Foto Imam Khanafi (Koleksi Pribadi)

Oleh Imam Khanafi

MEMBACA sebuah buku sejarah, apalagi dalam bentuk novel, seringkali bukan sekadar perjalanan ke masa lampau. Ia adalah upaya bercermin: apa yang telah terjadi, mengapa itu terjadi, dan bagaimana kita hari ini bisa mengambil pelajaran. Itulah yang saya rasakan ketika menamatkan Menghadang Kubilai Khan (2021) karya AJ Susmana.

Novel ini tidak hanya merekonstruksi episode penting abad ke-13, ketika Nusantara di bawah kerajaan Singhasari menghadapi ancaman Mongol, tetapi juga menyodorkan pertanyaan yang terasa terus hidup: mengapa kita selalu diintai oleh bahaya perpecahan internal, dan bagaimana seharusnya kita menjawab tantangan global?

Cerita bermula dari keruntuhan Kediri dan kebangkitan Tumapel melalui figur legendaris Ken Arok. Namun pusat kisah ada pada Kertanagara, raja Singhasari terakhir, yang berani menolak tunduk pada utusan Kubilai Khan. Ia tampil bukan hanya sebagai penguasa, melainkan seorang visioner: melihat Nusantara sebagai entitas yang harus bersatu sebelum menghadapi ancaman luar.

Susmana meramu fakta sejarah dengan imajinasi sastra. Di sela-sela adegan politik dan peperangan, ia menyelipkan kutipan kakawin, percakapan filosofis antara raja dan guru rohani, hingga renungan spiritual yang mengikat sejarah dengan makna. Di sini kita tidak hanya menemukan catatan pertempuran, tetapi juga drama batin seorang pemimpin yang berdiri di antara ego, cita-cita, dan takdir.

Kertanagara: Antara Visi dan Tragedi

Kertanagara dalam novel ini digambarkan kompleks. Ia berani dan tegas, menolak upeti Mongol, dan mengobarkan semangat persatuan rakyat. Ia visioner, mengirim ekspedisi Pamalayu untuk merajut aliansi dengan Melayu dan Champa. Namun di sisi lain, ia juga keras kepala, kadang lebih sibuk dengan ambisi luar negeri daripada menguatkan kerajaannya sendiri.

Di titik inilah tragedi lahir. Singhasari bukan runtuh karena Mongol, melainkan oleh pengkhianatan internal. Jayakatwang dari Kediri, bersama orang-orang dekat yang berkhianat, justru menjadi tangan yang menjatuhkan Kertanagara. Ironi sejarah pun terjadi: raja yang berjuang menyatukan Nusantara justru hancur oleh perpecahan di tanahnya sendiri.

Pesan utama novel ini terasa jelas: persatuan adalah kunci bertahan hidup bangsa. Sejarah Jawa penuh dengan perang saudara, dan setiap kali perpecahan muncul, pintu bagi kekuatan asing terbuka lebar. AJ Susmana menuliskannya dengan bahasa yang puitis, seakan hendak menegaskan bahwa sejarah bukan sekadar deretan tahun, melainkan peringatan abadi.

Ketika Kertanagara berziarah ke Candi Kagenengan, tempat Ken Arok dicandikan, ia bersumpah untuk menjaga Jawa dari Kubilai Khan. Monumen itu, dalam narasi Susmana, bukan hanya situs arkeologi, melainkan simbol api abadi persatuan Nusantara. Membacanya, saya seperti diingatkan bahwa sejarah selalu berbicara kepada masa kini.

Visi Geopolitik Nusantara, dan Kedalaman Spiritual-Filosofis Kertanagara

Sejarah Nusantara tidak pernah sepi dari pergulatan, baik internal maupun eksternal. Salah satu momen paling menentukan ialah abad ke-13, ketika Jawa dan kerajaan-kerajaan sekitarnya berhadapan dengan ancaman ekspansi besar dari Dinasti Mongol di bawah Kubilai Khan. Peristiwa inilah yang menjadi titik pijak novel Menghadang Kubilai Khan karya AJ Susmana, sebuah karya yang bukan hanya menuturkan kisah sejarah, tetapi juga menawarkan refleksi filosofis dan geopolitik yang masih relevan hingga kini.

Novel ini dibuka dengan kisah runtuhnya Kediri dan bangkitnya Tumapel (Singhasari) melalui sosok legendaris Ken Arok. Namun, titik utama cerita berpusat pada Kertanagara, raja terakhir Singhasari yang visioner dan berusaha mempersatukan Jawa serta kepulauan Nusantara menghadapi ancaman dari luar.

AJ Susmana menyoroti dilema klasik sejarah Jawa: perang saudara yang berulang antara Panjalu–Janggala, Kediri–Tumapel, serta pertarungan internal yang kerap melemahkan negeri. Dari sana, muncul gagasan besar Kertanagara: persatuan sebagai benteng paling kuat melawan bangsa asing.

Narasi ini tidak berhenti pada peristiwa militer, melainkan menembus ruang batin seorang pemimpin yang harus menimbang warisan leluhur, spiritualitas pribadi, dan tanggung jawab geopolitik.

Gaya bahasa novel ini bercorak epik-sastra. Banyak metafora, kutipan kakawin, serta dialog penuh renungan filosofis. Kertanagara kerap ditampilkan dalam momen samadhi, memandang Jawa dalam perbandingan dengan negeri-negeri besar seperti India, Sriwijaya, dan Tiongkok.

Selain itu, Susmana rajin menambahkan konteks sejarah global: jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol, kemunduran Sriwijaya, hingga benih awal Islam di Nusantara. Hal ini memberi bobot realis-historis yang kuat, membuat novel ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga bacaan reflektif.

Tokoh-Tokoh Sentral, Kertanagara tampil sebagai pusat cerita. Ia bukan sekadar raja pejuang, melainkan pemimpin spiritualis yang memahami bahwa kekuatan bangsa tidak cukup hanya dengan senjata, melainkan juga persatuan, ilmu, dan budaya. Ken Arok, meski hanya hadir lewat kenangan dan simbol-simbol (seperti Candi Kagenengan), menjadi ikon wong cilik yang mampu mengubah jalannya sejarah. Dan Wisnuwardhana, ayah Kertanagara, digambarkan sebagai sosok bijak yang lebih memilih jalan damai.

Selain itu Guru Ternawindu, juga penting meski hanya muncul singkat, berperan penting sebagai penuntun spiritual yang menanamkan kesadaran filosofis pada Kertanagara tentang kekuasaan, agama, dan nasib Nusantara.

Novel ini menegaskan pesan moral yang kuat: perpecahan internal selalu membuka jalan bagi kekuatan asing untuk menguasai Nusantara. Di sisi lain, Susmana juga menggarisbawahi pentingnya kearifan lokal dan kepemimpinan yang merakyat, bukan sekadar bangsawan atau pewaris tahta.

Refleksi sejarah yang dihadirkan terasa aktual. Nusantara sejak dulu hingga kini berada pada simpul jalur perdagangan dunia, sehingga selalu menjadi incaran kekuatan besar. Maka, persatuan, kebijaksanaan, dan kepemimpinan visioner menjadi syarat utama keberlangsungan bangsa.

Kelebihan novel ini, kaya akan muatan sejarah yang terjalin dengan cerita epik, bahasa puitis yang menambah kedalaman makna. Dan perspektif geopolitik Nusantara yang terasa relevan dengan kondisi sekarang.

Kekurangannya, alur kadang melambat akibat renungan filosofis yang panjang, Bahasa sastra yang padat bisa menjadi tantangan bagi pembaca awam. Dan representasi tokoh perempuan masih minim, sehingga cerita terasa berfokus pada narasi maskulin.

Menghadang Kubilai Khan bukan hanya novel sejarah, melainkan sebuah meditasi panjang tentang persatuan, kepemimpinan, dan visi besar Nusantara. Melalui sosok Kertanagara, AJ Susmana menghadirkan gambaran raja yang bukan sekadar penguasa, melainkan pemikir dan spiritualis yang jauh melampaui zamannya.

Bagi pecinta sejarah, filsafat, dan narasi epik, novel ini layak dibaca. Ia bukan sekadar membuka lembaran masa lalu, melainkan juga menyuarakan pesan yang terus relevan: bangsa yang terpecah akan mudah digilas, tetapi bangsa yang bersatu akan mampu menghadang kekuatan sebesar apa pun. Sebuah karya yang patut direkomendasikan bagi mereka yang ingin merenungi sejarah dan masa depan Nusantara.

Relevansi untuk Hari Ini

Mungkin pertanyaan terpenting: apa arti semua ini bagi kita sekarang? Kertanagara jelas hidup di masa yang jauh berbeda, tetapi dilema yang dihadapinya masih terasa akrab. Globalisasi hari ini tak ubahnya ekspansi Mongol di masa lalu—kekuatan besar dari luar yang bisa menelan bangsa kecil bila rapuh dari dalam.

Di tengah ancaman geopolitik, krisis ekonomi, dan pertarungan ideologi, persatuan kembali menjadi kata kunci. Novel ini seperti menyampaikan pesan bahwa bangsa tidak akan kalah oleh gempuran asing bila ia kokoh dari dalam: kuat dalam budaya, bijak dalam kepemimpinan, dan solid dalam persaudaraan rakyatnya.

Menghadang Kubilai Khan bukan sekadar novel sejarah. Ia adalah meditasi tentang makna kepemimpinan, persatuan, dan kesadaran sejarah. Melalui sosok Kertanagara, kita melihat keberanian dan visi besar, sekaligus kelemahan manusiawi yang berakhir tragis.

Mungkin inilah kekuatan sebuah buku: ia bukan hanya menghibur, tetapi juga menggugah kita untuk berpikir ulang tentang diri sendiri. Sejarah Kertanagara mengingatkan kita bahwa bangsa yang besar bisa jatuh bukan karena serangan luar, melainkan karena lupa menjaga harmoni di dalam. Dan dari sana, kita belajar: mimpi besar hanya akan bertahan bila dijaga bersama. (*)

Tentang Penulis:
Imam Khanafi, penulis tinggal di Kudus, Jawa Tengah, gemar menelusuri sudut kota dan menulis cerpen serta esai tentang hal-hal kecil yang sering terabaikan. Aktif di Pojok Kliping Kudus dan Phos Collective—kolektif seni yang menerbitkan zine sastra dan kajian seni. Juga belajar mendongeng di komunitas Cerita Kudus Tuwa (CKT) untuk mengasah seni tutur. Moto hidup: Selalu bergembira di jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *