cinta, pemberontakan, keputusasaan, ingin rasanya ia menolak semua jenis cinta dan kehidupan dan lebih memilih untuk hidup selamanya dalam kekeringan yang gersang. Itulah tekadnya yang mengeras bagai baja, hasil dari kesakitan yang amat sangat akan cinta.
Hari-hari dilaluinya bagai seorang paria yang menganggap bahwa kenyataan adalah omong kosong belaka. Melakukan hal-hal untuk kedirian saja dan tidak perduli pada manusia yang hidup di sekitarnya, seluruh keluarganya yang walaupun sangat menyayanginya tapi dirasa memenjarakannya dalam kasih sayang.
Ayahnya, seorang psikiater, paham pada apa yang tengah membebani pikiran anaknya. Pemahaman yang juga digunakannya untuk menjawab keluh kesah istrinya atau ibu dari Usman.
“Sudahlah bu, biarkan saja dia seperti itu. Agaknya semua hal terlalu berat baginya sekarang. Tenang saja Usman kecil kita tidak akan luluh dilindas keadaan. Percayalah ia masih cukup kuat menghadapinya, ia pasti bisa keluar dari semua ini”, kata ayahnya pada ibunya suatu malam, ketika seluruh penghuni rumah telah terlelap.
***
Adalah suatu senja yang temaram, yang mengubah semua kekecewaan yang dideritanya. Kedatangan seorang perempuan, menebarkan kelembutan dan membangkitkan gairah cinta yang selama ini terkubur dalam kebisuan yang dingin. Kehadirannya seperti menuangkan air yang dingin pada gelas yang telah lama kering dalam kemarau yang berkepanjangan.
Ingin sekali ia, berbagi rasa dengan kelembutan ini, memberinya sebuah pelukan hangat. Duduk berdua saling bersebelahan, rapat, bercerita tentang cinta yang sukar ditebak atau tentang cerita-cerita lainnya, yang menciptakan surga di dalamnya.
Tapi, ia harus mengurungkan semua itu. Menyembunyikan dalam-dalam niatnya yang tulus itu dalam lemari besi “kerahasiaan” atau menguburnya dalam-dalam, hingga tak tercium, terasa ataupun terdengar lagi. Karena kelembutan yang dicintainya ternyata sudah tidak sendiri lagi dan celakanya, ia adalah istri sah dari kakak sepupunya Hendro, yang juga menyertai kedatangan Lina, perempuan dengan segala kelembutan itu.
Lina adalah seorang perancang rumah. Seorang yang ulet dan rapi, beda sekali dengan Hendro, suaminya yang lebih senang bermalas-malasan, memamerkan ketampanan wajahnya untuk menggoda kedua orang Asisten Rumah Tangga, rumah ini, yang masih muda usia dan cukup menarik. Selain itu ia juga suka sekali berjudi, menghabiskan hari dengan lembaran kartu dan botol kaca.
Lina sama sekali tidak pernah memperlihatkan rasa keberatannya pada semua kelakuan Hendro. Ia termasuk golongan orang yang suka mengabdi pada suaminya, suka memendam perasaan dan semua keluh kesahnya. Bersikap sebagai pelayan yang patuh pada suaminya, ini semualah yang membuat Usman geram. Di satu sisi ia sangat ingin memarahi Hendro karena kelakuannya yang telah memperlakukan cinta buta Lina secara tidak adil atau menyadarkan Lina bahwa ia telah salah memberi cinta dan meninggalkan Hendro untuk pergi jauh bersamanya. Tapi, di sisi lain ia enggan merusak hubungan keluarga yang berisikan semua norma moral dan adat yang tidak boleh dilanggar.
Ia segan pada almarhum ayah Hendro, yang sangat dihormatinya. Walaupun ia telah meninggal dunia tapi rasa segan itu masih bercokol dalam hati Usman. Maka tinggallah ia berdiam diri, bersikap acuh pada cinta yang seharusnya bisa digapai. Walaupun perasaannya berkata sebaliknya.
Kali ini walaupun tidak secara terang-terangan diperlihatkannya. Ia tetap tidak bisa menyembunyikannya dalam tulisan-tulisan rahasianya. Atau ketika bermenung sendirian, terhanyut dalam “Love me two times”, yang dilantunkan oleh Jim Morrison, ketika kegelapan malam merasuk dalam kamarnya yang berada dibagian depan rumah ini, terpisah satu kamar dari kamar yang ditempati Hendro dan Lina.
Dalam bayangannya ketika itu, Lina datang padanya di suatu malam, menggenggam sekuntum mawar, malam yang dipenuhi suara hujan dan dingin, mereka berbaring dalam selimut. Ketika terbangun pada pagi harinya, ia hanya bisa memaki pelan karena itu hanyalah sebuah mimpi belaka.
***
Pagi hari, matahari terbit dengan sinar lembut di sebelah timur, suara ribut-ribut kendaraan dan anak-anak sekolah yang baru datang. Desir suara minyak di dapur bagian belakang dekat garasi rumah ini. Lina sedang memasak sup, untuk semua penghuni rumah ini, ia belum mandi tapi bagi Usman ia tetap seharum mawar, yang menggoda minta dipetik.
Usman baru saja datang dari kota lain di balik bukit-bukit dan jurang-jurang yang curam, dingin, berkabut. Masih tersisa ketegangan saat menyetir moil melewati jalan-jalan di sebelah bukit yang ditumbuhi tetumbuhan hijau, di pinggir jurang yang berkelok-kelok. Mungkin karena itu ia bisa berbicara cukup lancar pagi ini, penuh keberanian.
Di atas meja batu dapur yang dilapisi keramik biru muda, ia duduk, berbicara lantang mengungkapkan apa yang terpikir dalam otaknya.
“Kak Lina, tidak makan?” rasa dingin ketika pahanya menyentuh keramik, tidak dihiraukannya.
“Nanti saja belum mandi. Sama saja dengan kerbau kalau makan sebelum mandi,” jawab Lina.
“Berarti aku sering seperti kerbau”, kata Usman jujur. Semua penghuni rumah tertawa mendengarnya, begitu juga Lina yang duduk di dekatnya.
Lina baru saja selesai memasak dan menghidangkan makanan yang diolahnya dengan mangkuk kaca yang biasa digunakan sebagai tempat nasi di meja makan. Ia duduk di dekat Usman setelah itu, samping tempat pencuci piring dari aluminium.
“Usman tidak makan ?” tanya Lina balik.
“Ah nanti saja, sekarang lagi malas jadi kerbau,” jawabnya yang kembali diiringi tawa penghuni rumah. Sementara wajah Lina bersemu merah. “Nanti pasti kuhabiskan supnya kak”.
Lina kembali tersenyum manis malu-malu. Ia senang Usman menyukai masakannya. Usman juga senang bisa melihat senyum Lina, setelah kehampaan dan kegersangan tanpa ujung yang melandanya.
“Eh kemarin, aku lihat Usman punya novel bagus, ada dibawa sekarang?” tanya Lina tiba-tiba.
“Yang mana ?” tanya Usman balas bertanya.
“Yang bersampul merah muda”.
“Oh, yang itu. Kak Lina suka ?”
“Suka lihat sampulnya”.
“Bentar ya kuambilkan,” kata Usman, segera bangkit dari duduknya dan segera berjalan setengah berlari ke kamarnya.
Buku itu bercerita tentang cinta kasih dan pemberontakan, perjuangan seorang ibu dan seorang perempuan, dalam kungkungan sistem patriarki dan menindas kemanusiaan di Rusia awal abad XX. Lina suka sampulnya tapi belum tahu kalau isi bukunya berlawanan sama sekali dengan sikapnya yang patuh pada suaminya.
Usman muncul tidak lama kemudian, disodorkannya buku bersampul merah muda itu pada Lina, yang berbalas ucapan terima kasih dan perasaan senang Lina. Ia ingin segera membaca untaian kata dalam buku itu. Lina pergi untuk mandi kemudian.
Semangkuk mie goreng telah dimasak oleh Lenny, Asisten Rumah Tangga, rumah ini. Usman segera melahapnya bersama sup buatan Lina di meja makan. Lina, yang keluar kamar setelah mandi, sangat bersenang hati, ketika ditemuinya Usman melahap masakan buatannya. Perasaan seorang ibu yang senang melayani orang yang dikasihinya.
Lina duduk di kursi, sebelah Usman, di depan Hendro yang terlihat sibuk dengan makanannya, baru saja ia tambah untuk yang ketiga kalinya. Bahagia sekali hati Usman, karena bisa duduk bersebelahan dengan Lina, perempuan yang disukainya dalam hati saja.
Di kamar setelah selesai makan, ia tersenyum sendirian mengenangnya. Suatu ekstase penuh gairah melanda perasaan Usman, menyadari bahwa ia bisa duduk bersebelahan dengan Lina, kakak iparnya. Ia tergelitik untuk menerka-nerka perasaan Lina ketika duduk bersebelahan dengannya dan ketika Lina mulai membaca buku itu. Apakah ia juga merasakan seperti yang dirasakannya? Suatu ekstase yang melebihi gairah yang timbul dalam persetubuhan penuh nafsu.
***
Baru menyelesaikan 20 halaman. Pikiran Lina sudah terasa kacau, yang biasanya pasif, patuh jadi terkejut dengan kenyataan yang dilukiskan buku itu. Kekerasan terhadap perempuan, caci maki dan umpatan oleh suaminya, menghasilkan pemberontakan sepenuh hati sang ibu sebagai tokoh utama.
Diletakkannya buku itu kemudian dalam keadaan terbuka lebar, di atas meja makan. Ia duduk sendirian di atas kursi kayu samping rumah tapi pikirannya masih penasaran dengan kelanjutan cerita buku itu. Diambilnya lagi buku itu dan mulai membacanya lagi di kursi samping.
Hendro memang belum pernah melakukan kekerasan fisik padanya. Tapi Hendro akan marah kalau ia berhubungan dengan laki-laki lain, sementara ia tidak boleh marah kalau Hendro mendekati perempuan lain, memenuhi birahinya.
Dibukanya halaman-halaman buku dengan perasaan tegang, yang menggambarkan keadaan mengerikan, perjuangan tanpa kenal lelah melawan keadaan yang mengerikan itu. Kadang-kadang ia marah dan sedih ketika terjadi suatu keadaan yang menyentuh nurani kemanusiaannya.
Usman sedang berada di kamarnya ketika itu, mendengarkan musik, kelelahan, setengah mengantuk setelah berjalan cukup jauh, mencoba melupakan semua impiannya. Cinta, norma moral dan adat yang dirasanya kejam padanya.
Kalau ia menyatakan cinta pada perempuan itu maka moral dan adat akan menghukumnya. Semua hubungan keluarga akan porak-poranda. Kalau ia menyembunyikannya, maka hatinya akan semakin sakit, serasa ditusuk jutaan jarum. Untuk itu, dicobanya lah melupakan semua. Semua yang membebani pikiran dan perasaannya dengan berjalan kaki, mengeluarkan keringat hingga kecapaian, bersimbah peluh.
Tapi ternyata perasaan itu tidak hilang juga, walaupun telapak kakinya telah luka-luka terbakar aspal panas, ketika berlari tanpa alas kaki di siang hari, melepuh, menimbulkan rasa sakit yang amat sangat.
Merasa kerongkongan nya haus dan kering, Usman pergi ke dapur untuk membasahi nya dengan segelas air dingin. Setelah itu ia melangkah kakinya menuju bangku samping. Tidak ada seorang pun di rumah ini, kecuali Usman dan Lina. Hendro pergi bersama Leny dan Yeny, dua orang pembantu rumah ini.
Ia terkejut dan hendak pergi ketika ditemukannya Lina juga sedang duduk di sana tapi suara Lina memanggilnya untuk duduk menemaninya.
“Bagaimana ceritanya kak ?” tanya Usman, setelah duduk di bangku, bersebelahan dengan Lina dengan buku di tangannya.
“Baru sedikit kok, belum baca semuanya. Usman dari mana saja?”
“Jalan-jalan keliling kota, menghilangkan beban di kepalaku,” jawab Usman mengalihkan pandangannya ke arah lain, lapangan tenis yang kosong, terkena panas matahari siang, di depan pagar samping.
“Ada masalah apa Man?” tanya Lina lembut.
Usman tidak segera menjawab, menimbang jawaban apa yang terbaik, yang bisa menyembunyikan perasaannya. Ia bangkit ke dalam, untuk mengisi lagi gelasnya yang telah kosong. Lina menyusulnya, menginginkan jawaban atas pertanyaannya.
Ditemuinya, Usman sedang duduk di atas meja dapur.
“Ada apa sih Man? Kok menyendiri begini?”.
“Masalah kuliahku, yang belum juga selesai kak,” akhirnya Usman menjawab, dengan pelan.
“Oh, ya tidak usah terlalu dipikirkan, aku saja selesainya lama kok. Bawa santai saja, mengalir,” kata Lina menasehati. “Aku ke kamar dulu ya, nanti kalau masih ada yang mau diceritakan, susul saja aku ke kamar”.
Usman merasa bersalah karena telah membohongi Lina. Ia menyesal tidak berani mengatakan kejujuran. Lama ia memikirkannya di atas meja dapur, dekat jendela kaca nako, suara kendaraan dan hembusan angin.
Ia melangkah menuju kamar Lina kemudian, agak berat, dengan dada berdebar kencang. Lina sedang membaca sambil tiduran ketika itu. Dihentikannya ketika diketahuinya Usman datang ke kamarnya.
Usman duduk, diam sebentar dan kemudian berkata, “Kak, terimakasih atas nasehatnya ya, aku jadi semangat lagi untuk melanjutkan kuliahku”.
Yogyakarta, Suatu Ketika
Penulis: Harsa Permata