Foto Prima Bahren (Dok. Redaksi)

Oleh: Prima Bahren (Ketua JAKER Kota Kupang)

Izinkan saya sedikit menanggapi dari ujung Timur Indonesia, perihal sikap yang diambil oleh Presiden Prabowo Subianto, Pernyataan Presiden Prabowo atas insiden tragis yang menimpa almarhum Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, patut diapresiasi sebagai langkah awal yang penting dalam membangun kepercayaan masyarakat. Presiden tidak hanya menyampaikan rasa duka cita dan empati, tetapi juga menunjukkan keberpihakan pada nilai kemanusiaan dengan secara tegas menyatakan kekecewaan atas tindakan aparat yang berlebihan.

Komitmen Presiden untuk mengusut tuntas insiden ini secara transparan dan adil memberi harapan bahwa hukum akan ditegakkan tanpa pandang bulu. Janji untuk memberikan perlindungan dan perhatian kepada keluarga korban juga merupakan wujud nyata bahwa negara hadir bukan hanya dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakan.

Masyarakat dapat melihat bahwa sikap ini menunjukkan keberanian seorang kepala negara dalam mengakui kesalahan yang terjadi di lapangan, sekaligus tekad kuat untuk memperbaikinya. Dengan demikian, kemarahan publik yang wajar dapat diarahkan menjadi dorongan konstruktif untuk bersama-sama mengawal proses investigasi, memastikan keadilan ditegakkan, dan menjaga ketertiban demi kebaikan bersama.

Kita apresiasi sikap Presiden Prabowo yang berani menunjukkan duka dan kecewa atas tragedi yang menimpa rakyatnya. Itu tanda bahwa negara tidak tinggal diam, dan ada harapan keadilan ditegakkan.

Tapi dukungan rakyat bukan berarti tanpa kritik. Kita ingin aparat lebih humanis, kebijakan ekonomi lebih tepat sasaran, dan pembangunan tidak mengorbankan rakyat kecil maupun alam. Dukungan sejati adalah mengingatkan, agar janji negara benar-benar dirasakan oleh semua.

Mari kita kawal bersama, dengan hati yang tenang tapi mata yang awas. Karena cinta pada negeri ini bukan hanya soal percaya, tapi juga soal berani mengingatkan demi kebaikan bersama.

Saat ini yang dibutuhkan bukan hanya amarah, melainkan juga solidaritas, doa, dan kepercayaan bahwa mekanisme hukum akan bekerja. Rakyat dapat tenang karena Presiden sendiri telah memberi perhatian penuh terhadap kasus ini, sekaligus mengingatkan semua pihak agar tidak terprovokasi oleh kepentingan yang ingin menunggangi penderitaan rakyat.

Foto Andi Arief (Tirto.id)

Oleh: Andi Arief

Terus terang, sampai saat ini aku meyakini Thukul dan Bimpet tidak diculik. Dan, mereka berdua masih hidup dengan kondisi apapun. Mereka berdua tidak terlibat group perjuangan bersenjata dan tidak dilibatkan dalam organ legal KNPD. Mereka berdua menurut aku secara instingtif menyelamatkan diri secara ekstrim memutus semua komunikasi, mungkin juga paranoid dan stress yang menyebabkan sesuatu yang kita gak tahu. Paska bom tanah tinggi menimbulkan rasa takut dan kecemasan.

Sedangkan Herman itu kemungkinan hidup atau mati itu sama besarnya. Kalau mati, mungkin di tangan Kopassus atau BIA, tapi kemungkiman bisa BIA, karena Herman itu seperri Reza dan Jati yang tidak ada alasan untuk tidak dilepas oleh Kopassus, mereka bertiga satu paket . Aku yakin dia dilepas oleh Kopassus seperti saat dilepasnya Reza dan Jati. Tetapi, dilepasnya kemana? kalau seperti Reza dan Jati, mereka dilepas di suatu tempat. Tapi kalau dilepasnya sperti aku, maka diserahkan ke BIA lalu diserahkan ke Polisi. Pertanyaannya, apakah ada urgensinya Herman dibawa polisi karena tidak ada tuduhan pidana seperti aku yang soal kasus bom.

Soal Suyat aku yakin dia tewas di markas Kandang Menjangan atau sebuah tempat di sekitar Solo setelah ditangkap, tentu karena mengalami penyiksaaan berlebihan, bahkan banyak luka juga di sekujur tubuhnya. Suyat, sebelumnya ditugaskan di organ legal KNPD, tetapi karena memiliki kemampuan membuat detonator dengan metode “jam duduk” dia ditarik dalam group perjuangan bersenjata.

Pada waktunya kita harus bertanya soal Suyat dan Herman secara terbuka atau penyelidikan diam pada pelaku yang masih hidup meski mereka sudah pernah diadili. Itu prioritas pertama. Suyat jelas ada yang melihat ketika diambil lalu tidak kembali pulang dan posisinya tidak bersama di tahanan Kopassus Cijantung. Sementara Herman fokus kita bertanya dan menyelidiki dilepas dimana dia saat itu. Karena Herman ada bersama di tahanan Kopassus bersama Reza dan Jati. Tapi sekali lagi, posisi Herman bukan terlibat di group perjuangan bersenjata yang mengakibatkan bom tanah tinggi meledak.

Dalam sebuah wawancara aku pernah bilang, kita tidak diculik Kopassus, melainkan ditangkap Soeharto. Seluruh Instrumen hukum dan kekerasan yang dimiliki Soeharto sudah tidak mampu melakukan penangkapan atas gerilya kota PRD bawah tanah. Itulah kenapa akhirnya Kopassus diturunkan selain juga karena kita sudah menggunakan bom sebagai alat perjuangan dalam kesimpulan rejim soeharto. Meskipun sesungguhnya bom kita punya maksud bukan untuk membunuh dan menyerang siapapum, soal bom itu untuk apa itu biar jadi misteri. Yang jelas, bom itu bukan untuk membunuh manusia atau membuat teror dan kekacauan.

Foto Muh Isnain Mukadar (Koleksi Pribadi)

Oleh: Muh. Isnain Mukadar

Kartanegara bukan hanya sebuah nama jalan di Jakarta. Di sanalah berdiri kediaman Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, simbol pusat kekuasaan eksekutif yang memegang amanat rakyat. Dari Kartanegara, ide-ide besar lahir, menjadi embrio progresif yang mengalir hingga ke Istana Negara, tempat Presiden berkantor dan memimpin jalannya pemerintahan. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negeri ini, ia merumuskan kebijakan-kebijakan penting, mengambil keputusan strategis, dan menentukan arah masa depan bangsa.

Secara simbolik, Kartanegara adalah panggung dan sekaligus naskah. Dalam perspektif Erving Goffman, tempat ini menjadi “front stage” di mana pemimpin tampil di hadapan publik dengan identitas kenegaraan yang kuat. Bagi Clifford Geertz, Kartanegara dapat dibaca sebagai “pusat” yang memancarkan makna, sebuah poros simbolik dari mana legitimasi kekuasaan dan ide-ide negara mengalir ke seluruh penjuru. Bahkan, dalam kerangka Victor Turner, setiap kebijakan yang lahir dari sini dapat dilihat sebagai bagian dari “ritual transformasi sosial” yang membawa masyarakat dari satu keadaan ke keadaan yang lebih adil.

Tentu, apa yang dilakukan Presiden adalah bagian dari amanat konstitusi dan mimpi besar untuk mewujudkan Indonesia Emas: Indonesia yang tangguh, berdaulat, maju, adil, dan makmur. Mimpi itu hanya akan bermakna jika dijalankan melalui kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil, sejalan dengan roh Pasal 33 UUD 1945 yang menempatkan kekayaan alam untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.

Dari Kartanegara, gagasan-gagasan tersebut harus menembus batas tembok kekuasaan, mengalir hingga ke desa-desa terpencil, pesisir nelayan, dan pusat-pusat produksi rakyat. Ia harus hadir dalam program yang memberi makan bergizi bagi anak-anak sekolah, membangun koperasi desa yang kuat, membuka sekolah rakyat, dan melindungi sumber daya alam negara. Dengan begitu, keadilan sosial tidak lagi berhenti sebagai slogan, tetapi menjadi kenyataan yang hidup dan dirasakan di setiap sudut negeri.

Tanda-tanda langkah ke arah itu mulai terlihat melalui kebijakan prioritas yang lahir dari kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto:

1. Sovereign Wealth Fund – Danantara
Mengelola aset negara untuk pendanaan pembangunan jangka panjang hingga US$900 miliar, fokus pada industrialisasi, infrastruktur, dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.

2. Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Memberikan makanan sehat kepada 19,5 juta anak sekolah dan ibu hamil, memberantas stunting, serta membuka peluang kerja bagi dapur-dapur lokal dan petani penyedia bahan pangan.

3. Koperasi Desa Merah Putih
Menargetkan pembentukan 70.000–80.000 koperasi di desa dan kelurahan sebagai pusat distribusi pangan, simpan-pinjam, apotek desa, dan logistik, dengan pendampingan SDM lokal untuk memperkuat ekonomi kerakyatan.

4. Sekolah Rakyat
Sekolah berbasis asrama untuk anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem, menyediakan pendidikan akademik, gizi, kesehatan, dan tempat tinggal gratis, memutus mata rantai kemiskinan antar-generasi.

5. Penghapusan Piutang Macet UMKM
Melalui PP No. 47 Tahun 2024, piutang macet bagi pelaku UMKM di sektor pertanian, perikanan, dan lainnya dihapus, memberi kesempatan bangkit tanpa terbebani hutang.

6. Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi & Proyek Hilirisasi Strategis
Didirikan melalui Inpres No. 1 Tahun 2025, Satgas ini fokus pada percepatan hilirisasi sumber daya alam seperti mineral, pertanian, hingga kelautan. Mendorong proyek smelter alumina, aluminium, nikel, tembaga, dan infrastruktur energi untuk menciptakan nilai tambah domestik.

7. Stimulus Ekonomi untuk Kelompok Rentan
Menyediakan subsidi transportasi, pengurangan tarif tol, dan bantuan sosial senilai US$1,5 miliar untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah tantangan ekonomi global.

8. Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan
Menegaskan penguasaan negara atas wilayah hutan dan sumber daya alam, memastikan penerimaan negara, serta mendorong tata kelola yang lebih tegas, meski menuai kritik dari aktivis lingkungan dan masyarakat adat.

9. Program Perumahan untuk MBR
Rumah murah tanpa pajak untuk rakyat berpenghasilan rendah, simbol hak atas tempat tinggal layak.

10. Kebijakan Amnesti dan Abolisi pada Momentum HUT RI ke-80
Dengan kebijaksanaan Presiden, pada peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke80, pemerintah memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, abolisi kepada Tom Lembong, serta membebaskan lebih dari 1.100 narapidana sebagai langkah rekonsiliasi politik dan peredaan ketegangan sosial. Dan masih banyak lagi kebijakan progresif lainnya.

Dengan kacamata teori simbolik, setiap kebijakan di atas tidak hanya berfungsi secara praktis, tetapi juga memiliki nilai representasi. Kartanegara, dalam hal ini, menjadi simbol negara yang bekerja, tanda bahwa kekuasaan tidak semata-mata mengendalikan, tetapi juga mengalirkan manfaat dan rasa keadilan kepada rakyatnya.

Kebijakan-kebijakan ini menjadi bukti bahwa dari Kartanegara, aliran keputusan berusaha menyentuh kehidupan rakyat di desa, pesisir, kota, hingga perbatasan. Meski perjalanan mewujudkan keadilan sosial masih panjang dan penuh tantangan, langkah-langkah tersebut memberi harapan bahwa amanat konstitusi mulai diterjemahkan dalam bentuk nyata.

Jika melihat arah kebijakan Presiden yang dikenal sebagai seorang nasionalis, dapat dibaca kecenderungan programnya menuju perwujudan keadilan sosial yang sekaligus sejalan dengan prinsip Sosialisme Indonesia, sebuah konsep yang menempatkan produksi untuk kebutuhan rakyat, pemerataan distribusi, dan partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai pilar utama.

Namun, keadilan sosial adalah perjalanan yang tidak pernah selesai. Ia harus terus diawasi, dikritisi, dan diperjuangkan agar setiap kebijakan sungguh berpihak kepada rakyat banyak, bukan hanya segelintir yang dekat dengan kekuasaan. Inilah tugas kita bersama sebagai bangsa, bergotong royong membangun Indonesia yang tangguh, berdaulat, maju, adil, dan makmur, sebagaimana dicita-citakan para pendiri negeri ini.

Karena itu, setiap kebijakan yang lahir dari Kartanegara harus kita pastikan menjadi mata air yang jernih dan deras, mengalir hingga ke pelosok negeri, agar kemakmuran tidak berhenti sebagai cerita di lembar sejarah, melainkan hadir nyata dan membanggakan di kehidupan setiap warga negara. Inilah mimpi Presiden Prabowo dan para pendahulu bangsa, mimpi tentang Indonesia yang dibangun dengan semangat gotong royong.

Logo Sekolah Rakyat (sekolahrakyat.kemensos.go.id)

Oleh : Dr. Bambang Rustanto, M.Hum dan Agus Elia, M.Si

Karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya(kamus Poerwadarminta). Sekolah Rakyat membekali siswanya dengan ilmu pengetahuan dan life skill untuk pribadi yang berkarakter cerdas, berkualitas dan berintegritas.
Pendidikan merupakan kekuatan dan jika diiringi dengan pembangunan karakter, maka kekuatan itu akan mencapai nilai lebih, “knowledge is power, but character is more”.
Hal inilah yang mendorong disajikannya model pembangunan karakter siswa SR untuk dijadikan acuan, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembelajaran. Model dimaksud, yakni model SSCS, konseling, residen, kemping dan outbound.

1.Model SSCS
Model SSCS adalah model pembangunan karakter yang dilakukan melalui pembelajaran di kelas oleh guru. Model SSCS ini mengakomodasi ranah kognitif, di mana peserta didik dilatih untuk mengembangkan kemampuan (1) mendefinisikan masalah (search); (2) merencanakan dan melaksanakan solusi (solve); (3) memformulasikan hasil (create); dan (4) mengkomunikasikan hasil (share). Model ini sudah diterapkan, terutama pada pelajaran matematika dan Ilmu pengetahuan alam.

2.Model Konseling
Model Konseling (conseling model) adalah pembentukan karakter yang dilakukan melalui aktivitas konsultasi (walaupun dalam batas tertentu dibedakan antara konseling dan konsultasi). Model konseling dapat dilakukan oleh wali murid, pekerja sosial, psikolog dan guru bimbingan & konseling. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok maupun klasikal (kelas).
Model konseling ditujukan untuk mengatasi hambatan dalam diri siswa maupun dari lingkungannya. Konseling meliputi ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik, materi konseling di antaranya pembentukan mindset, mentalset, habitset sampai pada cultureset siswa hingga menjadi karakter sesuai yang harapan.

3.Model Residen
Model residen (residential model) adalah model pembentukan karakter dalam pengasramaan. Model ini lebih menitikberatkan pada kekuatan pembiasaan–the power habit dan pendisiplinan. Model residen mirip dengan model barak. Dalam hal ini, Wali asrama memegang peranan penting dalam mengawasi dan mengarahkan berbagai aktivitas siswa agar terbentuk karakter kebersamaan, kepedulian, gotong royong, disiplin dan kepemimpinan. Model ini seperti model TC–Terapeutik Community.

4.Model Kemping
Model kemping atau kemah (champ model) adalah model pembentukan karakter siswa di alam terbuka. Model ini bertujuan membentuk karakter siswa untuk peduli, mampu bekerjasama, kerja keras, disiplin, kreatif dan kemampuan beradaptasi di lingkungan baru. Skema kegiatan berupa penugasan, pemecahan masalah dan penciptaan kondisi yang menantang dan ditambah dengan aksi-kreasi yang menarik.

5.Model Outbound
Outbound telah populer di ranah pengembangan sumber daya manusia. Model pembentukan karakter melalui outbound menitikberatkan pada kegiatan pembelajaran reflektif melalui permainan yang bertujuan.

Model outbound bercirikan kegiatan yang bernuansa fun, atraktif, impresif dan edukatif. Pembentukan karakter dilakukan dalam suasana menyenangkan, menarik, berkesan dan bermakna. Kegiatan dapat dilakukan di alam terbuka, di lapangan dan atau di ruangan.

Permainan untuk tujuan pembentukan karakter dirancang khusus yang mempunyai kekuatan makna dan daya reflektif dalam istilah lain disebut metode STAR : Situasi, Tantangan, Aksi dan Refleksi (lihat Korina, 2022). Permainan bukan sekedar untuk main-main, bukan sekedar untuk menciptakan kegembiraan tetapi harus mengandung muatan edukatif, motivatif bahkan terapeutik untuk membangun karakter siswa.

Melalui outbound, siswa dibentuk menjadi “pembelajar sejati” yang mampu mengambil pelajaran positif dari situasi dan kondisi apa pun yang dihadapinya. Ke-lima model pembentukan karakter di atas dapat dipilih sesuai kebutuhan atau dapat digunakan secara keseluruhan. Demikian, semoga bermanfaat, khususnya untuk siswa sekolah rakyat.

*) Bambang Rustanto, Dosen pada Poltekesos Bandung.
*) Agus Elia, Pekerja Sosial Ahli Madya pada Poltekesos Bandung


Bahan Bacaan :
Prisca Diantra Sampe dan Izak Jacobis Makulua. 2022. Pendidikan Karakter pada Remaja usia 12 Tahun melalui Kegiatan Character Champ. Jurnal Mangente, November 2022.

Hasby Assidiqi. 2015. Membentuk Karakter Peserta Didik Melalui Model Pembelajaran Search,Solve, Create and Share. Math Didactic : Jurnal Pendidikan Matematika, Vol 1 No.1. STKIP PGRI Banjarmasin

Korina Mangalla. 2022. Menggunakan Metode STAR (Situasi, Tantangan, Aksi dan Refleksi) Terkait Pengalaman Mangatasi Permasalahan Siswa dalam Pembelajaran Matematika. SMKN 3 Sorong.

Foto Prima Bahren (Koleksi Pribadi)

Oleh: Prima Bahren

Tulisan saya kali ini, untuk menanggapi beberapa tanggapan negatif terhadap program sekolah rakyat yang di gagas pemerintah melalui Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos RI). dalam konteks Nusa Tenggara Timur.

Kenapa NTT Harus Menyambutnya?

Nusa Tenggara Timur (NTT) menghadapi tantangan pendidikan yang kompleks, memiliki tantangan unik yang membuat Sekolah Rakyat relevan dan mendesak. hambatan jarak dan transportasi: jarak sekolah bisa ditempuh berjam-jam berjalan kaki melewati medan sulit, kemiskinan ekstrem masih membelenggu, dan fasilitas pendidikan formal tidak merata. kemiskinan struktural: banyak keluarga yang tidak mampu membiayai seragam, buku, atau biaya transportasi. kerentanan sosial: anak-anak dari keluarga miskin ekstrem rentan menjadi pekerja anak atau putus sekolah permanen.

Program Sekolah Rakyat Kementerian Sosial hadir sebagai terobosan yang langsung menyasar akar masalah: sekolah berasrama gratis, untuk anak-anak keluarga miskin ekstrem dan anak jalanan, dengan semua kebutuhan, seragam, makan bergizi, hingga tempat tinggalnya ditanggung negara.

Peluncuran tahap pertama Juli 2025 mencakup 63 titik aktif di seluruh Indonesia, dengan tambahan 37 titik menyusul hingga akhir bulan, total 100 lokasi. Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan penambahan 100 lokasi baru, sehingga tahun ajaran 2025–2026 akan memiliki 200 titik Sekolah Rakyat. Untuk NTT, beberapa kabupaten prioritas yang masuk radar termasuk Rote Ndao, Sumba Timur, Sumba Barat, dan Alor, wilayah dengan tingkat kemiskinan ekstrem tertinggi di provinsi ini.

Menteri Sosial Saifullah Yusuf menegaskan: “Sekolah Rakyat adalah bentuk keadilan sosial bagi keluarga yang belum terbawa dalam proses pembangunan. Kita hadir untuk memberi kesempatan yang setara bagi semua anak Indonesia.”

Sementara itu Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono juga menegaskan: “Pak Presiden ingin memutus rantai kemiskinan melalui jalur pendidikan. Semua anak Indonesia harus sekolah. Mau yang kaya, yang miskin harus sekolah,” dalam sambutannya di hadapan 8.500 mahasiswa.

Di NTT, program ini akan menjadi penentu perubahan. Model berasrama menghapus hambatan jarak dan biaya. Kurikulum yang memadukan akademik, karakter, dan keterampilan hidup membekali anak bukan hanya ijazah, tapi juga kemandirian dan daya saing.

Targetnya jelas: anak-anak di desil 1–2 Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional yang belum terjangkau pendidikan formal.

Namun, kesuksesan Sekolah Rakyat di NTT tidak bisa hanya bergantung pada Kemensos. Pemerintah daerah, tokoh adat, gereja, lembaga pendidikan, hingga dunia usaha perlu ikut bergerak. Lahan dan bangunan yang ada, balai desa, gedung BLK, atau fasilitas tidak terpakai, bisa dioptimalkan. Kader PKH dan relawan lokal dapat menjadi ujung tombak penjaringan anak calon peserta. CSR perusahaan, terutama di sektor energi dan pariwisata NTT, dapat membantu melengkapi fasilitas belajar.

Sekolah Rakyat adalah cermin kehadiran negara yang konkret, tanpa menunggu anak-anak miskin ekstrem datang ke sekolah, tetapi justru menjemput mereka. Dalam konteks NTT, di mana jarak, kemiskinan, dan keterbatasan fasilitas kerap menjadi tembok penghalang, program ini adalah pintu pembuka harapan.

Bagi saya sangat miris jika NTT sering disebut hanya dalam statistik kemiskinan dan putus sekolah. Sekolah Rakyat memberi kesempatan untuk mengubah angka itu akan menjadi kisah sukses: anak dari Rote yang jadi guru, remaja di Sumba yang berwirausaha, pemuda Alor yang mengabdi di desa.

Program Sekolah Rakyat bukan sekadar program pendidikan, ia adalah perwujudan kehadiran negara di titik paling terpinggir NTT. Dengan pendekatan yang inklusif, berkelanjutan, dan menyeluruh, Sekolah Rakyat adalah penggerak perubahan yang tak hanya memberi anak belajar, tapi memberi mereka mimpi, masa depan, dan kehormatan.

Memutus rantai kemiskinan bukan hanya soal memberi bantuan, tetapi memberi anak-anak kesempatan untuk bermimpi, belajar, dan mewujudkannya. Sekolah Rakyat adalah wajah nyata negara yang menjemput, bukan menunggu.

Di NTT, pintu harapan itu kini terbuka dan tugas kita bersama memastikan tetap lebar terbuka untuk masa depan gemilang mereka. NTT sudah siap menyambut dan meluaskan dampaknya. Semoga rencana dan realisasi program ini berjalan mulus, dan menyentuh hati paling bawah dari pendidikan di Indonesia.

Foto Prima Bahren (Koleksi Pribadi)

Oleh Prima Bahren (Ketua JAKER Kota Kupang)


Dari pelantikan Wakil Panglima TNI hingga seruan Indonesia Incorporated, inilah momentum mengembalikan semangat cita-cita proklamasi untuk masyarakat adil dan makmur.

Sedikit tulisan dari Indonesia timur, bagi saya pelantikan Letnan Jenderal Tandyo Budi Revita sebagai Wakil Panglima TNI, yang untuk pertama kalinya diisi kembali setelah puluhan tahun kosong, menjadi momentum penting bagi reformasi kelembagaan militer Indonesia. Perubahan ini bukan sekadar penempatan jabatan, melainkan langkah strategis memperkuat sistem komando dan kesiapan pertahanan negara di era tantangan yang semakin kompleks.

Keputusan Presiden Prabowo melalui Perpres No. 84 Tahun 2025 juga membawa pembaruan dalam struktur kepemimpinan tiga kesatuan pasukan khusus TNI, mengangkat derajat mereka menjadi pangkat bintang tiga. Langkah ini menunjukkan keberanian politik untuk merapikan sekaligus memodernisasi postur pertahanan negara, selaras dengan kebutuhan strategis Indonesia sebagai negara kepulauan besar.

Di sisi lain, seruan Presiden kepada Kamar Dagang dan Industri (Kadin) untuk menghidupkan konsep Indonesia Incorporated patut diapresiasi. Retret Kadin di Akmil Magelang bukan hanya simbol kemitraan strategis antara dunia usaha dan negara, tetapi juga pengingat bahwa kekuatan ekonomi dan pertahanan adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan.

80 tahun setelah proklamasi, bangsa ini diingatkan kembali pada cita-cita luhur pada tujuan bernegara: mewujudkan masyarakat adil dan makmur Itu berarti menjaga keseimbangan antara pertahanan yang kuat, pemerintahan yang bersih, dan rakyat yang berdaya. Jalan menuju tujuan itu menuntut keselarasan antara kebijakan negara, kekuatan ekonomi nasional, dan partisipasi rakyat. Tidak cukup hanya mengandalkan pemerintah atau pengusaha; rakyat pun perlu menggerakkan diri, menjaga etos kerja, menegakkan kejujuran, dan memelihara gotong royong.

Kita membutuhkan sinergi: militer yang tangguh, ekonomi yang inklusif, pemerintahan yang bersih, dan masyarakat yang berdaya. Inilah wujud “Sosialisme Indonesia” yang dimaknai sebagai kesejahteraan bersama, bukan kemakmuran segelintir orang. Janji kemerdekaan tidak akan tuntas hanya di barak prajurit atau ruang rapat pengusaha. Ia harus hidup di sawah, di pasar, di jalan-jalan kampung, di tangan rakyat yang bekerja jujur, bergotong royong, dan tidak menyerah pada keadaan.

Poster Serial Daredevil Born Again (RRI.co.id)

Oleh: Harsa Permata

Setan pemberani, mungkin itu kata-kata yang tepat untuk menerjemahkan kata Daredevil, nama dari salah satu hero Marvel, yang memiliki kemampuan melebihi manusia biasa. Dengan kondisinya sebagai penyandang disabilitas, yaitu tuna netra, Matt Murdock, yang diperankan oleh Charlie Cox, mencoba melawan ketidakadilan berbekal kemampuan beladirinya, serta kemampuan inderawinya, yang spesial, hasil dari gabungan 4 indera miliknya, yang dilatihnya sedemikian rupa.

Pada cerita sebelumnya, di serial Daredevil, Wilson Fisk, alias Kingpin, yang diperankan oleh Vincent D’Onofrio, musuh utama Daredevil, berhasil dipenjarakan olehnya. Sementara, pada serial Daredevil Born Again, yang sudah tayang di Disney + Hotstar sejak 5 Maret 2025 ini, Wilson Fisk telah bebas dari hukumannya.

Tak menyia-nyiakan kesempatan dari kebebasan yang didapatnya, Wilson Fisk maju dalam pemilihan Walikota New York, yang kemudian dimenangkannya. Setelah menjadi Walikota New York, berbagai manuver politik dilakukannya, untuk memapankan kekuasaan yang dimilikinya.

Dengan dalih menjaga keamanan, Kingpin membentuk pasukan khusus yang terdiri dari para polisi brutal dan korup, yang selama ini tersingkir dari NYPD (New York Police Department). Ia menamai pasukan khusus ini dengan nama “Anti-VigilanteTask Force” (Satuan Tugas Anti-Vigilante).

Dalam kenyataannya, Satgas ini hanya berfungsi sebagai gerombolan polisi yang menjadi tukang pukul Fisk. Mereka terlibat dalam berbagai aksi kriminal, yang salah satunya adalah berupa pembunuhan terhadap salah seorang vigilante yang beroperasi dengan nama White Tiger, atau Macan Putih.

Kingpin juga dengan brutal membunuh Kepala NYPD, yaitu Commisioner Gallo, di depan Satgas Anti-Vigilante itu. Commisioner Gallo memang secara terang-terangan menentang arah politik Kingpin. Ia juga bersikap menolak keras penempatan para polisi korup dan brutal dalam Satgas bentukan Kingpin.

Bagaimana dengan Daredevil? Kemana saja dia? Dalam episode awal Daredevil Born Again, DD, si protagonis utama, sedang mengalami demoralisasi karena teman seperjuangannya, Franklin “Foggy” Nelson (Elden Henson), harus kehilangan nyawa, karena dibunuh oleh villain yang bernama Benjamin Poindexter alias Bullseye. Ia memang sempat menghajar dan melempar villain yang menyebabkan kematian temannya itu, dari sebuah gedung tinggi. Akan tetapi, Bullseye tetap tidak mati, bahkan sempat melakukan usaha percobaan pembunuhan terhadap Kingpin.

Belakangan Matt Murdock alias Daredevil mengetahui bahwa Vanessa, istri Kingpin yang menjadi dalang pembunuhan terhadap sahabatnya, Foggy Nelson tersebut. Matt mengonfrontasikan hal ini secara langsung pada Vanessa, saat berdansa dengan istri Kingpin tersebut, dalam sebuah pesta dansa, yang diadakan oleh Kingpin.

Pembunuhan Foggy sebenarnya disebabkan oleh keberhasilannya membongkar sarang mafia, yaitu kawasan pelabuhan yang bernama Red Hook. Di situlah Vanessa menjalankan operasi bisnis gelapnya, menggantikan suaminya, Kingpin yang tengah menjalani hukuman penjara.

Serial Daredevil Born Again ini juga ditandai dengan kembalinya Frank Castle alias The Punisher (diperankan oleh Jon Bernthal), yang juga melawan kejahatan, tapi dengan metode yang berbeda dari Daredevil. The Punisher terkenal dengan sikap untuk tidak segan menghabisi lawan-lawannya, yaitu para villain atau penjahat, sementara Daredevil selalu berusaha sekuat tenaga untuk hanya melumpuhkan dan tidak membunuh lawan-lawannya.

Episode terakhir serial ini, secara tersirat sebenarnya menggambarkan bagaimana sikap dari penulis skenario cerita serial ini terhadap realitas politik terkini di banyak negara di berbagai belahan dunia. Kemenangan kekuatan politik sayap kanan, yang probisnis dan tidak prorakyat serta kemanusiaan, adalah realitas politik yang terjadi di berbagai negara beberapa tahun belakangan ini.

Salah satu realitas politik internasional terkini adalah kemenangan Donald Trump, yang salah satunya didukung oleh kelompok yang mengedepankan isu white supremacy (supremasi kulit putih). Berbagai kebijakan Trump, yang cenderung rasis dan proteksionis, adalah cerminan dari sikap berbagai kelompok sayap kanan, yang menjadi pendukungnya.

Kata-kata Daredevil pada Karen Page di akhir episode finale mungkin mewakili pandangan penulis skenario atau bahkan produser serial ini. “You’re right. We can beat him. We’re going to take this city back, Karen…. We need an army.” (Kamu benar, kita bisa mengalahkannya. Kita akan merebut kota ini kembali Karen…Kita butuh pasukan) (dikutip dari cbr.com, akses 19 Juni 2025).

Perjuangan melawan kekuatan politik sayap kanan yang telah berhasil merebut kekuasaan dan menguasai negara serta pemerintahan di sebagian besar negara, saat ini tidak bisa lagi dengan menggunakan wacana dan kata-kata belaka. Para buzzer yang berfungsi sebagai spin doctor dengan memutarbalikkan fakta kejahatan dari penguasa sayap kanan, akan mementahkan setiap wacana dan pandangan kritis serta protes dari kelompok-kelompok prorakyat, demokrasi, dan kemanusiaan.

Oleh karena itu, sepertinya berdasarkan dialog antara Daredevil dan Karen Page (Deborah Ann Woll) ini, cara yang tepat untuk melawan penguasa sayap kanan, adalah dengan membentuk pasukan perlawanan. Sepertinya season 2, serial Daredevil Born Again ini akan menggambarkan perang antara penguasa penguasa sayap kanan, atau Kingpin, dengan pasukan perlawana, yang dipimpin oleh Daredevil dan kawan-kawan.

Bagaimana dengan dunia nyata? Apakah juga akan bermunculan pasukan perlawanan terhadap penguasa sayap kanan di berbagai belahan dunia? Sepertinya hal tersebut bergantung pada kelompok-kelompok prorakyat, demokrasi, dan kemanusiaan, apakah mereka akan benar-benar melawan secara terorganisir, atau hanya sekedar kelompok protes musiman, yang muncul untuk menyikapi isu dan kebijakan kontroversial dari penguasa belaka.

Untuk kasus Indonesia, pemerintah yang sekarang ini, tidak bisa dengan mudah diberi stempel kanan maupun kiri. Latar belakang Prabowo Subianto, Presiden Indonesia saat ini, yang merupakan seorang Jenderal TNI AD (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat), dan pernah menjabat sebagai Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus), pada era Orde Baru, yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, mertua Prabowo saat itu, walaupun demikian, dengan semua latar belakang ini, tidak dengan serta-merta membuat Prabowo bisa dikategorikan sebagai penguasa sayap kanan. Mengapa demikian?

Komposisi kabinet Prabowo yang cukup terbuka terhadap mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru, serta para mantan anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD), adalah salah satu alasannya. PRD merupakan satu-satunya partai politik yang berani melawan Orde Baru secara frontal. Tercatat ada 5 mantan anggota PRD yang diberi posisi setingkat menteri dalam kabinet Prabowo (suara.com, diakses 11/07/2025).

Selain itu, berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan yang sekarang ini, juga lebih cenderung prorakyat dibanding probisnis. Kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG), pembebasan biaya izin pembangunan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah, swasembada energi, dan swasembada pangan, adalah contoh konkret dari berbagai kebijakan prorakyat, pemerintahan yang sekarang ini (antaranews.com, diakses 11/07/2025).

Indonesia juga resmi bergabung ke BRICS, yang merupakan akronim dari Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, pada 6 Januari 2025. Untuk diketahui BRICS adalah sebuah forum kerja sama ekonomi antarnegara berkembang, yang salah satu arah gerakannya, yaitu untuk mengurangi ketergantungan atas mata uang dollar AS (Amerika Serikat) (kompas.id, diakses 11/07/2025).

Secara umum, sebenarnya, bisa disimpulkan, bahwa pemerintahan Indonesia, yang sekarang, lebih cenderung ke kiri tengah dibanding ke kanan. Akan tetapi, Indonesia, sebagai salah satu negara yang cukup dirugikan dengan kebijakan proteksionis, tarif impor Trump (Trump Tariff), tentu saja tidak bisa bertahan di posisi kiri tengah, jika tidak mau dilindas oleh penguasa sayap kanan, Donald Trump. Untuk diketahui, pemerintahan AS, di bawah Trump, awalnya menetapkan tarif impor produk Indonesia ke AS, tetap 32%. Trump sebenarnya juga memberikan opsi pembebasan tarif impor bagi Indonesia, jika mau membangun pabrik produk Indonesia di Amerika Serikat (tempo.co, diakses 11/07/2025). Akan tetapi, pada 22 Juli 2025, pemerintah Amerika Serikat mengumumkan penurunan tarif impor bagi Indonesia menjadi 19%, dengan berbagai syarat, salah satunya adalah tarif impor 0% bagi barang-barang produk Amerika Serikat untuk Indonesia. Hal ini terjadi setelah proses negosiasi antara pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat (tempo.co, diakses 25/07/2025).

Artinya, sikap Indonesia terhadap kebijakan Trump yang probisnis ini, akan menentukan apakah Indonesia akan tetap prorakyat, seperti halnya Daredevil dan kawan-kawannya, ataukah akan lebih probisnis, selayaknya Kingpin. Untuk itu, kalau boleh meminjam kata-kata Daredevil tadi, yaitu, “We need an army”, untuk melawan Kingpin, yang telah menguasai negara, maka Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, seharusnya mampu menggalang persatuan yang kuat, antarnegara-negara yang dirugikan, untuk melawan Amerika Serikat, di bawah Donald Trump. Bukan hanya sekadar bernegosiasi, yang hasilnya secara umum malah menguntungkan negara Amerika Serikat di bawah Donald Trump.

Dalam sejarah, satu-satunya Presiden Indonesia, yang berani melawan Amerika Serikat, hanya Soekarno. Hal yang sepertinya menjadi salah satu penyebab kejatuhan Soekarno dari puncak kekuasaan di Indonesia. Untuk itulah, pada masa sekarang ini, jika Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto berani melawan Amerika Serikat, maka hanya persatuan bangsa Indonesia yang solid, yang bisa menjamin kemenangan Indonesia melawan Amerika Serikat di bawah penguasa sayap kanan, Donald Trump.

Foto Harsa Permata (Koleksi Pribadi)

Oleh: Harsa Permata

Sebelum berbicara lebih jauh tentang bagaimana teknik penulisan yang sesuai dengan garis ideologi Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER), ada baiknya kita melihat ke belakang, khususnya yang terkait dengan sejarah sastra Indonesia. Karena sastra sebagai salah satu bagian dari seni, adalah hal yang sangat melekat pada kebudayaan Indonesia, bahkan saat wilayah Kepulauan Indonesia ini masih bernama Nusantara.

Penggunaan bahasa Melayu, yang menjadi cikal-bakal bahasa Indonesia, dalam penulisan sastra, bahkan sudah dimulai semenjak abad 19, atau tepatnya pada sekitar tahun 1850-an (Erowati & Bahtiar, 2011: 11). Sebelum abad ke-20, atau sebelum dimulainya era pergerakan nasional Indonesia, karya sastra yang berkembang saat itu lebih didominasi oleh pantun, syair, gurindam, dan hikayat, yang biasanya menggunakan bahasa daerah. Era ini disebut sebagai Angkatan Pujangga Lama, isi karyanya, biasanya berupa petuah atau nasihat moral, kisah para raja, atau bangsawan (Abi Mu’ammar Dzikri dalam tirto.id, diakses 24/06/2025).

Era berikutnya, adalah Angkatan Pujangga Baru, yang namanya diambil dari nama majalah yang dikelola oleh Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisyahbana, yaitu majalah “Pujangga Baru”. Majalah ini terbit sebagai reaksi terhadap sensor penerbitan Balai Pustaka, terhadap karya para sastrawan, yang menyuarakan tentang semangat nasionalisme dan kesadaran kebangsaan (Erowati & Bahtiar, 2011: 39).

Muncul setelah pergerakan nasional Indonesia mengalami titik balik, pasca gagalnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda, pada sekitar tahun 1926-1927. Oleh karena itu, tidak heran dominasi kesadaran kebangsaan dan nasionalisme, cukup kental dalam karya-karya para sastrawan masa ini.

Salah satu puisi karya Armijn Pane, yang berjudul “Bertemu”, mungkin cukup tepat untuk mewakili nafas dan semangat sastra era Pujangga Baru ini,

Di tepi pantai laut kami bersua,
Dan kami memandang ke dalam mata masing-masing,

Yang penuh sengsara, penuh duka,
Karena negeri digenggam bangsa asing.

Dengan diam kami berjabat tangan,
Sambil menantang muka saudara yang muram caya,

Kami bersama pergi berjalan,
Melalui dataran di senjakala.

Angin meniup jubah kami,
Bagai mengembus kain mati

(Sumber: sepenuhnya.com, akses 24/06/25).

Jika dibandingkan dengan isi novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis, yang tebit pada tahun 1928, atau pada era Pujangga Lama, maka kita bisa melihat bahwa satir dalam novel tersebut, hanya berupa cemoohan dan kritik terhadap sikap para pemuda yang mengidolakan kebudayaan barat atau kebarat-baratan. Tidak ada sama sekali seruan nasionalisme dan kesadaran kebangsaan, dalam novel terbitan Balai Pustaka itu. Hanafi, si tokoh utama, digambarkan sebagai seorang laki-laki yang tega meninggalkan istrinya yang orang Minang, untuk mengejar perempuan Belanda yang dicintainya, yaitu Corrie (indonesiakaya.com, akses 24/06/2025).Sementara puisi “Bertemu” karya Armijn Pane, menuliskan tentang kedukaan dalam mata dua orang yang bertemu, akibat negerinya dikuasai oleh bangsa asing.

Pada masa pendudukan Jepang, antara tahun 1942-1945, sastra Indonesia dikembangkan sebagai alat propaganda pemerintah militer Jepang. Lembaga Sendenbu, yang berisikan wartawan, budayawan, dan seniman, dibentuk oleh pemerintah militer Jepang, untuk mengomandoi propaganda kebijakan pemerintah Jepang, dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa yang dimengerti oleh sebagian besar rakyat Indonesia saat itu (Erowati & Bahtiar, 2011: 49).

Pasca kemerdekaan, atau tahun 45, dan setelahnya, polemik dan friksi antara dua kutub sastra Indonesia, tak terelakkan, dua kutub tersebut yaitu kutub sastra yang mengusung semangat seni untuk rakyat, yang dimotori oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan kutub sastra yang mengusung semangat seni untuk seni, yang disuarakan oleh kelompok yang menamai diri mereka sebagai Manikebu (Manifes Kebudayaan). LEKRA berdasarkan pada ideologi realisme sosialis, sementara Manikebu mendasarkan diri pada ideologi humanisme universal (Erowati & Bachtiar, 2011: 56-57).

Sebenarnya puisi-puisi Chairil Anwar, sastrawan utama, angkatan 45, atau pasca kemerdekaan, yang diklaim oleh kelompok Manikebu sesuai dengan ideologi humanisme universal mereka, tidak sepenuhnya berwarna seni untuk seni. Khususnya dalam puisi “Karawang-Bekasi”, yang sebenarnya merupakan simbolisasi penghargaan terhadap para pejuang Republik Indonesia (Yulaika Ramadhani, dalam tirto.id, akses 24/06/2025).

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami

Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berilah kami arti


Antiklimaks dua kutub utama dalam sastra Indonesia ini, terjadi pasca peistiwa G-30S 1965 (Gerakan 30 September 1965). Pemberangusan terhadap para sastrawan dan seniman pendukung Bung Karno, terjadi pada saat Orde Baru berdiri, yang ditandai oleh pemberian Surat Perintah Sebelas Maret oleh Presiden Soekarno (Bung Karno) kepada Jenderal Soeharto, yang kemudian memimpin Orde Baru sampai lengser tahun 1998 (Erowati & Bachtiar, 2011: 61).

Salah seorang intelektual, yang bernama Wijaya Herlambang mengungkapkan hasil risetnya tentang pemberangusan karya-karya sastrawan dan seniman pendukung Bung Karno, yang tergabung dalam LEKRA dan lainnya, oleh Rezim Orde Baru. Pengagungan ideologi humanisme universal, yang pada dasarnya didominasi oleh liberalisme barat dan penyebaran sikap anti komunisme, adalah corak penulisan sastra pada masa itu.

Walaupun implementasi ideologi humanisme universal tidaklah sevulgar cara-cara militer dalam memanfaatkan domain kebudayaan untuk melegitimasi kampanye kekerasan mereka terhadap kaum komunis -ini sebabnya maka menjadi lebih sulit untuk diukur dan dikaji-namun demikian tujuan keduanya tetap sarna, yaitu mengibliskan komunisme termasuk ideologi dan praktik kebudayaannya. Pendeknya, upaya-upaya itu adalah bentuk legitimasi kebudayaan terhadap penghancuran komunisme (Herlambang, 2014:10-11).

Novel Arswendo Atmowiloto, yang berjudul “Pengkhianatan G30S/PKI”, menurut Wijaya Herlambang berisikan gambaran hitam putih terhadap komunisme yang diwakili PKI dan TNI (Tentara Nasional Indonesia). PKI digambarkan secara hitam, sebagai setan pengecut, yang tidak terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, sementara para Jenderal digambarkan secara putih selayaknya malaikat. Novel inilah yang mendasari pembuatan Film dengan judul sama, yang disutradarai oleh Arifin C Noer. Film ini pada msa Orde Baru dijadikan film yang wajib diputar oleh stasiun televisi milik pemerintah Indonesia, yaitu TVRI (Televisi Republik Indonesia) (Herlambang, 2014: 176-2014).

Akan tetapi, masa Orde Baru juga melahirkan karya-karya sastra yang menyuarakan perlawanan terhadap ketertindasan rakyat di bawah rezim Orde Baru. Ada dua sastrawan yang mengemuka pada masa itu, pertama, yaitu Willibrordus Surendra Broto Narendra, atau W.S. Rendra. Kedua, yaitu, Wiji Thukul.

Karya Rendra yang bernuansa kritik sosial, salah satunya adalah “Sajak Sebatang Lisong”.

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit. Fajar tiba
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan, tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.

Menghisap udara yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting antri uang pensiunan
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata : bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun mesti di-up-grade disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya, tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon, Berjuta-juta harapan ibu dan bapak menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.

Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan hanya menghayati persoalan yang nyata.

(sumber: kompas.com,akses 24/06/2025)

Sementara karya Thukul yang terkenal salah satunya adalah puisi yang berjudul “Peringatan”,
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembuyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

(Sumber: kompas.com, akses 24/06/2025).

Jika dibandingkan kedua puisi karya dua penyair tersebut, akan terlihat bahwa penggunaan kata dalam puisi Wiji Thukul, lebih gamblang dibandingkan puisi W.S. Rendra. Hal tersebut dikarenakan bahwa Thukul berasal dari kelas sosial yang merasakan langsung ketertindasan ekonomi dan politik di bawah rezim Orde Baru. Sehingga boleh dikata, puisi-puisi Thukul adalah gambaran pengalaman hidup sehari-hari yang dirasakannya. Sementara Rendra, selain memang sempat mengenyam pendidikan tinggi di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, memang tidak secara langsung merasakan keterpinggiran ekonomi di bawah rezim Orde Baru.

Hal inilah, yang sepertinya membedakan jalan perjuangan yang diambil oleh Wiji Thukul dan W.S. Rendra. Thukul memilih untuk bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang melawan Orde Baru secara frontal. Sementara, Rendra tetap dalam komunitas senimannya, menyuarakan kritik terhadap rezim Orde Baru.

Pasca jatuhnya Rezim Orde Baru, atau pada masa Reformasi, dua kutub sastra kembali muncul. Pertama, adalah karya-karya sastra fiksi islami, yang mengedepankan karya-karya bertema moralitas, antisekularisme, antihedonisme, dan eksploitasi tubuh. Semangat ini salah satunya diusung oleh Forum Lingkar Pena (FLP). Kedua, yaitu karya-karya sastra yang dilahirkan oleh para sastrawan anggota Komunitas Utan Kayu (KUK), seperti Djenar Mahesa Ayu dan Ayu Utami, banyak mengusung tema-tema liberalisme dan individualisme, seperti seksualitas dan tubuh, hal-hal yang bertentangan dengan tradisi Indonesia dan ajaran agama (Nasrulloh, 2013: 4-5).

Karya-karya sastrawan Seno Gumira Ajidarma, yang bernuansa postmodern dan surealis juga mewarnai era reformasi ini. Kritik terhadap Rezim Orde Baru dan otoritarianisme, adalah unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra, sastrawan Seno Gumira Ajidarma. Di sisi lain, masa reformasi ini juga membuat karya-karya para sastrawan LEKRA, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Martin Aleida, bisa dikonsumsi secara mudah oleh khalayak luas. Bahkan salah satu novel karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu “Bumi Manusia”, diadopsi menjadi sebuah film dengan judul sama, yang dirilis tahun 2019 (Insistpress.com, diakses 24/06/2025). Karya sastra Eka Kurniawan, juga mengusung tema-tema surealisme dan realisme magis (literat.my.id, akses 24/06/2025).

Ada banyak penulis sastra pasca reformasi, yang lain seperti Linda Christanty, Leila Chudori. Untuk Linda Christanty. Jika membaca karya Linda yang terkenal, yaitu “Kuda Terbang Maria Pinto”, maka akan terlihat sekali kentalnya nuansa surealisme dalam karya tersebut. “Angin tiba-tiba bertiup kencang lewat jendela. Tubuhnya menggigi. Ia melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Mengapa perempuan itu selalu mengikutinya ke manapun?” (ruangsastra.com, akses 24/06/2025).

Menurut Yanty Nuryanah, cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” (KTMP) pada dasarnya adalah sebuah satir dalam bentuk ironi, terhadap masalah kemanusiaan, yang eksis dalam kenyataan . Cerpen KTMP ini juga adalah judul untuk buku kumpulan cerpen karangan Linda Christanty. Cerpen-cerpen di dalam kumpulan cerpen tersebut pada umumnya berisikan satir terhadap realitas sosial (Nuryanah, 2017 :63-67).

Gaya surealis juga terlihat dengan jelas pada salah satu paragraf dalam novel “Laut Bercerita”, karya Leila Chudori, “Begitu saja, berkat doa para burung, aku sudah berada di dasar laut. Dan begitu saja, ketika aku merasa dirubung oleh ratusan ikan dara, ikan sersan mayor, lantas kepalaku berdebam keras di atas salah satu koral otak. Mereka, rombongan ikan itu menciumku, mungkin merasa belas kasih kepada mayat yang begitu sia­-sia.” (Chudori, 2017: 6). Novel “Laut Bercerita”, pada dasarnya adalah berisikan satir terhadap sejarah politik Indonesia, khususnya pada era rezim Orde Baru, yang diwarnai oleh berbagai kasus pelanggaran HAM, salah satunya adalah penculikan aktivis prodemokrasi.

Surealisme menurut ensiklopedi Britannica, adalah sebuah penyatuan antara alam sadar dan bawah sadar, dengan demikian dunia fantasi dan mimpi bisa menyatu dengan dunia keseharian, sehingga menjadi sebuah dunia tersendiri, yaitu surealitas, “Surrealism was a means of reuniting conscious and unconscious realms of experience so completely that the world of dream and fantasy would be joined to the everyday rational world in ‘an absolute reality, a surreality’,” ( dikutip dari britannica.com/art/Surrealism, akses 24/06/2025). Artinya gaya surealisme dalam sastra, tidak bisa dikategorikan sebagai realis, tetapi lebih kepada kritik sosial melalui penggambaran dunia fiktif, yang berdasar pada refleksi pengarang atau seniman terhadap realitas sosial.

Pertanyaan terakhir: Bagaimanakah seharusnya penulisan sastra yang diadopsi oleh Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER)?

Pada dasarnya, dalam pandangan saya, dalam setiap aliran sastra itu selalu terdapat unsur-unsur positif dan negatif. Karya-karya sastra liberal dan surealis biasanya juga banyak berisikan refleksi dan kritik atas ketidakadilan dalam hidup dan kenyataan. Karya sastra yang bernuansa realisme sosialis, juga jika disampaikan dalam bahasa yang menjemukan, tentu saja akan membuat pembaca enggan membacanya sampai selesai.

Bagi saya, gaya penulisan sastra seperti yang digunakan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi, khususnya Bumi Manusia (Toer, 2002), adalah suatu gaya yang berhasil mengombinasikan antara postmodern, yang ditandai dengan eksplorasi tema-tema kecil, dengan tema-tema besar, yang menjadi esensi aliran modern.

Kisah cinta Minke dan Annelies yang tragis. Sikap Minke yang tidak pernah menyerah memperjuangkan emansipasi dirinya dan bangsanya. Kedua hal tadi adalah bukti bahwa Pramoedya berhasil menggabungkan dua gaya penulisan yang saling berseberangan tersebut.

Propaganda cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang setara, tanpa diskriminasi , dan berkeadilan sosial, atau masyarakat sosialis, memang adalah hal yang utama dalam garis perjuangan JAKER. Persoalannya adalah bagaimana supaya propaganda tersebut menarik pembaca. Khususnya generasi yang lahir dan besar pada era digital, yang lebih banyak mendapatkan informasi secara digital, melalui gawai telepon pintar yang mereka miliki. Untuk itu, propaganda tersebut harus bisa dengan mudah diakses, ditangkap dan dipahami oleh para pembaca.

Isu-isu disabilitas, juga seharusnya tidak dikesampingkan begitu saja. Sebaliknya, isu-isu teresebut tetap harus dipropagandakan, dalam koridor untuk mewujudkan sila ke-5, Pancasila. Karena, jika berbicara tentang keadilan sosial, maka kaum difabel sebagai bagian dari bangsa Indonesia, juga harus mendapat perlakuan yang adil dan manusiawi.



Daftar Pustaka

Erowati S dan Bahtiar A. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.2014.

Chudori, L, S. Laut Bercerita. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2017.

Herlambang, Wijaya. Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Tangerang: Marjinkiri. 2014.

Nuryanah, Yanty. 2017. Satir Dalam Kumpulan Cerpen Kuda Terbang Maria Pinto Karya Linda Christanty Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia. (Skripsi Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah: Jakarta). Diakses dari https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/36468?mode=full.

Toer, P,A. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra. 2002.

Abi Mu’ammar Dzikri dalam tirto.id, diakses 24/06/2025.

britannica.com/art/Surrealism, akses 24/06/2025

indonesiakaya.com, akses 24/06/2025.

Insistpress.com, diakses 24/06/2025.

Kompas.com, akses 24/06/2025.

literat.my.id, akses 24/06/2025.

Ruangsastra.com, akses 24/06/2025.

sepenuhnya.com, akses 24/06/25.

Foto Untung Sarwono (Koleksi Pribadi)

Oleh: Untung Sarwono
SekJend. Jaringan Kebudayaan Rakyat


Kesenian di Indonesia tidak bisa terlepas dari garis ideologi dan garis politik baik secara organisasi maupun personal. Namun semenjak Orde Baru, kesenian dijauhkan dari kerja-kerja politik untuk mengibarkan panji panji ideologi sebagai alat pencerahan dan pengetahuan di massa rakyat.

Orde Baru dibangun dengan semangat reaksioner dan pembantaian pendukung pendukung kiri membuat kesenian berbasis organisasi kiri hancur total. Perdebatan ideologis seni dan budaya baik kiri maupun kanan di era orde lama rontok oleh represif militer baik secara struktur maupun infrastruktur, tidak ada pemenang. Di bawah moncong senjata lahirlah budaya baru berbasis militer seperti upacara bendera dan baris-berbaris.

Kehidupan seni dan juga kebudayaan di bawah orde baru semakin terpuruk tak jelas arah dan tujuan baik secara ideologi maupun politik ketika seni ditempatkan di bawah kepentingan kapital. Mereka harus bergandengan tangan dengan kapital yang wujudnya dapat dilihat dengan jelas dalam pengabdian seni untuk pariwisata serta merebaknya kesenian populer jika ingin bertahan hidup. Kesenian menjadi tidak serius baik karya-karya yang dihasilkan maupun pertunjukan perunjukan yang dibawakan di pangung panggung dan tak lagi menjadi daya tarik bagi rakyat untuk mengekspresikan karya-karyanya selain menjadi corong pemerintahan Orde Baru.

Seni Perlawanan

Sejarah banyak mencatat ada masa saat orang terpaksa berhadapan dengan sistem yang menindas dan seniman ikut terpanggil menentangnya seperti Pablo Neruda, penyair Chile, harus berhadapan dengan pemerintah militer Augusto Pinochet. Nikolai Vaptsarov, pemimpin rakyat Bulgaria menentang fasisme, adalah penyair yang sangat terkenal di negerinya. Jose Rizal, pahlawan rakyat Filipina, yang dieksekusi penjajah Spanyol, seorang sastrawan besar. Dan juga ada Fransisco Borja da Costa, penyair Timor Lorosae, yang mati ditembak tentara Indonesia, sajak-sajaknya telah menjadi lagu rakyat Timor Leste.

Di masa Orde Baru, rezim yang begitu brutal dan sewenang-wenang orang tak bisa sendirian menentang penguasa bila tidak ingin bernasib sama seperti aktivis buruh, Marsinah dan Udin seorang Jurnalis dari Bantul. Namun kesewenang-wenangan itu harus dilawan dan mereka merasa perlu bersatu dalam perjuangan yang terorganisir. Dengan kesadaran itulah maka Wiji Thukul dan kawan-kawan membentuk organisasi perlawanan dengan basis seniman yang mempunyai semangat yang sama untuk menghadapi kekejian rezim Orde Baru yang kapitalistik, feodal dan militeristik.

Sajak-sajak Wiji Thukul tak hanya bernada perlawanan, tapi juga mengajak orang untuk bersatu melawan, mulai dari melawan pemilik pabrik sampai pemerintahahan Orde Baru. Wiji Thukul menyuarakan rasa ketertindasan rakyat kecil di masa itu, yang dirinya pun menjadi bagian dari mereka yang tertindas. Maka dengan tegas Wiji Thukul memosisikan dirinya berada di pihak rakyat dan menyebut sajak-sajaknya sebagai sajak perlawanan.

Seni bagi Wiji Thukul adalah seni yang terlibat, menyatu dalam dinamika masyarakatnya, bukan kumpulan imajinasi belaka. Wiji Thukul tak hanya menyuarakan kesengsaraan mereka, tapi juga membangkitkan semangat untuk melawan ketidakadilan itu. Sajak-sajaknya bukan semata-mata hujatan pada kekuasaan, tapi juga jalan keluar bagi orang yang ditindas, jalan yang tak disukai penguasa yaitu jalan melawan. Samuel Tylor Coloridge (1772-1834), sastrawan di masa romantik telah menyebut sajak sejenis karangan yang berlawanan dengan karya sains, bersifat memberi kesenangan langsung. Padahal, sajak-sajak Thukul lebih menimbulkan rasa gelisah ketimbang kesenangan

Ada tiga sajak Wiji Thukul yang fenomenal dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan, Sajak Suara, serta Bunga dan Tembok. ketiganya ada dalam antologi Mencari Tanah Lapang yang diterbitkan oleh Manus Amici, Belanda, pada tahun1994. Sajak-sajak Thukul berisi protes sosial, yang dalam hal ini berbenturan langsung dengan para penguasa orde baru.

Pada Mei 1998 di tengah aksi massa yang menuntut pemerintahan transisi meledak kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jakarta serta kota-kota lainnya. Banyak toko dibakar dan dijarah yang memaksa Suharto sebagai motor Orde Baru jatuh. Pada masa inilah ada yang menyebutkan Wiji Thukul dihilangkan aparat. Ia dilenyapkan sebagai konsekuensi atas karya-karyanya dan aktivitas politiknya, yang menjadikan seni sebagai cara untuk melawan orde baru, dan Wiji Thukul dinyatakan hilang dari tengah massa yang dibela.

Paska tumbangnya Suharto muncul penyair kerakyatan yang segaris dengan seni perlawanan nya Wiji Thukul dan terus-menerus menyuarakan bentuk bentuk ketidakadilan serta penindasan yang terjadi. Winarso seniman asal Solo mengisi kekosongan ruang seni perlawanan dengan sajaknya yang indah dan meliuk-liuk dengan tata bahasa lebih dramatis, dibanding Wiji Thukul yang lebih frontal dan menusuk ke jantung kekuasaan, karya Winarso yang paling fenomenal adalah Pesan Sang Ibu, Sajak Bintang Merah, Kabar Untuk Anak dan Sajak Tanpa Kata yang diluncurkan di album Sanggar Satu Bumi Volume I.

Jejak Penyair Kerakyatan

Dua puluh tahun tumbangnya orde baru ternyata kondisi rakyat belum beranjak pada persoalan ketimpangan sosial ekonomi dan problem demokrasi sebagai proses menuju tatanan yang lebih adil dan beradab. Demokrasi telah di sandera oleh sekelompok elit politik dan oligarki ekonomi sisa sisa orde baru. Nyaris tidak ada perubahan sama sekali selain hutang yang membengkak, korupsi yang menggurita dari tingkat aparatur tertinggi sampai tingkat desa.

Demokrasi Liberal hanya melahirkan politisi yang brutal, korup bahkan intoleran terhadap kebhinekaan kita. Mahalnya biaya untuk mengikuti proses demokrasi lewat pemilihan umum justru melahirkan budaya transaksional yang semakin menjerumuskan rakyat pada budaya instan. Rakyat disuguhi akrobatik kepalsuan di mana-mana.

Musuh bersama kita ialah Imperialisme yang menguasai dan menjarah aset sumber daya alam kita secara masif, Namun rezim demi rezim di era reformasi tidak berdaya untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi maupun politik, tapi justru terjebak etatisme. Sistem etatisme, di mana negara beserta aparatur ekonomi negara bersifat dominan serta mendesak dan mematikan potensi dan daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor negara.

Berangkat dari rumitnya sistem demokrasi ekonomi dan politik kita, para penyair kerakyatan tidak menyerah begitu saja untuk tetap menyuarakan kaum yang terpinggirkan. Lewat divisi penerbitan bukunya, Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER) menerbitkan beberapa buku tentang puisi puisi perlawanan seperti Kota Ini Ada Di Tubuhmu (Antun Joko Susmana, 2008) , Negeriku (Agus Jabo Priyono, 2009), Burung Burung Bersayap Air (Dewi Nova, 2010). Kawan Dan Berlawan (Dominggus Oktavianus, 2010), Akulah Perempuan (Unsar dan STB Jakarta, 2017) , Empat puluh lima (Roso Suroso, 2018).

Untuk menegaskan bahwa puisi perlawanan masih hidup maka Jaringan Kebudayaan Rakyat pada awal Juni 2018 menerbitkan Antologi Puisi 14 Penyair dari 13 kota yang tersebar di Indonesia dengan judul Resolusi Penyair, Buku ini menegaskan bahwa jejak jejak puisi perlawanan masih terus berkobar dan menyala di tengah tengah massa. Walau gaung gemuruhnya belum menggema seperti karya-karya Wiji Thukul dan Winarso namun yang perlu digaris bawahi adalah keberanian para penyair kerakyatan memilih jalan senyap, jalan puisi perlawanan.

Kini dua puluh tujuh tahun paska kediktatoran Orde Baru yang “relative” demokrasi politik multi partai terbangun akankah para penyair kerakyatan akan meningkatkan tema karyanya yang lebih maju menuntut terciptanya demokrasi ekonomi yang adil dan merata untuk kemakmuran bersama atau masih berkutat melawan rezim siapa yang berkuasa? Tentunya kita bisa diskusikan dalam Konfrensi Nasional Sastra JAKER 2025 ini.

Eva K Sundari

Hari ini, tanggal 27 Mei adalah Hari Jamu – racikan herbal khas Indonesia. Jamu menyehatkan dan perlahan bisa menyembuhkan banyak penyakit sehingga tubuh bisa sehat kembali. Lalu, apa “Jamu” yang bisa menyembuhkan luka demokrasi akibat gangguan terhadap agenda reformasi?

Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 atas tekanan gerakan reformasi. Kemenangan gerakan demokrasi ini tidak boleh dihilangkan, bahkan literasinya harus diperbaiki dengan tinta tebal oleh para perempuan korban kekerasan Mei 98 tersebut.

Ita Nadia – Ketua Sejarah Perempuan Indonesia (SPI) sebelumnya memprotes minimnya tokoh perempuan dalam penulisan sejarah Indonesia selama ini. Sambil protes, dia menyodorkan data para tokoh perempuan di masa lalu yang terlibat dalam gerakan perempuan yang pantas dibukukan pemerintah. Tuntutannya satu – sejarah gerakan perempuan harus dituliskan beserta tokoh-tokohnya juga.

Para perempuan ada di setiap peristiwa sejarah bangsa baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Dalam gerakan reformasi 98, ada perempuan yang berperan aktif sebagai pelaku dalam perlawanan rakyat terhadap kekerasan politik, pembungkaman oposisi, dan perlawanan terhadap otoritarianisme.

Tetapi, ada juga ratusan rakyat perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di Gerakan Reformasi tersebut. Sehingga, dimensi ini harus ada dalam literasi kebudayaan sebagai pengingat setiap warga negara agar sejarah kelam perlakuan kejam terhadap perempuan tidak terulang.

Bulan Mei sarat peristiwa kebudayaan mulai Hardiknas, Harkitnas, Gerakan Reformasi dan penetapan Hari Jamu – warisan budaya Nusantara pada tanggal 27 Mei. Tidak terlihat politis: jamu — minuman herbal tradisional. Tetapi kebudayaan membutuhkan jamu untuk menyembuhkan dan menyehatkan kesadaran bangsa.

Kita buatkan metafora untuk menyatukan reformasi dan jamu sebagai upaya menggali makna penyembuhan atas luka kolektif bangsa terkait reformasi. Ketika negara tidak konsisten memenuhi agenda reformasi, maka kita harus meracik jamu untuk menguatkan ingatan atas keberadaannya secara presisi. Kita harus meramu jamu melawan lupa demi penyembuhan dan menolak pembuatan jamu untuk mengaborsi reformasi.

Reformasi adalah titik genting dan penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Rakyat menunjukkan perlawanan terhadap pembungkaman suara oposisi, pembatasan kebebasan berorganisasi dan berekspresi, korupsi, kolusi, nepotisme hingga dwi fungsi TNI-POLRI (ABRI).

Ketiadaan sosok almarhum Ita Martadinata, salah satu korban perkosaan masal terhadap ratusan perempuan Tionghoa dalam Pameran “Sunting, Sejarah Perempuan Indonesia” di Musium Nasional saat ini mengganggu rasa keadilan. Kecenderungan menghilangkan perempuan baik sebagai pelaku maupun korban dalam penulisan sejarah harus dihentikan.

Sangatlah nyata bahwa perempuan harus menuliskan sejarahnya sendiri demi mengabadikan kehadiran mereka dalam perjalanan bangsa. Mungkin karena sejarawan masih didominasi laki-laki yang masih patriarkis sehingga penulisan sejarah selalu bias laki-laki.

Penulisan sejarah yang bias laki-laki adalah “sakit dan luka” yang harus dipahami dalam rasa keutuhan yang nir keadilan sehingga penulisan harus terbuka terhadap perbaikan. Bangsa ini tidak boleh lagi tumbuh dengan kepikunan sejarah yang isinya semata tentang peran laki-laki. Ibaratnya, Sukarno diberi gelar pahlawan sedang peran Inggit Ganarsih yang menghidupi Sukarno dengan berjualan jamu diabaikan.

Perempuan harus meracik jamu untuk mencegah negara melupakan atau bahkan menguburkan mereka. Harus ada jamu melawan lupa amanat reformasi yang di dalamnya ada demokrasi juga untuk para perempuan korban. Bangsa ini harus minum jamu agar sembuh dari berbagai penyakit lupa substansi ideologi dan demokrasi.

Jamu, dalam tradisi Nusantara, adalah simbol kearifan lokal yang menyatukan ilmu pengetahuan, intuisi alam, dan perawatan tubuh. Ia hadir bukan untuk menghapus rasa sakit secara instan, melainkan untuk mengembalikan keseimbangan — secara bertahap, dengan penuh kesabaran. Demikianlah peran perempuan dalam mencari keadilan bagi diri mereka. Menyembuhkan secara perlahan, menyadarkan dan bukan mematikan karena balas dendam.

Seandainya penulisan sejarah adalah penyakit — bias patriarki dan kekuasaan — maka kita membutuhkan jamu penguat ingatan dan pembangkit kesadaran untuk pro keadilan. Kita butuh ramuan sejarah yang diracik dari bahan-bahan seperti kejujuran, keberanian membuka luka, dan keteguhan melawan lupa. Jamu untuk penulisan sejarah yang presisi adalah seruan untuk bangsa agar tidak sekadar meminum nostalgia pahit, tapi belajar meneguk makna dari penderitaan politik diskriminasi dan subordinasi perempuan.

Dalam dunia jamu, setiap bahan punya fungsi: kunyit untuk peradangan, jahe untuk menghangatkan, temulawak untuk pencernaan. Maka dalam penulisan sejarah pun, kita perlu bahan-bahan serupa: arsip sebagai bahan mentah, pendidikan sejarah sebagai alat pengolah, dan kesadaran kritis bagi sejarawan perawisnya dan bagi rakyat sebagai peminumnya.

“Jamu untuk Penulisan Sejarah” adalah ajakan pula untuk kaum perempuan agar menulis sendiri masa lalu mereka layaknya membuat jamu pahit — agar tubuh kebangsaan kita pulih. Kita tidak bisa terus-menerus menyoal hidup dengan luka tersembunyi yang tidak pernah dibersihkan dan difungsikan kembali.

Perempuan harus ikut lantang menyuarakan penderitaannya dalam tulisan sebagai perlawanan yang menyempurnakan kerja kebudayaan. Tetapi yang lebih penting, maukah para sejarawan laki-laki mengakomodasinya? Ini seperti upaya kelompok perempuan dan disabilitas di beberapa kabupaten yang menyelenggarakan musrenbang khusus karena musrenbang yang ada hanya berisi bapak-bapak.

Sayangnya, hasil musrenbang khusus kaum perempuan sering hilang di meja pimpinan politik dan tidak sampai menjadi dokumen Musrenbangnas sehingga pembangunan tidak pernah bisa menyudahi ketimpangan gender. Suara perempuan adalah jamu pahit yang menyembuhkan bangsa dari segala penyakit kebudayaan. Semoga Menteri Kebudayaan dan Tim Penulisan Ulang Sejarah Indonesia berkenan minum jamu pahit demi menyehatkan bangsa.

Hari Jamu, 27 Mei 25
Eva Sundari - Institut Sarinah