bansos digelontorkan lagi
Rp 496 triliun
di atas meja
yang tak kita duduki

di layar kaca
beras, minyak,
gula, wajah menteri

tapi di lorong
ibu-ibu menakar
apa cukup
untuk tiga hari

satu karung sembako
bukan jalan keluar
dari kemiskinan
yang diwariskan negara

subsidi terus bertambah
seolah luka
cukup dibalut
dengan tisu anggaran

mereka menyebutnya
perlindungan sosial
kami menyebutnya
pengulangan sunyi

Nyata ini negeri atas angin,
tapi tangan rakyat
terus menggenggam angin

kami tidak lapar
karena malas
kami lapar
karena sistem

berapa ratus juta
dalam DTKS itu
yang dipanggil “miskin”
lalu dilupakan?

kami ingin lebih
dari santunan
kami ingin alat
untuk mengukir nasib

program padat karya
pelatihan kerja
reformasi struktural
bukan sekadar istilah

kami ingin
keadilan yang terlibat
bukan belas kasihan
yang diprogramkan.

Lino Sanjoyo, Pekanbaru ,12 Mei 2025

Luka sejarah purba
melembab
dalam bayang gelap
diperkelam
tanpa disuluh

Bayang palu-arit
diburu pagi sore
sulutan paranoia
berjuluk trauma

“Neurosis kolektif,”
kata Fromm tenang,
“memarah
kala takut jadi pasal.”

Pencinta kopi
dibekuk sunyi
kaus merah darah
tersangka manifesto

Ikan Louhan pun
disekap bungkam
sisiknya
mengobar luka

Si inisial AF dan SS
bukan agitator
mereka semata
pamer kaus

Tapi di negeri
yang alergi lambang,
akal diringkus
ke ruang interogasi

Kearifan digilas
lindasan rantai tank
pintu bebas
penggagas berseni
tumbang merebah

Bagian bangsa ini
lumpuh batin
tersetir cedera mental
stunting nalar

Kritik difonis makar
ide diadili
digolong dosa
dalam republik
yang menolak dewasa

“Yang merdeka
dari kesilaman,”
kata Orwell,
“tuan masa depan.”
Sayang, hantu bayang
melayang di pusara-pusara.

Medan, 13 Mei 2025
Lino Sanjoyo
Pegiat Kemanusiaan

Bukan ladang minyak,
bukan peta tanah.
Tapi sumur kecil,
mengering di pagi.

Telaga memucat,
pantulkan mata merah.
Peta diklaim
atas setetes liur.

Si kaya menampung,
si miskin menjerit.
Cangkirnya emas,
kerongkongan tetap kering.

Para pemimpin bicara
dengan kerah licin.
Air diperjanjikan,
dipecah seperti roti.

Mereka sebut damai,
simpan senjata.
Berlomba botolkan air,
dalam plastik bermerek.

Akhlak di mana
Nyata menguap duluan.
Sebelum sumur ini,
mulut telah busuk.

Perang akan datang,
bukan atas minyak.
Laga besar menanti
di tepi sumur.

Dan kucuran darah
bukan oleh senjata.
Derasnya buraian
dari liur kerakusan.

Medan, 14 Mei 2025
Lino Sanjoyo
Pegiat Kemanusiaan

siang ini hujan turun seperti suara
dari megaphone deras menyuarakan tuntutan
langit gelap mewujud malam
siang malu menampakkan muka
tubuh basah baju basah tapi hati panas
menunggu para wakil rakyat keluar
menemui demonstran

seorang ibu penjual teh seduh menghampiriku
menawarkan dagangan
dengan gelas plastik
teh aku pesan datang
tapi lama kupandangi terus menerus

teh belum kuteguk sedikit pun
hampir hilang hangatnya
nikmatnya mungkin sudah pudar
karena imajinasi dalam kepalaku
masih tertuju pada selembar kertas
tuntutan yang meraung raung basah

dalam hatiku sepi sedih perih
menggores-gores tanah
mengepalkan tinju ke tembok
dengan jemari gemeretak tak patah
tanah kucabik di sebatang kayu
membentuk kata puisi berbunyi:
“duduk tertindas atau mati melawan”

tenunan panji-panji hampir koyak
menunggu janji-janji manis para borjuisi
di balik dasi dan topeng halusinasi ditepati

kepada garda terdepan
bagai anak panah menembusi panas
segelas tehku tumpah
memaksa terus terjaga dan berteriak
woi …. bajingan yang lupa tuhan?!
keluar kalian dari gedung pesakitan itu!
kami menuntut segera cawe cawemu
di masa pemilihan umum

gelas teh kugenggam telah kosong
imajinasiku berontak atas goresan puisi
di atas tanah yang menangis
menuntunku menuntut sampai
tetes darah penghabisan
berharap keadilan diberi
sejahtera milik kami

di depan mata
sebatalyon prajurit gagah
berbaris dengan senjata-senjata terhunus
aku tetap di baris terdepan
teh hangat telah kulupakan
sebab emosi menjadi senapan
puisi jadi peluru menembusi gedung berbentuk seni kemaluan
semalu itukah kalian tak sadar diri

Herry Tany
Jakarta, 13 Mei 2025

Puisi Mulyadi J. Amalik
Kala hari sepertiga malam. 
Sang Dalang bersendu kepada Tuhan.
Memohon ijin keramaian waktu.
Menolak digusur mesin pabrik hiburan.

Kala jam separuh putaran malam.
Sang Dalang menyusun agenda harapan.
Bertapa dalam pekat angin gelap.
Menyapa embun wahyu misi perjuangan.

“Apakah itu Engkau, Tuhan?”
tanya Sang Dalang pada bisikan angin.
“Jangan tanya aku, revolusi di tanganmu!”
jawab suara gelap.
Sang Dalang terperanjat.
Menyangka wangsit Tuhan segera didapat.

Sang Dalang beringsut ke bilik tidurnya.
Ia menilik radio transistor empat baterai.
Siaran menyala merah sepanjang malam.
Memutar mundur ulangan pidato Presiden:
“Revolusi mental di tanganmu!”
“Tak ada jalan menikung!”
“Mampuslah tiap jiwa pendusta!”

Getar radio setara sinden menembang.
Sang Dalang berang tertipu penyiar dalu.
Sang Dalang malu disoraki para wayang.
Ia berjanji menggugat tipuan suara radio.
Mengadili polusi siaran pencemar dini hari.
Biar terbit bersih menjumpai cahaya pagi.

Peneleh, Surabaya: 11/12/2023

Puisi Mulyadi J. Amalik 
Di latar depan Merah Putih.
Aku memberi salam sepuluh jari.
Bersyukur atas bumi pertiwi bebas merdeka.
Terima kasih pada Tuhan yang menghamparkan berkah.
Memastikan anak-anak kecil bisa sekolah.
Para pemuda desa dapat bekerja.
Tanah dan hasil tani milik rakyat berharga.
Nelayan dan ikan-ikan laut riang bersukacita.
Orang kota dan desa, kelas menengah ditumbuhi rasa cinta bangsa.

Di latar depan Merah Putih.
Jari-jariku menari menulis puisi dan doa.
Aku merilis akad kebangsaan dengan umatku.
Berjanji tegak lurus pada isi kata dan perbuatan.

Peneleh, Surabaya: 21/10/2024

Puisi Mulyadi J. Amalik

Aku mengirim puisi petisi hujan.

Agar kita merekam lagu awan setiap musim dingin.

Taat mendengarkan perubahan nada tetesan airnya

yang kerap sumbang di pelosok kampung dan hutan.

Hujan sering menyerupa raksasa pagar darat,

memenjara penduduk hingga muram di rumah duka.

Tak cukup pawang menata jemari hujan bertahun

dan cuma menjadi garis gambar panorama cuaca.

Hujan dibuat tempat bertaut pada perahu layar lebar,

ruang layaknya Nabi Nuh mengemban pesan Tuhan.

Hujan berlimpah tuah di semesta ladang perbukitan,

menandai pasal misi kenabian bagi umat pemikir.

Namun kalap hujan segera menebas tiap pongah kuasa,

yang merusak bumi dan bunga-bunga tanah di atasnya.

Hujan itulah suara rakyat yang menari ketak-ketuk,

mengusik tiap langit rumah pemimpin di masa gerah.

Tiada pilihan selain memberi panggung pada hujan,

atau membiarkan luapannya menebas napas kehidupan.

Peneleh, Surabaya: 23/04/2025

Pendakian ini mengarungi angin musim basah.

Sejak Cibodas-Bogor tapak dituntun tanjakan licin lereng hutan.

Hingga puncak Gunung Pangrango keringat penat berbulir salju.

Batu-batu cadas berhijab selembut lumut.

Kesunyian khusyuk mengaji dingin bersujud.

Di Lembah Mandalawangi kutukar kasih dengan Soe Hok Gie.

Kami membahas hamparan bunga Edelweis Sunda

dan berandai berubah menjadi ladang padi dan kebun jagung.

Penduduk bersorak puas membentang kain spanduk alas duduk,

menanak nasi, dan menyangrai popcorn di bara tungku.

Kedaulatan pangan tegak lurus menembus rimba belantara

dan hawa panas kawah gunung mengelus bangsa tropis.

Pemburu negeri tak perlu lagi bermimpi menjelajahi sepi.

Kerisauan mereka akan disembuhkan biola bersenar hujan

dan perjuangan embun menyatukan cabikan awan.  

Pada ketinggian ribuan meter Pangrango-Mandalawangi ini,

segala janji bebersih negeri segera turun menempati landasan.

Lantas pertukaran kasihku usai dengan Soe Hok Gie

sebelum matahari puncak ditikung gelap muka bumi.

Mulyadi J. Amalik

Peneleh, Surabaya: 12/04/2025.

ENERGI
( Catatan kecil buat Jaker)

Kibaran bendera
Tinggi
Tinggi
Dipeluk awan hitam

Terompet pagi
Penggugah energi
Diredam suara gagak

Perjuangan panjang
Merebut ruang.*

(Putu Oka Sukanta,
Rmangun 12.05.2025).

PUISI AKAR RUMPUT

Yang tumbuh di akar rumput,
Cerita ketidak adilan
Dibabat bersih
"Gulma pengganggu bunga bunga
Sastra para Punggawa"

Di akar rumput tumbuh puisi
Tajam melukai basa basi
Menunjam menguliti
Mencari suara hati

Celoteh akar rumput
Menggoyang pepohonan
Merontokkan
Benalu.*

{Putu Oka Sukanta,
Rmangun, 13.05.2025}