Cover Buku Antologi Puisi HUT Ke-32 JAKER (Dok. Redaksi)

Oleh: Ignas Mau

Foto Ignas Mau (Berdikarionline.com)

Sebuah perjalanan panjang pasti melahirkan cerita yang penuh variasi: suka dan duka, sakit dan sehat, haru dan pilu, naik dan turun, terguncang dan kembali tenang. Selalu pula ada refleksi yang bisa ditarik darinya.

Tiga dekade lebih, Jaringan Kebudayaan Rakyat, yang dulu dikenal dengan nama Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat, sudah lahir dan berkembang. Tiga puluh dua tahun perjalanan JAKER adalah cerita panjang tentang kesetiaan pada rakyat. Ia bukan sekadar organisasi atau jaringan yang menggelar kegiatan budaya, melainkan sebuah sikap: bahwa kebudayaan hanya berarti bila berpihak pada kehidupan bersama. Dalam tiga dekade lebih usianya, JAKER telah menunjukkan bahwa seni bisa lahir dari sawah, dari pabrik, dari ruang belajar alternatif, dari rumah sederhana di kampung, bahkan dari jalanan yang dipenuhi gas air mata.

Buku antologi ini adalah salah satu penanda perjalanan itu. Ia tidak hanya hadir untuk merayakan, tetapi juga untuk merekam dan juga memberi makna lebih dalam. Merayakan usia 32 tahun dengan karya, sekaligus merekam jejak pemikiran, perasaan, dan pengalaman yang sedang hidup di tubuh rakyat hari ini. Maka membaca buku ini tidak sama dengan membaca kumpulan puisi biasa. Kita sedang membuka sebuah arsip kolektif: arsip yang berisi jeritan, tawa, dan harapan dari banyak suara yang mungkin tidak akan kita temukan di buku pelajaran sejarah atau di panggung festival resmi.

Puisi-puisi di dalamnya lahir dari konteks sosial yang nyata. Arahmaiani menulis tentang perusakan alam yang terus berlangsung: “Lingkungan hancur berantakan / hutan dibakar dan dibabat / dijadikan kebun kelapa sawit / tambang emas, nikel dan batubara.” Lino Sanjoyo menegaskan ketidakadilan struktural dalam pengentasan kemiskinan: “kami tidak lapar karena malas / kami lapar karena sistem.” Herry Tany menuliskan pengalaman demonstrasi dengan gamblang: “puisi jadi peluru menembusi gedung berbentuk seni kemaluan / semalu itukah kalian tak sadar diri.

Ada pula suara yang lebih lirih, yang berangkat dari kerendahan hati. Margiyono, seorang petani, menyebut dirinya dan kawan-kawan hanya “butiran-butiran biji / yang dibawa angin tak tahu ke mana arahnya”, namun justru dari butiran kecil itulah tumbuh kehidupan baru yang “menghijaukan tanah gersang, menyejukkan udara panas.” Dari sini kita melihat, antologi ini memadukan dua wajah kebudayaan rakyat: kemarahan yang meledak dan kesabaran yang terus berakar.

Selain itu, kita juga mendengar dengan jelas suara lantang perempuan. Nadia Edawarma menulis tentang Bundo Kanduang bukan sebagai simbol pasif, melainkan sebagai penentu arah: “Perempuan Minang bukan pelengkap, tapi penentu arah.” Dalam puisi lainnya, ia menulis tentang Perempuan yang Tak Ditulis di Silsilah, yang berani berdiri tanpa warisan nama besar, karena “martabat bukan warisan, martabat adalah keberanian.” Dari situ kita tahu, kebudayaan rakyat tidak pernah bisa dilepaskan dari peran perempuan yang merawat, melawan, sekaligus membuka jalan.

Semua karya ini memperlihatkan bahwa antologi bukan hanya soal menghimpun teks. Ia adalah ruang pertemuan lintas generasi. Dalam satu buku, kita bisa membaca suara penyair senior yang sudah puluhan tahun menulis dan bersuara, berdampingan dengan penyair muda yang baru memulai langkahnya. Putu Oka Sukanta, dengan sejarah panjangnya sebagai penyintas represi, menulis Puisi Akar Rumput yang mengingatkan kita akan pentingnya suara kecil yang sering diremehkan. Di sisi lain, ada penulis muda seperti Siti Nur Aisyah yang dalam Di Tepi Pesisir yang Terkoyak menghubungkan isu lingkungan dengan keberanian rakyat kecil. Kehadiran keduanya dalam satu buku menunjukkan kesinambungan: api yang dijaga, sekaligus api yang diwariskan.

Di sinilah letak penting antologi ini: ia berfungsi sebagai jembatan. Bagi generasi lama, buku ini adalah pengingat bahwa perjuangan kebudayaan belum selesai. Bagi generasi baru, buku ini adalah ruang belajar bahwa menulis puisi bukan hanya urusan indah kata, melainkan keberanian untuk bersuara. Dan bagi pembaca umum, buku ini adalah bukti bahwa kebudayaan rakyat masih hidup, masih bergerak, dan masih relevan untuk menjawab persoalan hari ini.

Maka, epilog ini ingin menegaskan: antologi ini adalah arsip kolektif. Ia tidak menampilkan satu suara tunggal, tetapi menyatukan banyak suara yang berbeda. Arsip ini penting karena dalam sejarah resmi, suara rakyat sering diabaikan atau dihapus. Di buku ini, suara-suara itu tidak hanya hadir, tetapi justru menjadi pusat.

Pada saat yang sama, buku ini juga adalah ruang pertemuan lintas generasi. Penyair muda dan senior, aktivis dan petani, seniman dan buruh, semua hadir dalam satu halaman. Pertemuan ini bukan kebetulan, melainkan cermin dari perjalanan JAKER sendiri yang selalu berusaha menjadi ruang perjumpaan, bukan ruang eksklusif.

Jack Albantani menulis dalam puisinya tentang ulang tahun JAKER: “Tiga puluh dua tahun, kita bukan sekadar angka, kita luka yang tak menyerah, kita bara yang tak padam diterpa angin sejarah.” Kalimat ini merangkum isi antologi dengan tepat: usia 32 tahun bukan soal peringatan angka, tetapi tentang bagaimana luka tidak membuat kita menyerah, dan bagaimana bara tetap dijaga.

Akhirnya, perlu ditegaskan bahwa buku ini tidak berhenti pada halaman terakhir. Ia adalah undangan. Undangan untuk melihat bahwa kebudayaan rakyat bukan cerita masa lalu, melainkan tugas masa kini. Undangan untuk membaca puisi tidak hanya sebagai karya sastra, tetapi juga sebagai bahan bakar untuk bertindak. Undangan untuk menyadari bahwa suara yang kecil sekalipun, bila disatukan, bisa mengguncang tembok yang besar.

Antologi ini adalah hadiah, sekaligus janji. Hadiah untuk perjalanan panjang yang telah ditempuh, dan janji bahwa kebudayaan rakyat akan terus bertumbuh. Semoga ia menjadi arsip yang hidup, jembatan lintas generasi, dan api yang tidak padam.

Selamat ulang tahun ke-32, JAKER. Teruslah hidup tepat di tengah jantung rakyat!

Foto Imam Khanafi (Koleksi Pribadi)

Oleh Imam Khanafi

MEMBACA sebuah buku sejarah, apalagi dalam bentuk novel, seringkali bukan sekadar perjalanan ke masa lampau. Ia adalah upaya bercermin: apa yang telah terjadi, mengapa itu terjadi, dan bagaimana kita hari ini bisa mengambil pelajaran. Itulah yang saya rasakan ketika menamatkan Menghadang Kubilai Khan (2021) karya AJ Susmana.

Novel ini tidak hanya merekonstruksi episode penting abad ke-13, ketika Nusantara di bawah kerajaan Singhasari menghadapi ancaman Mongol, tetapi juga menyodorkan pertanyaan yang terasa terus hidup: mengapa kita selalu diintai oleh bahaya perpecahan internal, dan bagaimana seharusnya kita menjawab tantangan global?

Cerita bermula dari keruntuhan Kediri dan kebangkitan Tumapel melalui figur legendaris Ken Arok. Namun pusat kisah ada pada Kertanagara, raja Singhasari terakhir, yang berani menolak tunduk pada utusan Kubilai Khan. Ia tampil bukan hanya sebagai penguasa, melainkan seorang visioner: melihat Nusantara sebagai entitas yang harus bersatu sebelum menghadapi ancaman luar.

Susmana meramu fakta sejarah dengan imajinasi sastra. Di sela-sela adegan politik dan peperangan, ia menyelipkan kutipan kakawin, percakapan filosofis antara raja dan guru rohani, hingga renungan spiritual yang mengikat sejarah dengan makna. Di sini kita tidak hanya menemukan catatan pertempuran, tetapi juga drama batin seorang pemimpin yang berdiri di antara ego, cita-cita, dan takdir.

Kertanagara: Antara Visi dan Tragedi

Kertanagara dalam novel ini digambarkan kompleks. Ia berani dan tegas, menolak upeti Mongol, dan mengobarkan semangat persatuan rakyat. Ia visioner, mengirim ekspedisi Pamalayu untuk merajut aliansi dengan Melayu dan Champa. Namun di sisi lain, ia juga keras kepala, kadang lebih sibuk dengan ambisi luar negeri daripada menguatkan kerajaannya sendiri.

Di titik inilah tragedi lahir. Singhasari bukan runtuh karena Mongol, melainkan oleh pengkhianatan internal. Jayakatwang dari Kediri, bersama orang-orang dekat yang berkhianat, justru menjadi tangan yang menjatuhkan Kertanagara. Ironi sejarah pun terjadi: raja yang berjuang menyatukan Nusantara justru hancur oleh perpecahan di tanahnya sendiri.

Pesan utama novel ini terasa jelas: persatuan adalah kunci bertahan hidup bangsa. Sejarah Jawa penuh dengan perang saudara, dan setiap kali perpecahan muncul, pintu bagi kekuatan asing terbuka lebar. AJ Susmana menuliskannya dengan bahasa yang puitis, seakan hendak menegaskan bahwa sejarah bukan sekadar deretan tahun, melainkan peringatan abadi.

Ketika Kertanagara berziarah ke Candi Kagenengan, tempat Ken Arok dicandikan, ia bersumpah untuk menjaga Jawa dari Kubilai Khan. Monumen itu, dalam narasi Susmana, bukan hanya situs arkeologi, melainkan simbol api abadi persatuan Nusantara. Membacanya, saya seperti diingatkan bahwa sejarah selalu berbicara kepada masa kini.

Visi Geopolitik Nusantara, dan Kedalaman Spiritual-Filosofis Kertanagara

Sejarah Nusantara tidak pernah sepi dari pergulatan, baik internal maupun eksternal. Salah satu momen paling menentukan ialah abad ke-13, ketika Jawa dan kerajaan-kerajaan sekitarnya berhadapan dengan ancaman ekspansi besar dari Dinasti Mongol di bawah Kubilai Khan. Peristiwa inilah yang menjadi titik pijak novel Menghadang Kubilai Khan karya AJ Susmana, sebuah karya yang bukan hanya menuturkan kisah sejarah, tetapi juga menawarkan refleksi filosofis dan geopolitik yang masih relevan hingga kini.

Novel ini dibuka dengan kisah runtuhnya Kediri dan bangkitnya Tumapel (Singhasari) melalui sosok legendaris Ken Arok. Namun, titik utama cerita berpusat pada Kertanagara, raja terakhir Singhasari yang visioner dan berusaha mempersatukan Jawa serta kepulauan Nusantara menghadapi ancaman dari luar.

AJ Susmana menyoroti dilema klasik sejarah Jawa: perang saudara yang berulang antara Panjalu–Janggala, Kediri–Tumapel, serta pertarungan internal yang kerap melemahkan negeri. Dari sana, muncul gagasan besar Kertanagara: persatuan sebagai benteng paling kuat melawan bangsa asing.

Narasi ini tidak berhenti pada peristiwa militer, melainkan menembus ruang batin seorang pemimpin yang harus menimbang warisan leluhur, spiritualitas pribadi, dan tanggung jawab geopolitik.

Gaya bahasa novel ini bercorak epik-sastra. Banyak metafora, kutipan kakawin, serta dialog penuh renungan filosofis. Kertanagara kerap ditampilkan dalam momen samadhi, memandang Jawa dalam perbandingan dengan negeri-negeri besar seperti India, Sriwijaya, dan Tiongkok.

Selain itu, Susmana rajin menambahkan konteks sejarah global: jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol, kemunduran Sriwijaya, hingga benih awal Islam di Nusantara. Hal ini memberi bobot realis-historis yang kuat, membuat novel ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga bacaan reflektif.

Tokoh-Tokoh Sentral, Kertanagara tampil sebagai pusat cerita. Ia bukan sekadar raja pejuang, melainkan pemimpin spiritualis yang memahami bahwa kekuatan bangsa tidak cukup hanya dengan senjata, melainkan juga persatuan, ilmu, dan budaya. Ken Arok, meski hanya hadir lewat kenangan dan simbol-simbol (seperti Candi Kagenengan), menjadi ikon wong cilik yang mampu mengubah jalannya sejarah. Dan Wisnuwardhana, ayah Kertanagara, digambarkan sebagai sosok bijak yang lebih memilih jalan damai.

Selain itu Guru Ternawindu, juga penting meski hanya muncul singkat, berperan penting sebagai penuntun spiritual yang menanamkan kesadaran filosofis pada Kertanagara tentang kekuasaan, agama, dan nasib Nusantara.

Novel ini menegaskan pesan moral yang kuat: perpecahan internal selalu membuka jalan bagi kekuatan asing untuk menguasai Nusantara. Di sisi lain, Susmana juga menggarisbawahi pentingnya kearifan lokal dan kepemimpinan yang merakyat, bukan sekadar bangsawan atau pewaris tahta.

Refleksi sejarah yang dihadirkan terasa aktual. Nusantara sejak dulu hingga kini berada pada simpul jalur perdagangan dunia, sehingga selalu menjadi incaran kekuatan besar. Maka, persatuan, kebijaksanaan, dan kepemimpinan visioner menjadi syarat utama keberlangsungan bangsa.

Kelebihan novel ini, kaya akan muatan sejarah yang terjalin dengan cerita epik, bahasa puitis yang menambah kedalaman makna. Dan perspektif geopolitik Nusantara yang terasa relevan dengan kondisi sekarang.

Kekurangannya, alur kadang melambat akibat renungan filosofis yang panjang, Bahasa sastra yang padat bisa menjadi tantangan bagi pembaca awam. Dan representasi tokoh perempuan masih minim, sehingga cerita terasa berfokus pada narasi maskulin.

Menghadang Kubilai Khan bukan hanya novel sejarah, melainkan sebuah meditasi panjang tentang persatuan, kepemimpinan, dan visi besar Nusantara. Melalui sosok Kertanagara, AJ Susmana menghadirkan gambaran raja yang bukan sekadar penguasa, melainkan pemikir dan spiritualis yang jauh melampaui zamannya.

Bagi pecinta sejarah, filsafat, dan narasi epik, novel ini layak dibaca. Ia bukan sekadar membuka lembaran masa lalu, melainkan juga menyuarakan pesan yang terus relevan: bangsa yang terpecah akan mudah digilas, tetapi bangsa yang bersatu akan mampu menghadang kekuatan sebesar apa pun. Sebuah karya yang patut direkomendasikan bagi mereka yang ingin merenungi sejarah dan masa depan Nusantara.

Relevansi untuk Hari Ini

Mungkin pertanyaan terpenting: apa arti semua ini bagi kita sekarang? Kertanagara jelas hidup di masa yang jauh berbeda, tetapi dilema yang dihadapinya masih terasa akrab. Globalisasi hari ini tak ubahnya ekspansi Mongol di masa lalu—kekuatan besar dari luar yang bisa menelan bangsa kecil bila rapuh dari dalam.

Di tengah ancaman geopolitik, krisis ekonomi, dan pertarungan ideologi, persatuan kembali menjadi kata kunci. Novel ini seperti menyampaikan pesan bahwa bangsa tidak akan kalah oleh gempuran asing bila ia kokoh dari dalam: kuat dalam budaya, bijak dalam kepemimpinan, dan solid dalam persaudaraan rakyatnya.

Menghadang Kubilai Khan bukan sekadar novel sejarah. Ia adalah meditasi tentang makna kepemimpinan, persatuan, dan kesadaran sejarah. Melalui sosok Kertanagara, kita melihat keberanian dan visi besar, sekaligus kelemahan manusiawi yang berakhir tragis.

Mungkin inilah kekuatan sebuah buku: ia bukan hanya menghibur, tetapi juga menggugah kita untuk berpikir ulang tentang diri sendiri. Sejarah Kertanagara mengingatkan kita bahwa bangsa yang besar bisa jatuh bukan karena serangan luar, melainkan karena lupa menjaga harmoni di dalam. Dan dari sana, kita belajar: mimpi besar hanya akan bertahan bila dijaga bersama. (*)

Tentang Penulis:
Imam Khanafi, penulis tinggal di Kudus, Jawa Tengah, gemar menelusuri sudut kota dan menulis cerpen serta esai tentang hal-hal kecil yang sering terabaikan. Aktif di Pojok Kliping Kudus dan Phos Collective—kolektif seni yang menerbitkan zine sastra dan kajian seni. Juga belajar mendongeng di komunitas Cerita Kudus Tuwa (CKT) untuk mengasah seni tutur. Moto hidup: Selalu bergembira di jalan.

Poster Serial Daredevil Born Again (RRI.co.id)

Oleh: Harsa Permata

Setan pemberani, mungkin itu kata-kata yang tepat untuk menerjemahkan kata Daredevil, nama dari salah satu hero Marvel, yang memiliki kemampuan melebihi manusia biasa. Dengan kondisinya sebagai penyandang disabilitas, yaitu tuna netra, Matt Murdock, yang diperankan oleh Charlie Cox, mencoba melawan ketidakadilan berbekal kemampuan beladirinya, serta kemampuan inderawinya, yang spesial, hasil dari gabungan 4 indera miliknya, yang dilatihnya sedemikian rupa.

Pada cerita sebelumnya, di serial Daredevil, Wilson Fisk, alias Kingpin, yang diperankan oleh Vincent D’Onofrio, musuh utama Daredevil, berhasil dipenjarakan olehnya. Sementara, pada serial Daredevil Born Again, yang sudah tayang di Disney + Hotstar sejak 5 Maret 2025 ini, Wilson Fisk telah bebas dari hukumannya.

Tak menyia-nyiakan kesempatan dari kebebasan yang didapatnya, Wilson Fisk maju dalam pemilihan Walikota New York, yang kemudian dimenangkannya. Setelah menjadi Walikota New York, berbagai manuver politik dilakukannya, untuk memapankan kekuasaan yang dimilikinya.

Dengan dalih menjaga keamanan, Kingpin membentuk pasukan khusus yang terdiri dari para polisi brutal dan korup, yang selama ini tersingkir dari NYPD (New York Police Department). Ia menamai pasukan khusus ini dengan nama “Anti-VigilanteTask Force” (Satuan Tugas Anti-Vigilante).

Dalam kenyataannya, Satgas ini hanya berfungsi sebagai gerombolan polisi yang menjadi tukang pukul Fisk. Mereka terlibat dalam berbagai aksi kriminal, yang salah satunya adalah berupa pembunuhan terhadap salah seorang vigilante yang beroperasi dengan nama White Tiger, atau Macan Putih.

Kingpin juga dengan brutal membunuh Kepala NYPD, yaitu Commisioner Gallo, di depan Satgas Anti-Vigilante itu. Commisioner Gallo memang secara terang-terangan menentang arah politik Kingpin. Ia juga bersikap menolak keras penempatan para polisi korup dan brutal dalam Satgas bentukan Kingpin.

Bagaimana dengan Daredevil? Kemana saja dia? Dalam episode awal Daredevil Born Again, DD, si protagonis utama, sedang mengalami demoralisasi karena teman seperjuangannya, Franklin “Foggy” Nelson (Elden Henson), harus kehilangan nyawa, karena dibunuh oleh villain yang bernama Benjamin Poindexter alias Bullseye. Ia memang sempat menghajar dan melempar villain yang menyebabkan kematian temannya itu, dari sebuah gedung tinggi. Akan tetapi, Bullseye tetap tidak mati, bahkan sempat melakukan usaha percobaan pembunuhan terhadap Kingpin.

Belakangan Matt Murdock alias Daredevil mengetahui bahwa Vanessa, istri Kingpin yang menjadi dalang pembunuhan terhadap sahabatnya, Foggy Nelson tersebut. Matt mengonfrontasikan hal ini secara langsung pada Vanessa, saat berdansa dengan istri Kingpin tersebut, dalam sebuah pesta dansa, yang diadakan oleh Kingpin.

Pembunuhan Foggy sebenarnya disebabkan oleh keberhasilannya membongkar sarang mafia, yaitu kawasan pelabuhan yang bernama Red Hook. Di situlah Vanessa menjalankan operasi bisnis gelapnya, menggantikan suaminya, Kingpin yang tengah menjalani hukuman penjara.

Serial Daredevil Born Again ini juga ditandai dengan kembalinya Frank Castle alias The Punisher (diperankan oleh Jon Bernthal), yang juga melawan kejahatan, tapi dengan metode yang berbeda dari Daredevil. The Punisher terkenal dengan sikap untuk tidak segan menghabisi lawan-lawannya, yaitu para villain atau penjahat, sementara Daredevil selalu berusaha sekuat tenaga untuk hanya melumpuhkan dan tidak membunuh lawan-lawannya.

Episode terakhir serial ini, secara tersirat sebenarnya menggambarkan bagaimana sikap dari penulis skenario cerita serial ini terhadap realitas politik terkini di banyak negara di berbagai belahan dunia. Kemenangan kekuatan politik sayap kanan, yang probisnis dan tidak prorakyat serta kemanusiaan, adalah realitas politik yang terjadi di berbagai negara beberapa tahun belakangan ini.

Salah satu realitas politik internasional terkini adalah kemenangan Donald Trump, yang salah satunya didukung oleh kelompok yang mengedepankan isu white supremacy (supremasi kulit putih). Berbagai kebijakan Trump, yang cenderung rasis dan proteksionis, adalah cerminan dari sikap berbagai kelompok sayap kanan, yang menjadi pendukungnya.

Kata-kata Daredevil pada Karen Page di akhir episode finale mungkin mewakili pandangan penulis skenario atau bahkan produser serial ini. “You’re right. We can beat him. We’re going to take this city back, Karen…. We need an army.” (Kamu benar, kita bisa mengalahkannya. Kita akan merebut kota ini kembali Karen…Kita butuh pasukan) (dikutip dari cbr.com, akses 19 Juni 2025).

Perjuangan melawan kekuatan politik sayap kanan yang telah berhasil merebut kekuasaan dan menguasai negara serta pemerintahan di sebagian besar negara, saat ini tidak bisa lagi dengan menggunakan wacana dan kata-kata belaka. Para buzzer yang berfungsi sebagai spin doctor dengan memutarbalikkan fakta kejahatan dari penguasa sayap kanan, akan mementahkan setiap wacana dan pandangan kritis serta protes dari kelompok-kelompok prorakyat, demokrasi, dan kemanusiaan.

Oleh karena itu, sepertinya berdasarkan dialog antara Daredevil dan Karen Page (Deborah Ann Woll) ini, cara yang tepat untuk melawan penguasa sayap kanan, adalah dengan membentuk pasukan perlawanan. Sepertinya season 2, serial Daredevil Born Again ini akan menggambarkan perang antara penguasa penguasa sayap kanan, atau Kingpin, dengan pasukan perlawana, yang dipimpin oleh Daredevil dan kawan-kawan.

Bagaimana dengan dunia nyata? Apakah juga akan bermunculan pasukan perlawanan terhadap penguasa sayap kanan di berbagai belahan dunia? Sepertinya hal tersebut bergantung pada kelompok-kelompok prorakyat, demokrasi, dan kemanusiaan, apakah mereka akan benar-benar melawan secara terorganisir, atau hanya sekedar kelompok protes musiman, yang muncul untuk menyikapi isu dan kebijakan kontroversial dari penguasa belaka.

Untuk kasus Indonesia, pemerintah yang sekarang ini, tidak bisa dengan mudah diberi stempel kanan maupun kiri. Latar belakang Prabowo Subianto, Presiden Indonesia saat ini, yang merupakan seorang Jenderal TNI AD (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat), dan pernah menjabat sebagai Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus), pada era Orde Baru, yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, mertua Prabowo saat itu, walaupun demikian, dengan semua latar belakang ini, tidak dengan serta-merta membuat Prabowo bisa dikategorikan sebagai penguasa sayap kanan. Mengapa demikian?

Komposisi kabinet Prabowo yang cukup terbuka terhadap mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru, serta para mantan anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD), adalah salah satu alasannya. PRD merupakan satu-satunya partai politik yang berani melawan Orde Baru secara frontal. Tercatat ada 5 mantan anggota PRD yang diberi posisi setingkat menteri dalam kabinet Prabowo (suara.com, diakses 11/07/2025).

Selain itu, berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan yang sekarang ini, juga lebih cenderung prorakyat dibanding probisnis. Kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG), pembebasan biaya izin pembangunan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah, swasembada energi, dan swasembada pangan, adalah contoh konkret dari berbagai kebijakan prorakyat, pemerintahan yang sekarang ini (antaranews.com, diakses 11/07/2025).

Indonesia juga resmi bergabung ke BRICS, yang merupakan akronim dari Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, pada 6 Januari 2025. Untuk diketahui BRICS adalah sebuah forum kerja sama ekonomi antarnegara berkembang, yang salah satu arah gerakannya, yaitu untuk mengurangi ketergantungan atas mata uang dollar AS (Amerika Serikat) (kompas.id, diakses 11/07/2025).

Secara umum, sebenarnya, bisa disimpulkan, bahwa pemerintahan Indonesia, yang sekarang, lebih cenderung ke kiri tengah dibanding ke kanan. Akan tetapi, Indonesia, sebagai salah satu negara yang cukup dirugikan dengan kebijakan proteksionis, tarif impor Trump (Trump Tariff), tentu saja tidak bisa bertahan di posisi kiri tengah, jika tidak mau dilindas oleh penguasa sayap kanan, Donald Trump. Untuk diketahui, pemerintahan AS, di bawah Trump, awalnya menetapkan tarif impor produk Indonesia ke AS, tetap 32%. Trump sebenarnya juga memberikan opsi pembebasan tarif impor bagi Indonesia, jika mau membangun pabrik produk Indonesia di Amerika Serikat (tempo.co, diakses 11/07/2025). Akan tetapi, pada 22 Juli 2025, pemerintah Amerika Serikat mengumumkan penurunan tarif impor bagi Indonesia menjadi 19%, dengan berbagai syarat, salah satunya adalah tarif impor 0% bagi barang-barang produk Amerika Serikat untuk Indonesia. Hal ini terjadi setelah proses negosiasi antara pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat (tempo.co, diakses 25/07/2025).

Artinya, sikap Indonesia terhadap kebijakan Trump yang probisnis ini, akan menentukan apakah Indonesia akan tetap prorakyat, seperti halnya Daredevil dan kawan-kawannya, ataukah akan lebih probisnis, selayaknya Kingpin. Untuk itu, kalau boleh meminjam kata-kata Daredevil tadi, yaitu, “We need an army”, untuk melawan Kingpin, yang telah menguasai negara, maka Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, seharusnya mampu menggalang persatuan yang kuat, antarnegara-negara yang dirugikan, untuk melawan Amerika Serikat, di bawah Donald Trump. Bukan hanya sekadar bernegosiasi, yang hasilnya secara umum malah menguntungkan negara Amerika Serikat di bawah Donald Trump.

Dalam sejarah, satu-satunya Presiden Indonesia, yang berani melawan Amerika Serikat, hanya Soekarno. Hal yang sepertinya menjadi salah satu penyebab kejatuhan Soekarno dari puncak kekuasaan di Indonesia. Untuk itulah, pada masa sekarang ini, jika Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto berani melawan Amerika Serikat, maka hanya persatuan bangsa Indonesia yang solid, yang bisa menjamin kemenangan Indonesia melawan Amerika Serikat di bawah penguasa sayap kanan, Donald Trump.

Harsa Permata
With a few red lights and a few old beds
We make a place to sweat
No matter what we get out of this
I know we'll never forget
Smoke on the water, fire in the sky

Begitulah penggalan lirik lagu “Smoke on the Water”, yang merupakan salah satu hits dari grup musik asal Inggris, “Deep Purple”. Petikan gitar awal yang khas dan melegenda, mungkin yang membuat lagu ini sangat digemari oleh banyak orang.

Saya teringat dulu di kampus-kampus, sekitaran tahun 90-an sampai 2000-an awal, lagu ini adalah lagu favorit yang sering dibawakan oleh band-band kampus penggemar lagu lawas. Di kampus saya, Filsafat UGM, lagu ini teramat sering dibawakan grup musik andalan kampus kami, yaitu Sandhe Monink. Akan tetapi, siapa nyana kalau lagu ini sebenarnya terinspirasi dari sebuah insiden. Kira kira sederhananya, ceritanya seperti ini. Ceritanya, Deep Purple mau rekaman di tempat yang bernama Montreux Casino atau Kasino Montreux, di Swiss, pada tahun 1971.

Saat itu di lokasi, kebetulan ada konser dari seorang musisi yang cukup provokatif dan kontroversial, yaitu Frank Zappa. Hari itu, yaitu tanggal 4 Desember 1971, saat Frank Zappa dan bandnya tampil di panggung, seorang penonton, yang merupakan fans sang musisi, bertindak agresif merangsek ke arah panggung dan menembakkan pistol suar ke arah band yang sedang tampil.

Selanjutnya, api membara, akibat meledaknya sistem pemanas di venue tersebut. Beberapa fans terluka, perlengkapan band hancur, untungnya tidak ada korban nyawa. Asap kemudian membumbung di lokasi yang dikelilingi air tersebut.

Peristiwa ini tergambar dalam penggalan lirik lagu “Smoke on The Water”

We all came out to Montreux on the Lake Geneva shoreline / To make records with a mobile – We didn’t have much time / Frank Zappa & the Mothers were at the best place around / But some stupid with a flare gun burned the place to the ground / Smoke on the water, a fire in the sky…” (sumber: faroutmagazine.co.uk, diakses 6 Januari 2025).

Bagi musisi biasa, sebuah insiden yang membahayakan nyawa, ketika akan rekaman atau membuat album lagu, bisa saja membuat yang bersangkutan memikirkan ulang album lagu yang akan dibuatnya. Akan tetapi, sebaliknya, para maestro member band Deep Purple, yaitu Ritchie Blackmore, Ian Gillan, Roger Glover, Jon Lord, dan Ian Paice, menjadikan insiden menegangkan dan berbahaya tersebut sebagai inspirasi dari lagu mereka yang sangat melegenda. Mereka membuat peristiwa tersebut menjadi sebuah kecelakaan yang indah. Hal yang mungkin hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu saja.

Proses rekaman tetap berjalan, yang kemudian berhasil menelurkan album “Machine Head”, sementara single “Smoke on The Water” dirilis pada tahun 1973, sekitar bulan Mei. Dalam skala internasional, majalah Rolling Stone, menobatkan lagu ini sebagai salah satu dari 500 lagu terbaik sepanjang masa.

Moral of the story-nya apa? Sebuah kecelakaan atau kekacauan sejatinya bukanlah akhir dari segalanya. Hanya orang-orang yang jeli dan berpikiran progresif yang bisa menggali dan menciptakan sesuatu yang indah dari kecelakaan atau kekacauan tersebut. Dalam sejarah Indonesia, bahkan kita bisa lihat, bagaimana sebuah kondisi tidak ideal, bisa diolah oleh para pendiri negara Indonesia, yang berpikiran maju, menjadi kondisi yang jauh lebih baik, yaitu kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.

Dalam konteks Indonesia pada masa sekarang, sebenarnya kisah di balik lagu “Smoke on The Water” ini bisa kita jadikan inspirasi untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kondisi yang tidak ideal yang kita hadapi beberapa tahun belakangan, seperti pandemi Corona, dari tahun 2020 sampai 2022, krisis ekonomi global setelahnya, yang membuat sebagian rakyat hidup sulit, seharusnya bisa diakhiri dan diubah menjadi sesuatu yang indah, atau suatu kondisi ideal.

Untuk itu, butuh seorang atau beberapa maestro yang berpandangan jauh ke depan, guna melakukan hal tersebut. Selain itu, para maestro tersebut juga paham, bagaimana seharusnya berkomunikasi dengan rakyat dan menyerap aspirasi rakyat, yang kemudian bisa diartikulasikan dalam berbagai kebijakan, yang benar-benar pro kesejahteraan rakyat. Hal yang paling penting, dan utama, adalah kerjasama saling dukungan dari seluruh elemen bangsa Indonesia. Kerja sama ini pada dasarnya adalah budaya asli Indonesia, yang terkenal dengan nama “Gotong Royong”.  Mudah-mudahan para pemimpin dengan dukungan mayoritas rakyat Indonesia bisa merealisasikannya.

Oleh: Harsa Permata