Foto Primus Padakari (Koleksi Pribadi)

Karya: Primus Padakari

Selamat ulang tahun Wiji
Apa kabar kamu sekarang Wiji
Dimanakah kamu kini
Saya ingin mendengarkan kamu membacakan puisi
Yang berbunyi seperti serangan senjata api
Sebab puisi mu adalah inti sari nadi

Kau pergi tanpa pamit dan tidak diketahui
Hilang oleh mata terkubur bumi
Datanglah membela hak kami
Jangan tertidur dalam sepi

Misteri mu itu selalu teringat dalam hati
Kau adalah martir yang rela mati
Lenyap bersamayam dengan lahirnya reformasi
Menjadi mangsa orde baru yang keji

Wiji
Mata satu ada pada saya untuk tetap berpuisi
Meski jantung mu tak lagi berdetak di negeri ini
Kata lawan mu dipakai saya untuk terus menghantui
Menikam mati para pejabat berdasi

Selamat ulang tahun Wiji
Bait demi bait saya coret berkali-kali
Untuk mengenang hari lahir mu ini
Dengan ucapan dari relung hati
Sambil lantunkan doa pada sang gusti
Agar kau mendapatkan kedamaian abadi
Serta kebebasan di surga yang hakiki

Foto Arahmaiani (kebudayaanrakyat.com)

Karya: Arahmaiani

Nyanyian Kemerdekaan Emas
Para elit penguasa
Di panggung politik
Terdengar merdu dan syahdu

Sementara rakyat
Yang jadi penonton
Terbengong dan bingung
Cemas menghadapi kenyataan

Diterpa badai penderitaan
Kemiskinan meluas
Kehilangan pekerjaan
Dan bahkan kelaparan

Lahan dilanda baniir bandang
Diserbu gempa
Juga bisa disita
Jika penguasa menghendakinya

Lingkungan hancur berantakan
Hutan dibakar dan dibabat
Dijadikan kebun kelapa sawit
Tambang emas, nikel dan batubara

Harga kebutuhan melonjak
Dan pajak nanjak
Budaya korupsi penguasa
Malah merajalela!

Akan diarahkan kemana
Dan dijadikan apa?
Negara yang konon Merdeka
Sejak tahun 1945

Elit lokal nasional
Ternyata berpesta-pora
Dengan penguasa global
Di panggung dunia

Berdansa bersama
Merayakan perampokan laba
Di lahan tragedi
Rakyat nelangsa

Merayakan penjajahan
Yang berkelanjutan
Menginjak-injak hak
Dan kedaulatan rakyat

Melahirkan petaka sengsara
Mengancam kebersatuan
Saling curiga tidak percaya
Mengakibatkan kehancuran negara

Lalu apakah kita akan menyerah?
Mengabdi kepada mafia
Tak peduli lagi
Apa makna Merdeka sebenarnya

Kemandirian warisan budaya leluhur
Sudah dihapus penjajah asing dan nasional
Dari ingatan para penghuni
Tanah yang kaya dan subur ini

Yogyakarta, Agustus 2025

Foto AJ Susmana (Koleksi Pribadi)

Karya: AJ Susmana

Batu duka
Batu Suka
Hidup yang keras
Tidaklah membuat kita seperti batu karang
Ada air mata
Ada mata air
Yang membersihkan luka
Pada jalan berbatu-batu
Tapi itulah yang membuat kita kukuh
Berlari bagai kuda
Menempuh jalan ini
Hingga usai

Cirebon, Juni 2025

Tentang Penulis:

AJ Susmana, penulis Novel Menghadang Kubilai Khan. Minat pribadi adalah mempelajari sejarah periode Abad ke-13 terutama Sejarah Nusantara. Saat ini bersama JAKER-Jaringan Kebudayaan Rakyat berusaha menumbuhkan dan memperluas aktivitas literasi di berbagai daerah. Bisa dihubungi di ajsusmana@yahoo.com

Foto Prima Bahren (Koleksi Pribadi)

Karya: Prima Bahren
Untuk Anak-Anak Sekolah Rakyat NTT

Di ujung timur negeri,
matahari pagi meneteskan cahaya
pada langkah-langkah kecil yang dulu
terhenti di tepi jalan berdebu.
Kini, di halaman asrama baru,
kain seragam berkibar seperti janji
bahwa kemiskinan tak lagi memenjarakan mimpi.
Di meja sederhana, pensil bergetar
menulis huruf-huruf pertama yang menolak lupa:
“Negara datang… menjemput kami.”
Dulu, jalan ke sekolah adalah bukit dan jarak,
ladang kering, perut kosong,
dan suara ibu yang pelan berkata,
“Nanti saja, Nak…”
Kini, jalan itu dipangkas oleh keberanian
yang membangun rumah belajar di hati anak-anak.
Mereka belajar bukan hanya membaca,
tetapi berdiri tegak,
menganyam cita-cita dari akar tanah sendiri,
menyulam masa depan dengan benang kebersamaan.
Dan di setiap senyum yang tumbuh,
terdengar bisik tanah Nusa Tenggara:
“Terima kasih, karena akhirnya
angin keadilan itu tiba di sini.”
Kupang, 14 Agustus 2025

Foto FX Rudy Gunawan (Koleksi Pribadi)

Karya: FX Rudy Gunawan

Bagaimana sebuah hari ditentukan menjadi bersejarah?
Apakah sehari sebelumnya Tuhan mencontreng kalender?
Melingkari tanggal itu dengan pena bertinta merah
Lalu memberi catatan super kecil di bawahnya:
Esok, 28 Oktober 1928, pemuda Indonesia bersumpah
Mengucapkan sumpah yang menjadi tonggak sejarah bangsa

Begitukah sebuah hari ditentukan menjadi bersejarah?
Apakah sehari sebelum sumpah pemuda hanya hari biasa?
Setiap hari sebelum hari bersejarah semestinya juga bersejarah
Sehari sebelum sumpah pemuda adalah hari bersejarah
Tujuh hari sebelumnyapun sebenarnya juga hari bersejarah
Hari-hari itu mungkin sejarah masih tercecer diantara puisi cinta

Jakarta, Agustus 2025

Foto Prima Bahren (Koleksi Pribadi)

Karya: Prima Bahren

Delapan puluh tahun bendera itu berkibar,
di tiang bambu, di kapal baja, di puncak menara.
Proklamasi dulu bukan hanya kata,
ia janji yang ditulis dengan darah dan doa.
Kini, di Magelang para saudagar berkumpul,
mendengar seruan seorang presiden:
“Jangan hanya pikirkan sakumu,
pikirkan mereka yang masih mencari sesuap nasi.”
Di Batujajar, prajurit berbaris,
pangkat dinaikkan, komando diperbarui.
Negara menguatkan tamengnya,
agar rakyat bisa tidur tanpa rasa takut.
Namun, janji proklamasi tak hanya di barak,
ia hidup di sawah yang butuh pupuk,
di pasar yang butuh beras,
di tangan rakyat yang tak boleh menyerah.
Mari kita pikul kembali cita-cita itu,
seperti memikul bendera di tengah angin,
tak goyah meski jalan berliku.
Sebab kemerdekaan sejati adalah
saat semua anak bangsa berdiri tegak
adil, makmur, dan merdeka.

Kupang, 11 Agustus 2025

Foto Eva K. Sundari (Koleksi Pribadi)

Karya: Sarinah Sundari

Lebih dari pintar,
ia bijaksana —
membaca zaman lewat mata jiwa,
melintasi luka dengan cinta tak lekang jaman

Tangguh, tabah, tak menyerah,
menenun harapan dari reruntuhan asa,
menumbuhkan damai dari reranting kekerasan.

Berani dan peduli,
suara lembut, tak pernah diam,
berdiri untuk yang tak bisa bicara,
berseru untuk yang dilupakan.

Berdaulat di tubuh, pikiran, jiwa,
ia tidak dimiliki—
oleh adat, oleh pasar, oleh negara.
Ia merdeka memilih:
bekerja di domestik, publik, atau keduanya.
Ia adalah pilihan yang sadar,
bukan hasil paksaan sejarah.

Ibu Bangsa, adil bijaksana,
bukan tanda atau lambang.
Ia adalah pencipta kesejahteraan,
satu untuk semua, semua untuk semua.

Ia tidak bertanya dari suku mana,
tidak memilih dari iman apa.
Ia menjaga persatuan keluarga bangsa
dengan tangan yang sabar dan hati yang bercahaya.

Semua didengar. Semua dipedulikan.
Karena ia tahu,
bangsa ini tak utuh jika ada yang hilang
dari suara, dari ruang, dari perhitungan.

Mandiri menyatu dengan Ilahi,
jiwanya tegak karena bersujud,
langkahnya lurus oleh keyakinan.
Ia tidak ingin menguasai dunia,
cukup menjadi terang di dalamnya.

Perempuan Ibu Bangsa,
adalah rahim kemerdekaan
dan denyut keadilan
yang hidup di setiap generasi
—dengan cinta yang berpancasila.

7/8/25

Tentang Penulis:

Eva K. Sundari memperjuangkan pendekatan politik yang berpihak pada korban, berbasis empati dan spiritualitas. Ia mengembangkan Feminisme Pancasila sebagai jalan pembebasan yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan Ketuhanan.

Foto Prima Bahren (Koleksi Pribadi)

Karya: Prima Bahren

Di tangan para ibu di TIROSA
Timor, Rote, Sabu, Alor dan Sumba
masa lalu ditenun jadi harapan.
Bukan sekadar kain
tapi warisan yang menolak untuk dilupakan.
Cerita rakyat tak lagi membisu,
kini berlayar di layar kaca, bersuara dalam digital.
Legenda kita kini hadir
di ruang-ruang global yang dulu asing.
Dari kriya jadi karya,
dari dapur desa ke panggung dunia.
Motif tradisi bukan lagi aksen,
tapi identitas yang berani bersaing.
Negara pun hadir
melindungi hak, memberi ruang,
membuka jalan bagi mereka
yang menjadikan budaya menjadi hidup.
Di sekolah dan layar anak-anak,
budaya tak hanya dikenang
tapi dialami, di dalami serta dimaknai,
dengan teknologi sebagai jembatannya.
Dan saat dunia menoleh ke Nusantara,
kita tak sekadar tampil,
tapi menyapa dengan cerita sendiri,
dalam bahasa yang berakar dan berani.
Hilirisasi budaya
bukan menjual jati diri,
melainkan menjadikannya
nafas panjang menuju Indonesia yang lestari.
Kupang, 23 Juli 2025

Foto Jack Albantani (Koleksi Pribadi)

Karya: Jack Albantani

Di tanah ini, akar tumbuh dari cerita,
dari nyanyian laut, hutan, dan langit senja.
Di setiap anyaman, ukiran, dan mantra,
terpatri jejak leluhur yang tak lekang oleh masa.

Kita bukan sekadar pewaris pusaka,
tapi penempa jalan dari warisan menjadi daya.
Budaya tak lagi diam di rak sejarah,
ia bergerak, hidup, dan menjelma arah.

Lagu daerah menjelma simfoni dunia,
batik dan tenun jadi wajah diplomasi kita.
Cerita rakyat menembus layar sinema,
tari tradisi menjejak panggung mancanegara.

Inilah hilirisasi makna yang sejati,
bukan hanya menjual, tapi memaknai kembali.
Mengolah warisan menjadi visi,
menjahit masa depan dengan benang jati diri.

Nusantara berkarya, dari pelosok desa hingga kota,
menggerakkan mesin emas bernama budaya.
Dan kelak, saat cahaya cita menyala,
Indonesia berjaya — karena tak lupa siapa dirinya
Semoga dan barangkali saja …

Foto Prima Bahren (Koleksi Pribadi)

Karya: Prima Bahren

Di bawah cahaya mentari timur,
tangan-tangan tua menenun waktu
bukan sekadar kain,
tapi sejarah yang ingin terus hidup.
Cerita rakyat tak lagi hanya didongengkan,
tapi disulap jadi layar,
bergerak dalam animasi dan irama digital,
menyeberangi benua, menembus batas bahasa.
Motif tradisi, aroma dapur nenek moyang,
diangkat dalam kemasan baru
ekonomi kreatif seharusnya tumbuh dari akar,
bukan dari tiruan.
Negara melindungi bukan hanya nama,
tapi juga makna.
Dengan hukum, insentif, dan ruang yang adil,
budaya tak dijual namun wajib dijunjung.
Dan anak-anak kita?
Belajarlah bukan dari buku asing,
tapi dari warisan yang kini hidup
dalam dunia nyata dan maya.
Hilirisasi bukan sekadar arah,
ia adalah cara,
cara agar masa depan lahir
dari nilai yang tak pernah punah.

Kupang 23 Juli 2025