Puisi Mulyadi J. Amalik
Aku mengirim puisi petisi hujan.
Agar kita merekam lagu awan setiap musim dingin.
Taat mendengarkan perubahan nada tetesan airnya
yang kerap sumbang di pelosok kampung dan hutan.
Hujan sering menyerupa raksasa pagar darat,
memenjara penduduk hingga muram di rumah duka.
Tak cukup pawang menata jemari hujan bertahun
dan cuma menjadi garis gambar panorama cuaca.
Hujan dibuat tempat bertaut pada perahu layar lebar,
ruang layaknya Nabi Nuh mengemban pesan Tuhan.
Hujan berlimpah tuah di semesta ladang perbukitan,
menandai pasal misi kenabian bagi umat pemikir.
Namun kalap hujan segera menebas tiap pongah kuasa,
yang merusak bumi dan bunga-bunga tanah di atasnya.
Hujan itulah suara rakyat yang menari ketak-ketuk,
mengusik tiap langit rumah pemimpin di masa gerah.
Tiada pilihan selain memberi panggung pada hujan,
atau membiarkan luapannya menebas napas kehidupan.
Peneleh, Surabaya: 23/04/2025