Poster Acara HUT JAKER Ke-32 (Dok. Redaksi)

Jakarta – Kebudayaan Rakyat – Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER) baru saja meluncurkan buku Antologi Puisi, untuk memperingati HUT Ke-32 JAKER. Annisa Lituhayu, selaku Ketua Umum JAKER menyampaikan beberapa hal pada sambutannya dalam Antologi Puisi tersebut. Pertama, apresiasi yang tinggi untuk Kawan Wiji Thukul, yang masih hilang sampai sekarang, kata-kata Kawan Thukul akan selalu hidup, walaupun ia belum ditemukan.

Foto Annisa Lituhayu Ketum JAKER (Dok. Redaksi)

Kedua, Annisa juga mengucapkan terima kasih kepada para budayawan, seniman, aktivis, politisi dan pihak-pihak yang telah berkenan menyerahkan karyanya, untuk dimasukkan dalam antologi puisi “Luka Yang Tak Menyerah Bara Yang Tak Padam” yang diterbitkan oleh Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER).,

Ketiga, Ketua Umum JAKER tersebut memandang bahwa penyelenggaraan Wayang Kulit Milenial dan peluncuran buku Antologi puisi ini adalah bukti nyata perjuangan JAKER, dan cita-cita luhur para pendiri bangsa.

Selain itu, Annisa menyampaikan bahwa untuk membangun negara yang ideal, sesuai cita-cita bangsa itu tidak mudah. Apalagi dalam situasi ekonomi Indonesia hari ini, yaitu besarnya ketimpangan sosial, dan penguasaan ekonomi oleh segelintir orang, atau oligarki/serakahnomics. Kelompok ini, menurut Annisa, memiliki kecenderungan untuk memperkaya diri sendiri, tidak pernah puas, bahkan tidak segan untuk menjual kekayaan alam Indonesia pada imperialisme, atau penjajah asing.

Kaum serakahnomics, menurut Annisa, akan selalu menghalangi jalan keadilan dan kemakmuran rakyat dan membuat rakyat tak berdaya. Hal ini juga berdampak pada ketidakberdayaan negara, sehingga akan cenderung tunduk pada pihak asing.

JAKER – Jaringan Kebudayaan Rakyat mendukung langkah Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, untuk melawan sistem dan kaum “serakah-nomics”, yang dalam hal ini adalah imperialisme-neoliberalisme, oligarki, dan birokrat korup yang menghalangi terwujudnya Indonesia yang berdaulat, maju, adil, dan makmur.

Lebih lanjut, Annisa menyampaikan bahwa JAKER akan mengerahkan segala sumber dayanya dan menyerukan kepada seluruh rakyat untuk bersatu bersama melawan kaum serakahnomics sehingga keadilan dan kemakmuran dapat terwujud secepat-cepatnya di tanah air Indonesia.

Foto Annisa, Ketum JAKER (Dok. Redaksi)

Melalui ranah seni dan budaya, lewat berbagai karya, JAKER menyuarakan secara lantang berbagai nyanyian, ekspresi, dan suara yang menolak penindasan manusia atas manusia. JAKER juga tak henti hentinya mengajak semua lapisan masyarakat bersama berjuang mengembalikan jati diri bangsa, dan mengabarkan bahwa kita memiliki peradaban yang tinggi.

Wayang kulit yang JAKER persembahkan pada malam peringatan HUT JAKER ke-32, membawa esensi perjuangan dengan lakon Amarta Binangun, yang merupakan simbolisasi usaha kerja keras, untuk membangun negara gemah ripah loh jinawi , tata tenteram Kerta raharja, yaitu Indonesia adil Makmur.

Annisa mewakili JAKER, mengucapkan banyak terimakasih kepada Ki Dalang: Ki Gunarto Gunotalijendro yang akan mengisahkan Amarta Binangun yaitu membangun negara Amarta, yang bisa menjadi refleksi kita dalam membangun Negara Indonesia. Akhir kata, Annisa berharap bahwa semua karya seni yang JAKER persembahkan, akan mampu membawa energi baru, untuk bekerja sama, bergotong-royong membangun bangsa Indonesia.

Poster Acara Launching Antologi Puisi HUT JAKER Ke-32 (Dok. Redaksi)

Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER), akan mengadakan acara Launching Buku Antologi Puisi “Luka yang Tak Menyerah, Bara yang Tak Padam”. Acara ini akan diselenggarakan di Plaza Teater Besar TIM (Taman Ismail Marzuki), Jl. Cikini Raya No 8, Menteng Jakarta Pusat, pada hari Jumat, 5 September 2025, mulai pukul 19.00 wib – selesai. Launching Buku Antologi Puisi ini merupakan bagian dari peringatan Hari Ulang Tahun JAKER yang Ke-32.

Sebagai kado HUT JAKER Ke-32, maka buku Antologi Puisi tersebut, bisa didownload secara gratis melalui link berikut:

https://drive.google.com/file/d/1AVPwcAy-J-U2Gdifjw41F8BVh21pUgq0/view?usp=sharing

Foto Pementasan Teater “Bunga Penutup Abad” (Dok. Joel)

Pementasan teater ‘Bunga Penutup Abad’ akan menyapa pecinta sastra dan teater tanah air pada 29, 30, dan 31 Agustus 2025 di Ciputra Artpreneur, Jakarta. Pementasan teater produksi Titimangsa yang dipersembahkan oleh Bakti Budaya Djarum Foundation ini menjadi bagian dari rangkaian program satu tahun peringatan Seabad Pram yang diprakarsai oleh Pramoedya Ananta Toer Foundation. Momentum ini menjadi pengingat bahwa karya-karya Pram tidak hanya abadi, tetapi juga terus relevan dalam konteks kebangsaan dan kemanusiaan hari ini.

Happy Salma, selaku Produser pementasan ini menyampaikan bahwa pentas “Bunga Penutup Abad” ini dihadirkan kembali, karena kisah Nyai Ontosoroh, Minke, dan Annelies ini senantiasa menginspirasi dan menjadi bahan renungan bagi kita semua. Selain itu, menurut Happy Salma, ekosistem seni pertunjukan semakin bertumbuh, hal ini ditandai dengan bersandingya pihak swasta dan pemerintah, yang berarti bahwa kebudayaan merupakan kekuatan kita. Budaya, bagi Happy Salma, merupakan jalan perjuangan bagi manusia untuk memanusiakan diri.

Pementasan teater Bunga Penutup Abad sebagai produksi ke-88 Titimangsa ini merupakan alih wahana dari dua buku pertama Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Pementasan tahun ini menjadi pementasan Bunga Penutup Abad keempat setelah sukses diselenggarakan pada 2016, 2017 dan 2018.

Foto Ketum JAKER, Annisa Lituhayu di Depan Poster Pementasan Teater “Bunga Penutup Abad” (Dok. Annisa Lituhayu)


Bunga Penutup Abad berkisah mengenai kehidupan Nyai Ontosoroh dan Minke setelah kepergian Annelies ke Belanda. Nyai Ontosoroh yang khawatir mengenai keadaan Annelies, mengutus seorang pegawainya untuk menemani ke mana pun Annelies pergi, bernama Robert Jan Dapperste atau Panji Darman. Kehidupan Annelies sejak berangkat dari Pelabuhan Surabaya dikabarkan oleh Panji Darman melalui surat-suratnya yang dikirimkan kepada Minke dan Nyai Ontosoroh.

Minke selalu membacakan surat-surat itu pada Nyai Ontosoroh. Surat demi surat membuka sebuah pintu nostalgia antara mereka bertiga. Seperti ketika pertama kali Minke berkenalan dengan Annelies dan Nyai Ontosoroh, bagaimana Nyai Ontosoroh digugat oleh anak tirinya sampai akhirnya Annelies harus dibawa pergi ke Belanda berdasarkan keputusan pengadilan putih Hindia Belanda. Terpisah jarak dengan Annelies, Minke dan Nyai Ontosoroh menemukan arti dari perlawanan yang sebaik baiknya dan sehormat-hormatnya.

Foto Adegan Pementasan Teater “Bunga Penutup Abad” (Dok. Joel)

Karakter-karakter Bunga Penutup Abad akan diperankan oleh Happy Salma sebagai Nyai Ontosoroh, serta menampilkan aktor-aktor terbaik Indonesia, yaitu Reza Rahadian sebagai Minke, Chelsea Islan sebagai Annelies, Andrew Trigg sebagai Jean Marais, dan Sajani Arifin sebagai May Marais.

Foto Peserta Acara Diskusi Wayang “Kembang Dewo Retno” (Koleksi Pribadi)

Boyolali – Kebudayaan Rakyat – Sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia, kisah dalam pertunjukan wayang kulit, mengandung pesan moral dan filosofi kehidupan. Hal yang seharusnya dapat dipelajari oleh masyarakat, khususnya tentang nilai-nilai kebajikan, keadilan, dan kearifan di dalamnya. Selain itu, wayang adalah simbol identitas budaya dan ketahanan masyarakat Indonesia. Semua lakon dalam wayang, berisikan nilai-nilai universal, keaslian nilai dan tujuan dalam wayang, bisa menjadi alat ketahanan budaya bangsa Indonesia.

Esensi wayang adalah estetika pengingat manusia tentang sangkan paraning dumadi (awal dan akhir perjalanan manusia). Wayang arting “hyang”, artinya menuju Tuhan. Atau bayangan yang bermakna bayang wayang yang jatuh ke kelir (kain putih), atau bayangan lakon manusia di dunia yang di mainkan oleh pedalang (seperti Tuhan). Pagelaran wayang bisa menjadi potret masyarakat dan perjalanan bangsa dari masa ke masa. Menjadi alat pengingat, media untuk merefleksikan capaian budaya dan peradaban bangsa Indonesia.

Namun demikian, lambat laun keberadaan wayang kulit mulai memudar seiring dengan perkembangan teknologi digital yang serba instan. Wayang kulit makin jarang di tampilkan karena penggemar dan senimanya mulai berkurang secara dratis.

Dalam rangka pelestarian, pendalaman dan penguatan narasi wayang kulit, maka Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER)-Boyolali bekerjasama dengan sanggar Gondangrawe Manunggal, akan menyelenggarakan pagelaran wayang dengan lakon “ Kembang Dewo Retno“ dengan dalang Ki Aryo Pranowo pada hari selasa, 26 agustus 2025, jam 20.00 wib, di Gondangrawe, RT 09, RW. 20, Andong, Boyolali – selesai. Didahului diskusi wayang “Kembang Dewo Retno” dan release pada 23 agustus 2025, jam 19.30 wib, dengan pembicara; dalang Ki Aryo Pranowo, AJ. Susmana (Budayawan dan Sastrawan), Ki Jumar (Sesepuh sanggar Gondang Rawe Manunggal), Muhammad Ma’ruf ( Ketua Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat-JAKER Boyolali).

Pagelaran wayang kulit ini diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT Jaker ke 32 dan HUT RI yang ke 80. Tujuan pagelaran ini sebagai media untuk merefleksikan capaian dari Jaringan Kerja Kebudyaan Rakyat (JAKER) selasa 32 tahun, pada saat yang sama sebagai refleksi budaya dan peradaban bangsa Indonesia selama 80 tahun.

Sinopsis Lakon “Kembang Dewa Retna”

“Kembang Dewa Retna” adalah lakon wayang yang bersumber dari kisah Ramayana versi Jawa, yang mengisahkan perebutan bunga pusaka yang menjadi simbol kemenangan peperangan Sari Kudhup Palwanggakara (perang raksasa & kera) bernama Kembang Dewa Retna. Bunga ini awalnya dijaga oleh Batara Danapati (Kuwera), saudara tiri Rahwana. Karena ambisi untuk memperkuat kekuasaannya, Rahwana mencuri bunga tersebut. Batara Guru kemudian mengubah seekor kumbang yang tersisa dari jambangan bunga menjadi kera sakti bernama Kapi Pramuja, dan mengutusnya untuk membantu Sri Rama merebut kembali bunga itu dari tangan Rahwana.

Dalam perjalananya, Kapi Pramuja berhasil menyusup ke istana Alengka dan mencuri kembali bunga pusaka tersebut. Rahwana yang murka memerintahkan Patih Prahasta mengejar sang kera. Pertarungan sengit pun terjadi, hingga akhirnya Prahasta tewas di tangan Anila, salah satu pasukan Rama, dengan menggunakan tugu sakti yang ternyata jelmaan bidadari Dewi Indradi yang sedang menjalani kutukan. Setelah tugasnya selesai, Kapi Pramuja menyerahkan bunga tersebut kepada Sri Rama. Cerita ini mengandung pesan bahwa kekuatan sejati berpihak pada kebenaran dan keadilan, bukan keserakahan dan kekuasaan.

Muhammad Ma’ruf, Ketua Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER) Boyolali

Foto Audiensi JAKER dengan Biro Infohan Setjen Kemhan (Sumber IG @kemhanri)

Jakarta – Kebudayaan Rakyat – Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER) diterima audiensi oleh Biro Infohan Setjen Kemhan di Kantor Biro Infohan, Jakarta, Kamis (14/8).

Hal yang dibahas dalam audiensi tersebut adalah pengenalan JAKER dan peluang sinergi di bidang kebudayaan dan pertahanan. Ruang lingkupnya mencakup pertahanan budaya sebagai bagian dari pertahanan nirmiliter untuk membentengi generasi muda agar nilai dan jati diri bangsa tetap kokoh di tengah arus budaya asing.

Kepala Biro Infohan Brigjen TNI Frega Wenas Inkiriwang, mengapresiasi inisiatif JAKER dalam mengembangkan potensi budaya sebagai kontribusi nyata bagi penguatan ketahanan nasional (Sumber IG @kemhanri).

Potret Penari Reog dan Jaranan sedang Berpose Bersama (Dokumentasi Sari Utomo)

(Sekilas Kisah Paguyuban Seni Tari Reog dan Jaranan Sari Utomo)
Oleh: Adhitia Armitrianto


Semarang – Kebudayaan Rakyat – Baru-baru ini, Kementerian Kebudayaan mengumumkan bila telah mendaftarkan Jaranan sebagai warisan budaya tak benda ke Unesco. Di Bandungan, Kabupaten Semarang, tarian tersebut lebih sering disebut reog. Di sana, kesenian rakyat itu tumbuh bersama industri pariwisata yang terus berkembang.

KABUPATEN Semarang dikenal sebagai Surganya Jawa Tengah karena memiliki beberapa tujuan wisata. Kecamatan Bandungan adalah salah satu daerah yang paling sering dituju. Kawasan yang berada di lereng Gunung Ungaran itu mengandalkan wisata kesejarahan dengan ikonnya Candi Gedongsongo serta keindahan alam yang lengkap dengan udara sejuk sehingga tepat untuk menjadi tempat berlibur.

Selain itu, industri pariwisata di sana juga berkembang dengan menjamurnya hotel dan sanggraloka serta karaoke dan restoran juga wahana permainan. Bisa dikatakan, Bandungan tak pernah tidur atau hidup 24 jam tanpa henti.

Di tengah keriuhan tersebut, tradisi masih dipegang teguh oleh penduduk setempat. Salah satu yang terlihat adalah masih bertahannya kelompok tari jaranan atau reog.

“Di sini, jaranan memang sering disebut reog. Tapi bukan seperti di Ponorogo. Di Bandungan serta sebagian Kabupaten Semarang, reog itu ya jaranan,” ujar salah seorang pamong budaya Pemerintah Kabupaten Semarang, Bramantyo Saputra, baru-baru ini.

Situs resmi Kementerian Kebudayaan menyebut jaranan sebagai seni pertunjukan dan ritual yang menggabungkan tari, musik, dan unsur spiritual. Beberapa nama lainnya antara lain jaran kepang atau kuda kepang, jathilan, ebeg, kuda lumping, serta turangga seta (https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/indonesia-resmi-ajukan-warisan-budaya-takbenda-tempe-teater-mak-yong-dan-jaranan-ke-unesco/ diakses pada 12 April 2025).

Sementara Claire Holt pada bukunya Melacak Perkembangan Seni di Indonesia pernah menulis nama-nama lain untuk tari kuda kepang. “Pertunjukan ini juga dikenal sebagai kuda lumping (di Jawa Barat kuda itu dari kulit, yaitu lumping), ebleg (di barat daya), jathilan (di daerah Yogyakarta), dan reyog atau ludrug (?)(di Jawa Timur).”

Holt juga menjelaskan, nama tari tersebut berasal dari gabungan kata kuda yang berarti hewan kuda dan kepang yang merujuk pada bambu yang dianyam. “Pertunjukan rakyat ini dilakukan oleh laki-laki menunggang kuda-kudaan pipih yang dibuat dari anyaman bambu dan dicat,” tulisnya.

Konon, jaranan adalah bagian dari ritual yang dilakukan masyarakat untuk beberapa tujuan, antara lain menolak bala, mengatasi berbagai musibah, meminta kesuburan pada lahan pertanian, mengharap keberhasilan panen, dan bagian dari upaya menciptakan lingkungan yang aman dan tenteram.

Kesenian tradisi itu dikatakan berasal dari Jawa Timur. Hal tersebut tak lepas dari relief Candi Jawi di Pasuruan yang menggambarkannya. Meski demikian, jaranan berkembang pula di Jawa Tengah.
Di Kabupaten Semarang misalnya, ada banyak kelompok yang memainkannya. Bramantyo menjelaskan, di Kecamatan Bandungan ada belasan kelompok reog.

“Di setiap desa atau kelurahan bisa ada empat atau lima kelompok. Dan mereka masih aktif,” tambahnya.
Kecamatan Bandungan terdiri dari sembilan desa dan satu kelurahan. Satu-satunya kelurahan berada di jantung kecamatan tersebut, yakni Kelurahan Bandungan.

Jika tadi jantung Kecamatan Bandungan adalah Kelurahan Bandungan, Lingkungan Junggul atau RW 4 adalah jantung dari Kelurahan Bandungan. Wilayahnya hanya sepelemparan batu dari alun-alun. Di situ, reog atau jaranan masih terus dimainkan.

“Kalau menurut sesepuh dulu, nama reog berasal dari suara yang keluar dari anyaman bambu berbentuk kuda saat dimainkan oleh para penari,” ujar salah seorang warga Junggul, Bowo Sulaksono.
Bowo adalah Penasehat Reog Sari Utama. Kelompok tersebut konon telah berdiri sejak 1920-an. Semula, namanya adalah Sarutama. Namun, karena nama tersebut dianggap terlalu “berat” maka warga sepakat untuk menggantinya menjadi Sari Utomo.

Dia tak tahu persis kapan pergantian nama itu. Namun, dugaannya kebijakan itu diambil pada 1960-1970 an. Kelompok Sarutama atau Sari Utomo sama-sama dimiliki oleh masyarakat Junggul. Anggotanya adalah warga yang tinggal di lingkungan tersebut.

Untuk diketahui, sebagian warga Junggul bekerja sebagai karyawan di tempat hiburan. Maka mereka tak jauh dari dunia malam yang gemerlap. Meski begitu, mereka ternyata tetap memiliki komitmen untuk melestarikan tradisi reog atau jaranan.

Bowo kemudian bercerita beberapa perkembangan reog di Junggul baik saat masih bernama Sarutama maupun Sari Utomo.

Yang pertama, ukuran “kuda” yang dimainkan. Menurutnya, dari cerita yang diturunkan padanya serta foto-foto hasil pencariannya di dunia maya, ukuran “kuda” yang dipakai pada masa lalu panjangnya bisa mencapai lebih dari 1,5 meter.

“Bahannya sama, dari bambu. Tapi dulu ukurannya lebih besar. Panjangnya bisa lebih dari 1,5 meter. Kalau sekarang hanya satu meteran saja,” tambahnya.

Yang kedua adalah kostum. Bowo mengungkapkan, dia pernah ditunjukkan foto pada masa kolonial dimana penari reog menggunakan pakaian semacam jas. Sementara untuk bawahan ada kemben, jarik, dan celana.

Jas atau pakaian dinas yang berwarna putih sempat membuatnya heran. Namun, dia kemudian menemukan jawaban dari salah satu sesepuh desa.

Menurutnya, jas atau pakaian dinas itu didapat dari orang-orang Belanda yang nanggap.
“Jadi sebenarnya, pada awalnya, para penari itu hanya mengenakan bawahan saja. Untuk atasan, mereka tidak memakai apa-apa. Tapi kemudian dikisahkan bila saat diminta menari untuk orang-orang Belanda, mereka kerap diberi baju atau jas. Nah, pakaian itu yang kemudian dikenakan,” terang pria yang bersama istrinya juga memiliki sanggar tari bernama Puspita Kencana.

Kostum atasan jas atau baju dinas itu kemudian ditinggallkan. Mungkin karena para penari merasa tak leluasa bergerak atau bisa jadi karena mereka tak ingin lagi mengenakan sesuatu yang berbau kolonial.
Untuk iringan musik, juga ada perbedaan. Menurut Bowo, dulu alat musik yang digunakan hanya dua, bende dan gong. Jumlahnya yakni tiga bende dan satu gong. Semuanya dipukul bergantian.

“Jadi suaranya hanya teng tong teng, teng tong teng, teng tong teng, gong,” ucap Bowo menirukan suara yang dihasilkan bende dan gong.

Irama seperti itu dimainkan terus menerus sepanjang tarian. Kadang berhenti sejenak, tapi kemudian dimainkan lagi.

Pada 1980-an peralatan yang digunakan untuk menghasilkan bunyi bertambah. Bonang dan saron mulai digunakan. Bahkan, pada awal 2000 pihaknya juga mulai menggunakan organ.
Penggunaan perangkat baru, terutama yang membutuhkan pengeras suara, membuat mereka harus beradaptasi. Untuk organ, selain menambah variasi nada, sering pula digunakan untuk menambah suasana. Hal itu tak lepas dari fasilitas peralatan tersebut yang menyediakan suara seperti angin atau gemericik air.

“Kami pernah mengikuti lomba di Kota Semarang. Kami mempersiapkan tarian dengan iringan musik menggunakan organ. Namun, ternyata panitia tidak menyediakan pengeras suara. Tentu saja, kami kelabakan. Mereka menganggap musik iringan jaranan tak perlu pengeras suara,” kenang Bowo.

Sementara itu, pada sebuah kartu pos yang dimuat buku Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe karya Olivier Johannes Raap, tampak alat musik angklung juga digunakan mengiringi penari jaranan (dalam buku disebut jatilan). Kartu pos itu kemungkinan dibuat pada 1910.

Cerita yang dibawakan pada masa dahulu dan sekarang juga cenderung berbeda. Untuk diketahui, ada beberapa kisah yang melatarbelakangi tarian jaranan.

Yang pertama yakni kisah tentang pasukan yang mengiringi pernikahan Klana Sewandana dengan Dewi Sanggalangit. Kemudian juga pasukan Mataram yang akan menyerang kompeni. Pun kisah Arya Penangsang dengan kudanya Gagak Rimang.

Sementara Prihananto pada tulisannya berjudul “Tari Jaranan: Kreasi Sunan Ngudung untuk Berdakwah” di nursyamcenter.com (diakses pada 12 April 2025) mengungkapkan, “.. kesenian jaranan merupakan penggambaran dari kisah perjuangan Raden Fatah yang dibantu oleh Sunan Kalijaga dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.”

Bagaimana dengan Reog Bandungan?
Bowo mengungkapkan bila Reog Bandungan mengisahkan prajurit Pangeran Diponegoro yang berangkat untuk menyerang pasukan Belanda di Jawa.

“Jumlah penari yang tampil dan menggambarkan pasukan itu biasanya enam orang. Formasinya adalah dua berbanjar ke belakang. Mereka yang di depan adalah pemimpinnya,” terang Bowo.
Selain para penari dengan kuda-kudaan tersebut, ada juga dua orang yang berperan sebagai macan dan dua orang lagi yang berperan sebagai sapi.

Potret Penari Reog dan Jaranan sedang Beraksi (Dokumentasi Sari Utomo)

Kemudian juga ada dua orang yang berperan sebagai angon. Mereka biasanya mengenakan topeng dan membawa tongkat atau pentungan serta cambuk.

Meski begitu, Bowo mengungkapkan, kini kisah yang dibawakan bisa beragam. Reog atau jaranan telah menjadi semacam sendratari. Mereka beberapa kali membawakan kisah legenda atau cerita rakyat.
Para pendukung Sari Utomo biasa bertemu seminggu sekali. Setiap akhir pekan mereka akan berkumpul di halaman rumah seorang warga untuk melatih gerakan-gerakan atau sekadar berbincang tentang pementasan yang sudah serta akan dijalankan.

Setiap tradisi mungkin selalu dihantui dengan istilah regenerasi. Namun tidak bagi Sari Utomo. Mereka telah memiliki pemuda-pemuda bahkan anak-anak yang siap menggantikan kakek, ayah, paman, atau tetangga.

“Regenerasi memang sempat jadi kekhawatiran. Tapi kami membuktikan persoalan tersebut bukan lagi masalah. Sekarang banyak penari atau niyaga kami masih berusia muda,” tambah Bowo penuh percaya diri.

Para pendukung Sari Utomo dan kelompok reog atau jaranan lain di Bandungan, terus menari di tengah gemerlap kawasan sebagai pusat hiburan. Saat rayonan (pentas bersama), mereka bisa menarik banyak penonton. Para seniman tersebut memegang teguh tradisi dan menunjukkan bila pelestariannya bisa sejalan dengan kemajuan zaman serta tuntutan kehidupan.(Adhitia Armitrianto)

Foto Cover Album ‘Anak-Anak Super’ (suluhperempuan.org)

🎶 ‘Anak-Anak SuPer’ telah hadir! 🎶

Temukan kisah penuh semangat, imajinasi, dan keceriaan dalam album lagu terbaru yang diciptakan khusus untuk anak-anak Indonesia, untuk generasi masa depan. 🌟

Album ke-3 (non AI) ini saya persembahkan untuk anak-anak Indonesia sekaligus menyambut ‘Hari Anak Nasional’ 23 Juli. Berisi enam lagu; ‘123’, ‘Belajar dan Bermain’, ‘Lagu Anak-Anak SuPer’, ‘Mencari Tanah Lapang’, ‘Pilah Sampahmu’, dan ‘Rumah Kreatif Abhipraya’, mengajak anak-anak untuk bermain sambil belajar, mengenal angka, cinta lingkungan, hingga nilai kepedulian sosial.

🗓️ Rilis 23 Juli 2025
🎧 Bisa didengarkan di platform musik digital!

“Selamat Hari Anak Nasional”

#HariAnakNasional #AnakAnakSuper #LaguRamahAnak
#LaguAnakIndonesia

https://open.spotify.com/album/1PjWfssNRd109e50PLp4Lq?si=XeRciWrJRu63Z81PCw5szQ%0A

Foto Perwakilan JAKER dan Bunda Literasi Kudus (Koleksi Pribadi)

Kudus (Senin, 14 Juli 2025) – Kebudayaan Rakyat – Sejumlah perwakilan dari Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER) Kabupaten Kudus melakukan audiensi resmi bersama Bunda Literasi Kabupaten Kudus, Ibu Endhah Endhayani Sam’ani Intakoris, yang didampingi Plt. Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan serta Kepala Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik (Kesbangpol) di Pendopo Kabupaten Kudus. Pertemuan ini menjadi momen penting dalam membangun sinergi antara pelaku budaya akar rumput dengan penggerak literasi di level pemerintahan daerah.

Audiensi yang berlangsung hangat dan penuh semangat ini memberikan energi positif dalam membumikan literasi kepada semua lapisan masyarakat. JAKER Kudus menyampaikan gagasan dan harapan untuk memperkuat gerakan budaya dan literasi yang saling terhubung dalam menghadapi tantangan zaman.

Foto Perwakilan JAKER Kudus (Koleksi Pribadi)

Dalam kesempatan ini, Ketua Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER) Kudus, Wahyu Deseptian menyampaikan agenda ke depan sebagai bentuk membumikan Literasi yaitu Bedah Buku “Menghadang Kubilai Khan” Karya AJ Susmana. Harapannya bedah buku ini bisa dihadiri pelajar, mahasiswa, Guru Sejarah, Guru Bahasa Indonesia, komunitas sastra/budaya dan Masyarakat umum.

Foto Audiensi Perwakilan JAKER Kudus dengan Bunda Literasi Kudus, beserta Jajaran Pemerintahan di Kudus (Koleksi Pribadi)

Ibu Endhah Endhayani menyambut baik inisiatif tersebut dan menyampaikan apresiasi atas semangat ini. Beliau juga berkenan hadir dalam acara Bedah Buku tersebut. Dalam suasana yang akrab, Ibu Endhah juga menyatakan kesiapannya untuk mendukung dan menjembatani kebutuhan kegiatan Literasi kepada pihak-pihak terkait, Seperti Dinas Arsip dan Perpustakaan serta Kesbangpol Kudus.

Audiensi ini ditutup dengan penyerahan profil jaringan kebudayaan rakyat kepada Bunda Literasi. Kemudian menyempatkan sesi foto bersama sebagai dokumentasi momen bersejarah ini. (ian_JakerKudus)

Foto Wamensos Agus Jabo Priyono memberi kata sambutan dalam Acara Umbul Donga Mengenang 200 Tahun Perang Jawa (Koleksi Pribadi)

Sleman (18 Juli 2025) – Kebudayaan Rakyat – Wakil Menteri Sosial (Wamenos) Agus Jabo Priyono mengajak masyarakat untuk kembali menemukan dan memperkuat jati diri bangsa Indonesia. Ajakan ini disampaikan saat menghadiri Umbul Donga Mengenang 200 Tahun Perang Jawa di Java Village Resort, Sleman, Yogyakarta pada 17 Juli 2025. 

Dalam sambutannya, Agus Jabo menegaskan bahwa sebelum Indonesia merdeka, berbagai daerah di nusantara telah lebih dulu berjuang melawan penjajahan. Salah satunya melalui kepahlawanan Pangeran Diponegoro yang memimpin Perang Jawa (1825-1830), sebuah perlawanan besar yang menjadi simbol kebangkitan melawan dominasi kolonial. Perang yang berlangsung selama lima tahun itu menjadi salah satu perang terbesar dalam sejarah kolonial di Nusantara, dengan korban besar di pihak rakyat Jawa maupun Belanda, sekaligus menunjukkan perlawanan berbasis nilai spiritual dan kultural. 

Foto Agus Jabo Priyono Memberi Kata Sambutan (Koleksi Pribadi)

Agus Jabo menilai perjuangan Pangeran Diponegoro tidak sekadar melawan penjajahan, tetapi juga mempertahankan jati diri bangsa. Menurutnya, jati diri itu penting untuk menentukan arah masa depan bangsa Indonesia. 

“Jati diri bangsa kita seperti apa? Itu yang harus kita temukan jika ingin memiliki masa depan yang jelas,” ujar Agus Jabo di hadapan para tamu undangan, budayawan, tokoh masyarakat, dan generasi muda yang hadir dalam acara tersebut. 

Lebih lanjut, dia mengajak seluruh elemen bangsa untuk melakukan refleksi dan pencarian jati diri sebagai bangsa yang besar. 

“Saya pribadi mengajak para sepuh, para senior, kaum muda kita untuk harus segera menemukan siapa kita ini supaya secepatnya kita bangkit. Bangkit menjadi negara yang hebat,” serunya. 

Foto Wamensos Agus Jabo Priyono Menerima tumpeng dari GBPH Prabukusumo (Koleksi Pribadi)

Melalui momentum Umbul Donga ini, Agus Jabo berharap nilai-nilai perjuangan, keberanian, dan spiritualitas yang diwariskan para pahlawan seperti Pangeran Diponegoro dapat menjadi sumber inspirasi untuk membangun bangsa yang bermartabat dan berdaulat di masa depan. 

Acara Umbul Donga diisi dengan doa bersama bagi para pahlawan yang telah gugur memperjuangkan kemerdekaan, refleksi sejarah, serta pertunjukan budaya yang mengangkat semangat perjuangan Perang Jawa.

JakartaKebudayaan Rakyat – Indonesia akan mengirimkan 175 penyair dari berbagai daerah untuk menghadiri Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XIII yang akan berlangsung di Jakarta, 11-14 September 2025. Selain itu, sebanyak 50 penyair dari luar negeri juga dipastikan hadir, menjadikan pertemuan ini sebagai ajang sastra terbesar yang menjembatani suara puisi lintas negara serumpun.

Hal tersebut disampaikan oleh Ahmadun Yosi Herfanda, Ketua Umum Panitia PPN XIII, seusai memimpin rapat koordinasi di Lantai 14, Gedung Dewan Kesenian Jakarta, Sabtu, 5 Juli 2025.

“Dari total 175 penyair Indonesia, sebanyak 75 orang berasal dari wilayah Jabodetabek, sementara 100 orang lainnya berasal dari berbagai provinsi di Indonesia, dari Aceh hingga Papua,” ujar Hamdun, didampingi Wakil Ketua Mustafa Ismail.

Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) merupakan forum temu penyair tahunan, diselenggarakan pertama kali tahun 2007. Tuan rumah penyelenggaraan bergilir setiap tahun antara Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara.
“Tahun ini giliran Indonesia kembali jadi tuan rumah,” Kata Ahmadun.
Forum ini menjadi ruang strategis untuk merayakan keberagaman budaya melalui puisi serta memperkuat solidaritas antarbangsa di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya.

PPN XIII tahun ini mengusung tema “Perdamaian dan Persaudaraan”, dengan sejumlah agenda utama, antara lain:

Pembacaan puisi lintas negara, Peluncuran antologi PPN XIII, Diskusi sastra dan budaya nusantara, Workshop penulisan puisi lintas generasi, orasi dan sebagainya.

Adapun penyair mancanegara yang dijadwalkan hadir berasal dari negara-negara sahabat seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, Timor Leste.

Mustafa Ismail menambahkan bahwa panitia akan menggandeng sejumlah institusi dan komunitas seni serta media untuk mendukung penyelenggaraan acara yang akan digelar di beberapa titik strategis di Jakarta.
“Jakarta menjadi tuan rumah yang ideal karena memiliki ekosistem seni dan budaya yang kuat. Kita ingin PPN XIII menjadi panggung yang inklusif, berkelas, dan menjangkau masyarakat luas,” pungkasnya.(*)