Foto Putu Ayu Suniadewi (Koleksi Pribadi)

Oleh: Putu Ayu Suniadewi
(Mahasiswa Jurusan Teknologi Informasi Inti Malaysia dan Kader Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia, Bali)

Denpasar – Kebudayaan Rakyat – Selain Nyepi , Galungan , dan Kuningan yang senantiasa akrab di ruang publik sebagai perayaan umat Hindu di Indonesia, ada pula Hari Saraswati yang Setiap tahunnya di rayakan oleh umat Hindu di Nusantara khususnya Pulau Dewata. Hari Saraswati merupakan perayaan untuk Dewi Saraswati yang identik dengan dewi pengetahuan dan kebijaksanaan mengikut kalender Pawukon yang berbasis Saniscara (tujuh hari).

Nama Saraswati berasal dari kata “Saras” yang berarti “mengalir” dan “wati” yang berarti perempuan. Makna filosofis dari nama Saraswati adalah bahwa pengetahuan bagaikan aliran sungai yang tak pernah berhenti, serta dapat secantik dan seanggun seorang perempuan jika pengetahuan itu berada pada jalan dan cara yang benar.

Di Hari Saraswati, umat Hindu di Pulau Dewata akan meletakkan buku-buku , naskah suci, alat – alat belajar di pura serta pelinggih sebagai bentuk penghormatan kepada Dewi Saraswati, yang merupakan dewi kebijaksanaan, seni, dan ilmu pengetahuan.

Pada dasarnya perayaan Saraswati di Bali khususnya, sudah menjadi bagian penting dari ritus kebudayaan spiritual Hindu khas Nusantara Yang esensinya layak kita renungkan meretas identitas sebagai bagian dari manusia Nusantara.

Apalagi dalam konteks pembudayaan pengetahuan Yang menurut Bhagavad Ghita dapat diperoleh melalui Pranipātena (dengan sikap hormat ) ; Pariprashnena (dengan bertanya secara mendalam) ; dan Sevayā (melalui pelayanan dengan tulus) di tengah Persoalan zaman yang semakin memberi kita beragam keterancaman. Salah satunya adalah fenomena post-truth yaitu suatu kondisi di mana kebenaran objektif semakin tergerus oleh narasi-narasi yang bersifat emosional dan manipulatif.

Fenomena ini sebenarnya, tidak lepas dari rekayasa sosial yang diciptakan oleh kelas penguasa, yang berupaya membentuk opini dan perilaku masyarakat melalui distorsi fakta demi kepentingan tertentu. Kelas penguasa melalui rekayasa sosial memang telah menciptakan atmosfer di mana yang dangkal lebih dihargai daripada yang mendalam.

Berbagai fenomena kebodohan dianggap cara baru untuk menghasilkan ketenaran dan kekayaan. Dalam kondisi yang demikian, memperkuat basis pengetahuan khas nusantara seperti dalam ajaran Jawa yaitu eling lan waspada dapat menjadi senjata untuk membedakan mana yang benar dan mana yang sebatas tipu daya Dan tentu amat berguna Jika dikoneksikan dengan ajaran Dewi Saraswati.

Yang pertama perlu dipahami untuk mencapai tahapan eling lan waspada, kita perlu memulainya Dari eling yang terkait dengan kesejatian diri manusia, yang mencakup siapa dirinya, dari mana asalnya, dan ke mana tujuannya. Yang kemudian terhubung dengan Sang Pencipta (Gusti Allah). Yang di dalam budaya Jawa menurut subagio satrowardoyo dalam buku Bahasa, Sastra, Dan Budaya (1988) dianggap sebagai sikap batin yang paling inti apalagi konsepsi “eling” ini menghubungkan detik-detik pengalaman dulu dengan pengalaman saat ini ,sehingga ada kesadaran terhadap kelanjutan antara masa lalu dan masa kini kepada pribadi kita.

Eling harus di mulai dari kesadaran terhadap ajaran Ketuhanan yang harus dimulai penerapannya dari mengutamakan kebaikan (yajna) sebagai komitmen tertinggi diatas belenggu kharma-bandhana, yang sarat akan ego atau kepentingan pribadi Karena kuatnya nafsu (muktasanggah).

Jika Berlandaskan pada ajaran Dewi Saraswati (dewi pengetahuan, kebijaksanaan, dan kesucian) untuk mengatasi keterjebakan post-truth, dari konteks eling ini dibutuhkan keutamaan terhadap kebijaksanaan (wicaksana), kejernihan nalar, serta integritas pribadi dalam menilai informasi termasuk sadar moral , etika, Dan konsekuensi.

Sementara dalam konteks kewaspadaan, Dewi Saraswati mengajarkan perihal berpengetahuan sejati yaitu dengan segala sesuatu yang sudah bisa dipahami sebagai bentuk pengetahuan itu seharusnya mampu membuat mereka berpikir sehat, yang dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk. Tapi kemalasan, sikap abai, simplifikasi, amarah , kedangkalan kita secara individual dan kolektif gagal menyalakan obor kewaspadaan.

Di dalam Gita sendiri kewaspadaan harus melalui refleksi, pengendalian indra dan penyerahan diri (Buddhi Yoga), sehingga mampu mengaktifkan Viveka (nalar jernih) guna membedakan mana yang satya (kebenaran sejati) dari asatya (kepalsuan), serta tidak terpengaruh oleh kabut moha (kebingungan) dan rajas (nafsu)

Kalau Semua ini tidak ada , maka Jangan heran jika distorsi pengetahuan kian menjadi-jadi. Apa yang sederhana jadi ribet untuk dipahami dan apa yang penting terabaikan dengan hal – hal yang dangkal

Secara kolektif maupun individual kita akhirnya lupa pada kemanusiaan dan Ketuhanan apalagi di Tengah Penindasan struktural dan kultural, yang dianggap biasa, padahal secara teologis hal itu bertentangan dengan Tat Twam Asi yang dalam filsafat Hindu “ia adalah kamu” saya adalah kamu dan segala mahluk adalah sama memiliki atman (jiwa) yang bersumber dari Brahman.

Oleh karena itu mulailah mendidik kewaspadaan diri di tengah kondisi manusia sekarang, yang membela siapa yang mereka sukai, siapa yang menguntungkan mereka dan siapa yang mereka dukung agar dapat untung darinya.

Tentang Penulis:
Saat ini aktif sebagai pelajar tingkatan master jurusan IT Inti Malaysia selain itu aktif pula di beberapa organisasi seperti Hipmi Bali , KMHDI Bali ,dan Perhimpunan Pelajar Indonesia Sedunia . Penulis sering menulis di media – media Bali seperti tatkala, Balipolitika, dan Bale Benggong

Tari Rejang Taksu Buana | Pasraman Gantha Yoga

Oleh: Lino Sanjoyo
(Pemerhati Budaya)

Tarian Pendamai Langit dan Bumi

Kamu berada di Bali pada pagi hari, udara lembab dengan aroma dupa yang menyusup ke indra penciuman, dan kabut menggantung tenang di antara pepohonan. Di pelataran pura, sekelompok perempuan bergerak lembut, seperti angin yang tak terlihat namun terasa. Mereka sedang menarikan Tari Rejang. Ini bukan pertunjukan untuk dipamerkan di atas panggung, melainkan ritual sakral—bahasa tubuh yang berbicara langsung kepada semesta: bumi, angin, dan roh leluhur semua diajak berdialog melalui gerak.

Tari Rejang merupakan bagian dari upacara adat di pura. Tidak diperlukan teknik yang mencolok, tetapi energi yang disalurkan harus tulus dan selaras. Setiap lenggokan tangan dan pijakan kaki merupakan doa yang diam-diam memohon agar dunia tetap damai. Ketulusan menjadi kunci, karena apabila dilakukan asal-asalan, dipercayai bisa mengganggu keseimbangan alam—memicu bencana, konflik, atau gangguan dari roh-roh yang gelisah.

Melompat jauh ke tengah Samudra Pasifik, ada tarian Hula dari Hawaii yang memiliki esensi serupa. Dahulu, Hula merupakan ritual pemujaan dewa-dewi alam, seperti Pele sang Dewi Gunung Api atau Laka sang pelindung Hula. Namun Hula juga berperan sebagai media penyimpanan sejarah, mitos, dan bahkan pengetahuan. Gerakannya bukan sembarang gerakan—setiap elemen mengandung makna: ada ombak, hujan, api, dan angin.

Keduanya—Rejang dan Hula—membuktikan bahwa tarian bukan sekadar seni hiburan. Tarian adalah ekspresi spiritualitas dan bentuk koneksi manusia dengan alam serta sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Dalam masyarakat yang masih menghargai kosmos, tarian menjadi jembatan antara dunia manusia dan dunia roh, sejalan dengan pemikiran John Dewey,”Pengalaman estetika adalah bagian penting dari pembelajaran utuh yang menghubungkan emosi, budaya, dan relasi sosial”.

Pelumas Diplomasi

Baru-baru ini, Indonesia melakukan kunjungan budaya ke Thailand. Giring Ganesha, Wakil Menteri Parekraf, turut hadir. Namun yang membuat acara ini istimewa bukan sekadar sambutan formal atau penandatanganan nota kesepahaman, melainkan ketika Indonesia dan Thailand menampilkan pertunjukan tari tradisional. Tari Saman dari Aceh dan Khon dari Thailand tampil berdampingan. Bukan untuk memperebutkan perhatian, melainkan untuk menghubungkan hati lewat seni.

Giring menyatakan, “Tarian adalah bahasa yang tidak membutuhkan penerjemah,” dan hal itu terasa sangat relevan. Ketika tubuh mulai bergerak, batas bahasa dan budaya memudar. Yang tersisa hanyalah rasa dan niat baik. Melalui tarian, dua bangsa bisa saling memahami tanpa perlu berdebat. Paulo Freire berkata, “Pendidikan yang membebaskan, tarian adalah alat untuk membangun relasi yang setara dan saling mendengarkan”.

Saman dan Khon: Pengisah Tubuh

Tari Saman, selalu membuatmu terhanyut. Tangan-tangan bergerak cepat, suara nyanyian menyatu harmonis, dan seluruh gerakan dilakukan secara kompak. Bukan beresensi kecepatan atau keindahan. Tarian ini berasal dari masyarakat Gayo di Aceh, dan akarnya kuat dalam tradisi dakwah Islam. Penari duduk sejajar, tanpa posisi yang menonjol. Filosofinya adalah kesetaraan, kebersamaan, dan solidaritas. Kekuatan muncul karena dilakukan bersama.
Sementara itu, Khon dari Thailand bersifat lebih teatrikal. Para penari mengenakan topeng dan membawakan kisah dari Ramakien—versi lokal dari epos Ramayana. Gerakannya tegas dan setiap gestur sarat makna moral. Khon mengajarkan nilai seperti keberanian, kesetiaan, dan pengendalian diri.
Meskipun berasal dari budaya yang berbeda, kedua tarian ini mengajarkan satu prinsip yang sama: pembentukan karakter. Melalui tarian, kita belajar kedisiplinan, rasa hormat, dan empati. Tarian menjadi seni yang membentuk etika dan kepribadian, sejalan dengan gagasan Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan sejati adalah yang dekat dengan budaya dan membentuk watak melalui pengalaman hidup.

Tubuh Bicara, Jiwa Merespons

“Tarian adalah bentuk pendidikan yang disampaikan melalui tubuh yang membawa kepada pembebasan bukan penindasan”, kata Freire. Bukan sekadar membuat luwes, tetapi mengajarkan bagaimana berbicara menggunakan hati. Rejang mengajarkan kepasrahan dan penghormatan, Saman mengajarkan kebersamaan dan dialog, sedangkan Hula mengajarkan keselarasan dengan alam.
Dalam dunia yang semakin serba cepat dan instan, Ivan Illich mengingatkan bahwa modernitas bisa menjadikan manusia seperti robot. Di sinilah tarian tradisional memainkan peran penting sebagai ruang bebas, tempat di mana individu dapat mengekspresikan diri dan identitas komunitas tanpa takut dikendalikan oleh pasar. Seperti halnya pendidikan alternatif yang menyentuh esensi kehidupan, tarian menciptakan ruang untuk menjadi manusia seutuhnya.

Makna Memudar

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini banyak tarian tradisional kehilangan konteksnya. Tari Rejang dibawakan di lobi hotel, Hula menjadi atraksi wisata, dan Saman diperlombakan tanpa pemahaman terhadap syairnya. Sakralitas berubah menjadi komoditas.
Ketika tarian dipisahkan dari konteks budaya dan spiritualnya, ia kehilangan rohnya. Bahkan lebih menyedihkan jika generasi muda hanya mengenal tarian sebagai ajang lomba, tanpa tahu sejarah dan maknanya. Yang tersisa hanyalah gerakan kosong, tanpa jiwa. Hal ini bertentangan dengan pemikiran John Dewey yang menekankan pentingnya pengalaman bermakna dalam pendidikan.

Menari dengan Hati

Tidak seperti tarian Salome yang berujung tragis, atau tarian Tandava dari India yang membuat dunia runtuh, atau bahkan Haka dari Maori yang dipakai untuk menunjukkan dominasi atas lawan—tarian zaman sekarang bisa diubah jadi gerakan yang positif dan bermakna. Kita bisa “membangunkan” kembali maknanya, lalu mengarahkan geraknya untuk hal-hal yang konstruktif dan berdampak baik.

Tarian harusnya menjadi ruang hidup buat komunitas adat. Mereka yang paling tahu rohnya, jadi membiarkan mereka merawatnya. Jangan semua warisan budaya dikomersialisasi dan diambil alih industri hiburan. Kita juga perlu memikirkan bagaimana jika tarian tidak hanya menjadi ekstrakurikuler? Masukkan ke pendidikan karakter. Ajarkan mengapa gerakannya begitu, mengapa syairnya demikian. Supaya generasi sekarang tidak hanya bisa meniru gerakan, tapi juga mengerti maknanya.

Dan saat Indonesia bertemu Thailand dalam acara pertukaran budaya, misalnya, jangan hanya menjadi ajang pamer tari. Harusnya menjadi ruang saling belajar dan saling menghargai. Setiap gerak bisa menjadi jembatan untuk pengertian.

Yang paling penting? Dengarkan tubuhmu. Di dalamnya ada kenangan, ada luka, ada harapan. Saat kamu menari, kamu sedang mengobrol dengan semesta—tidak memakai suara, tapi tetap terasa. Jadi jangan menganggap remeh tarian. Kadang, perdamaian tidak datang dari ruang diplomasi, tapi dari panggung-panggung kecil, di mana anak-anak muda menari di tengah angin dan langit yang menyimak diam-diam.

Tarian adalah kekuatan sakral. Dan kelak, suatu hari nanti, gerakan-gerakan lembut dari tubuh manusia bisa mengalahkan dentuman senjata yang menebar kehancuran. Karena ada harapan dalam setiap langkah, dan ada damai dalam setiap gerakan yang lahir dari hati.

Klaten, 21 Juli 2025

Oleh: Waskito Giri Sasongko, Pemerhati Budaya

Benarkah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden Republik Indonesia Keempat itu, ternyata tak pernah hadir dalam momen pernikahannya sendiri? Ya, benar.

Saat itu Gus Dur berjarak lebih dari 12.000 km. dari Indonesia. Gus Dur tengah melangsungkan studi di Universitas Baghdad, Irak, setelah sebelumnya juga pernah studi di universitas tertua di dunia, Universitas Al-Azhar, Mesir, namun tak berhasil lulus. Sedang gadis pujaan hatinya Sinta Nuriah berada di Indonesia, setelah lulus sekolah menengah di Pesantren Tambakberas, Jombang, dan berencana mondok di Jogja karena mulai kuliah di IAIN Sunan Kalijaga.

Greg Barton dalam Biografi Gus Dur  (2016) mencatat pernikahan Gus Dur berlangsung pada September 1967. Barton juga mencatat keganjilan momen pernikahan kedua pasangan itu. Apa pasal? Gus Dur tak hadir dalam pernikahan itu, dan ia diwakili oleh kakeknya, Kyai Bisri Syansuri. Para tamu undangan kaget dan heboh, saat melihat seorang Kyai berusia 81 tahun bersanding dengan seorang pengantin perempuan muda usia.

Akan tetapi, tampaknya Barton luput mencatat keganjilan lain dalam momen perkawinan Gus Dur. Apakah itu? Ada ritus keris, sebuah tradisi unik dari kaum priyayi Jawa.

Anda sudah membaca novel Gadis Pantai, bukan? Betul, mungkin mirip halnya kisah Bendoro dengan Mas Nganten dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, ketidakhadiran Gus Dur dalam momen sakral pernikahannya itu juga digantikan sebuah keris. Kita bisa menduga, seperti lazimnya makna keris dalam tradisi Jawa, keris secara simbolis merepresentasikan keberadaan pemiliknya. Selain kakeknya Kyai Bisri Syansuri, saat itu juga ada sebuah keris yang dianggap sebagai representasi sosok Gus Dur.

Mungkin sebagian pembaca terkejut mendengar fenomena pernikahan Gus Dur. Terlebih bagi yang telah membaca karya-karya realisme-sosialis buah pena Pram.

Bagaimana tidak, Gadis Pantai berhasil ditulis jadi lakon yang sepenuhnya hidup. Karakter Mas Nganten dirupa sedemikian hingga mewakili aspek kemanusiaan kita sendiri yang dilindas relasi kuasa kelas dan kalah; sedang karakter Bendoro juga berhasil dirupa negatif sebegitu rupa hingga sepenuhnya maujud antagonistik dalam ruang imajinasi kita.

Stereotipe priyayi Jawa. Selain dicitrakan feodal, suka di-subyo namun piawai menjilat ke atas, Bendoro juga dilukis sebagai laki-laki patriarkh gemar kawin-mawin. Di akhir kisah, Bendoro diceritakan bahkan sampai hati memulangkan Mas Nganten pada orang tuanya setelah sang priyayi itu beroleh anak dari rahimnya.

Demikianlah, stereotipe laki-laki priyayi Jawa seturut Pram. Kita tentu tahu, Pram sangat antipati terhadap budaya feodalisme Jawa. Bicara feodalisme Jawa sama sekali tiada aspek positif sedikitpun dan cenderung selalu ditulis hitam-putih. Ini mudah dipahami, mengingat posisi intelektual-ideologis Pram adalah sengaja mengkritik tajam dekadensi feodalisme dalam budaya Jawa.

Sementara, dari penelitian lapangan etnografi, Clifford Geertz juga mencatat ritus keris dalam perkawinan Orang Jawa di masa lalu. Dalam The Religion of Java, buku yang mempopulerkan istilah abangan, santri, dan priyayi itu, Geertz menulis: “Pada zaman dahulu, seorang priyayi tinggi yang mengawini gadis dari kelas yang lebih rendah (biasanya istri kedua) tidak akan hadir dalam pesta perkawinan, tetapi hanya mengirimkan kerisnya.”

Anehnya, lanjut Geertz terkejut, pola ritus budaya yang menurutnya sudah usang ini ternyata masih hidup saat ia riset lapangan di Modjokuto kisaran 1953-1954. Modjokuto adalah nama samaran Pare, desa yang kini identik dan sohor sebagai Kampung Inggris, di Kediri, Jawa Timur.

Pernikahan Gus Dur sendiri digelar tahun 1967, hampir satu setengah dekade sejak Geertz merampungkan riset etnografisnya. Gus Dur bukan asli Pare, ia lahir Jombang. Bukan pula seorang priyayi tinggi. Ia adalah seorang santri. Membaca Gadis Pantai, karakter Gus Dur adalah antithesis Bendoro. Membaca catatan Geertz dalam The Religion of Java, representasi keris sebagai pengganti Gus Dur dalam pernikahannya jelas bukan karena ada motif poligami. Bukan istri kedua, Sinta Nuriah adalah istri pertama dan satu-satunya.

Catatan sejarah cucu KH Hasyim Asyari itu bukan saja dikenang sebagai sosok bersahaja dan humoris, juga menyandang atribut pembela pluralisme dan hak-hak kaum minoritas. Selain itu, jelas Gus Dur bukanlah patriarkh laiknya Bendoro. Bahkan sebaliknya, sekalipun tak pernah mendaku diri sebagai laki-laki feminis seperti Rocky Gerung, misalnya, kita tahu ide-ide pemikiran Gus Dur tak sedikit terlihat turut  memperjuangkan dan mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan kaum perempuan. Kita ingat, Gus Dur bahkan pernah mendesain upaya pelokalan istilah kesetaraan gender dengan mengenalkan istilah “mitra sejajar” sebagai penggantinya.

Ya, Gus Dur adalah Guru Bangsa, sebuah nama besar yang terpatri kuat pada eksistensinya. Rasanya tak berlebihan kiranya publik menempatkan tokoh ini sebagai demokrat sejati sekaligus negarawan par excellent.

Bicara Gus Dur sebagai santri, namun tak jengah mempraktikan ritus kalangan priyayi—yaitu menempatkan keris sebagai pengganti eksistensinya dalam momen sakral pernikahannya—jelas momen itu merupakan isyarat penting dalam peristiwa kebudayaan: bahwa sejak mula sebenarnya terdapat irisan dan titik temu kultural di antara kaum santri dan priyayi.

Kata kunci irisan dan titik temu kultural antara santri dan priyayi adalah Islam Sufisme dan nalar simbolik. Dan bicara semesta nalar simbolik dalam budaya Jawa, keris jelas menempati posisi yang terhormat.

The Power of Symbol

Mengutip fungsi keris dari laman UNESCO, ditulis: “…spiritualitas dan mitologi yang kaya berkembang di sekitar belati ini. Selain untuk pajangan, juga bermakna sebagai jimat yang diyakini penuh kekuatan magis, senjata, pusaka keramat, dstnya… “

Ada hal menarik patut disimak: selain bermakna jimat dan pusaka keramat, keris juga memiliki aspek magis, atau dalam bahasa Jawa lazim disebut “tanjeg” atau “sipat kandel.”

Pertanyaannya: “Apakah keyakinan bahwa keris atau benda keramat tertentu lainnya dianggap sebagai jimat atau azimat adalah monopoli kaum priyayi Jawa saja?” Jawabannya tentu “tidak”.

Tradisi pesantren NU, terlebih tarekat Sufi, tentu mengenal baik tradisi seni rajah. Rajah yaitu jimat atau azimat yang dibuat dengan medium kertas, kain, kulit binatang, dsbnya. Lazimnya berisi tulisan tertentu dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan minyak khusus tertentu pula. Isi tulisan bisa berupa Asmaul Husna atau penggalan ayat-ayat Quran, atau bahkan tak jarang hanya sekumpulan huruf dan angka Arab yang membentuk pola gambar tertentu.

Tentu saja, rajah dipercaya memiliki daya atau fungsi magis. Rajah diyakini bisa berfungsi sebagai perantara penyembuhan, pemberi daya kesaktian, kharisma, keselamatan, pengasihan, dsbnya, tentu dengan syarat pemiliknya intens melakukan amalan-amalan tertentu seperti puasa atau dzikir dsbnya. Dalam konteks tradisi seni rajah di pesantren inilah, bukan tak mungkin keris dan seni pamor-nya mendapat ruang apresiasi di kalangan kaum santri.

Seni pamor sendiri yaitu pola hiasan yang terbentuk dari perpaduan beberapa logam pada bilahnya. Secara etimologi, kata pamor berasal dari bahasa Jawa, “amor” atau “awor”, yang berarti bercampur atau berpadu. Material bahan pamor yang berasal dari batu meteor yang ditempa dengan besi secara simbolis berarti memadukan unsur-unsur langit dan bumi, bapa angkasa – ibu bumi, jelas dianggap bernilai spiritual bagi Orang Jawa.

Merujuk laman UNESCO jumlah motif pamor kurang lebih 120 varian. Ada motif beras wutah, pidaringan kebak, udan mas, ron genduru, dsbnya, di mana tiap pamor dipercaya memiliki daya dan fungsi magis tertentu.

Mudah diduga, posisi sang kreator yaitu Kyai dan Mpu bagi para audiens-nya, yaitu kalangan santri dan priyayi, akan cenderung dipandang sama. Kyai dan Mpu dianggap menempati posisi dan fungsi spiritual atau rohaniah tinggi. Kyai atau Mpu dipandang sebagai wasilah bagi kehadiran daya sakralitas dan transendensi Tuhan, di mana daya spiritual atau rohaniah Kyai atau Mpu ini sanggup menginduksi rajah atau pamor bilah keris dalam proses pembuatannya.

Hanya saja bicara pesan makna atau fungsi magis sebilah keris tak cukup dari sisi pamor saja. Dhapur yaitu bentuk desain arsitektural bilah keris juga turut menentukan pesan makna atau fungsi magisnya. Seturut laman UNESCO terdapat 40-an dhapur. Artinya, setidaknya minimal juga terdapat 40-an fungsi atau makna magis tertentu dari keris sebagai jimat atau pusaka keramat.

Sementara, sekalipun terdapat aneka ragam dhapur dan motif pamor, yang masing-masing mengemban makna atau fungsi magisnya sendiri-sendiri, namun pada aras universal secara semiotika semua keris mengemban fungsi atau pesan makna yang satu dan sama. Yaitu, keris merupakan pengejawantahan simbolik filsafat manunggaling kawula-Gusti. Ini eksplisit dalam petatah-petitih Jawa: “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga, manunggaling kawula-Gusti”.

Curiga ialah istilah bahasa Jawa untuk merujuk bilahnya, sedang warangka merujuk sarungnya. Bersatunya Tuhan dan ciptaan-Nya itu digambarkan seperti “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”, seperti keris masuk ke dalam warungnya, seperti sarung memasuki kerisnya. Orang Jawa meyakini bahwa sejatinya manusia dan alam semesta berada dalam kesatuan ilahiah Tuhan itu sendiri.

Dalam budaya Jawa, konsep manunggaling kawula-Gusti bisa bermakna sebagai ajaran teologis maupun sosiologis sekaligus. Pada aras sosiologis, konsep manunggaling kawula-Gusti berarti spirit bersatunya pemimpin dengan rakyatnya, atau meminjam ungkapan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, “tahta untuk rakyat.”

Tentu, tak semua tarekat Sufi mengakui kebenaran filsafat panteisme dan monisme seperti terlihat dalam konsep Wahdatul Wujud a-la Syekh Siti Jenar atau Syekh Amongraga atau Kyai Mutamakkin, misalnya. Meski demikian keluhuran kisah hidup ketiga tokoh yang begitu populer di kalangan priyayi ini juga diakui oleh para santri warga Nahdliyin.

Ambil contoh rasa hormat Gus Dur pada Kyai Mutamakkin, misalnya, sangat terlihat ketika ia ziarah kubur ke sana. Sebuah harian nasional terkemuka pada 24 Oktober 1999 memberitakan, Gus Dur berziarah kubur ke sarean Kyai Mutamakkin. Harian itu, mengutip pernyataan Gus Dur:

“Saya datang ke sini bukan sebagai presiden, tetapi sebagai keturunan Mbah Mutamakkin, dan ini bukan untuk syukuran, tetapi untuk slametan, karena kita selamat bisa melaksanakan perjuangan Mbah Mutamakkin. Beliau melawan sistem yang salah. Beliau menegakkan keadilan demi kepentingan rakyat dan mudah-mudahan ini bisa terwujud tidak lama lagi.”

Dari pernyataan Gus Dur di atas tergambar cukup jelas rasa hormat Gus Dur pada sosok Kyai Mutamakkin, sosok yang dituding sesat oleh para ulama lain karena ajarannya mengingatkan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar di era Kerajaan Demak atau Syekh Amongraga di era Mataram Islam awal.

Kembali ke momen pernikahan Gus Dur dan Sinta Nuriah. Sayangnya, hingga kini kita tak pernah tahu jenis dhapur dan motif pamor bilah keris Gus Dur. Keris ini tentu keris teristimewa bagi Gus Dur ketika itu, mengingat pusaka ini dipilih sebagai representasi keberadaan Gus Dur dalam momen sakral pernikahannya. Andai saja kita tahu dhapur dan pamor keris Presiden Keempat ini, barangkali saja perilaku misterius dan sukar ditebak dari Gus Dur kini lebih mudah kita pahami bersama (***).