Potret Penari Reog dan Jaranan sedang Berpose Bersama (Dokumentasi Sari Utomo)

(Sekilas Kisah Paguyuban Seni Tari Reog dan Jaranan Sari Utomo)
Oleh: Adhitia Armitrianto


Semarang – Kebudayaan Rakyat – Baru-baru ini, Kementerian Kebudayaan mengumumkan bila telah mendaftarkan Jaranan sebagai warisan budaya tak benda ke Unesco. Di Bandungan, Kabupaten Semarang, tarian tersebut lebih sering disebut reog. Di sana, kesenian rakyat itu tumbuh bersama industri pariwisata yang terus berkembang.

KABUPATEN Semarang dikenal sebagai Surganya Jawa Tengah karena memiliki beberapa tujuan wisata. Kecamatan Bandungan adalah salah satu daerah yang paling sering dituju. Kawasan yang berada di lereng Gunung Ungaran itu mengandalkan wisata kesejarahan dengan ikonnya Candi Gedongsongo serta keindahan alam yang lengkap dengan udara sejuk sehingga tepat untuk menjadi tempat berlibur.

Selain itu, industri pariwisata di sana juga berkembang dengan menjamurnya hotel dan sanggraloka serta karaoke dan restoran juga wahana permainan. Bisa dikatakan, Bandungan tak pernah tidur atau hidup 24 jam tanpa henti.

Di tengah keriuhan tersebut, tradisi masih dipegang teguh oleh penduduk setempat. Salah satu yang terlihat adalah masih bertahannya kelompok tari jaranan atau reog.

“Di sini, jaranan memang sering disebut reog. Tapi bukan seperti di Ponorogo. Di Bandungan serta sebagian Kabupaten Semarang, reog itu ya jaranan,” ujar salah seorang pamong budaya Pemerintah Kabupaten Semarang, Bramantyo Saputra, baru-baru ini.

Situs resmi Kementerian Kebudayaan menyebut jaranan sebagai seni pertunjukan dan ritual yang menggabungkan tari, musik, dan unsur spiritual. Beberapa nama lainnya antara lain jaran kepang atau kuda kepang, jathilan, ebeg, kuda lumping, serta turangga seta (https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/indonesia-resmi-ajukan-warisan-budaya-takbenda-tempe-teater-mak-yong-dan-jaranan-ke-unesco/ diakses pada 12 April 2025).

Sementara Claire Holt pada bukunya Melacak Perkembangan Seni di Indonesia pernah menulis nama-nama lain untuk tari kuda kepang. “Pertunjukan ini juga dikenal sebagai kuda lumping (di Jawa Barat kuda itu dari kulit, yaitu lumping), ebleg (di barat daya), jathilan (di daerah Yogyakarta), dan reyog atau ludrug (?)(di Jawa Timur).”

Holt juga menjelaskan, nama tari tersebut berasal dari gabungan kata kuda yang berarti hewan kuda dan kepang yang merujuk pada bambu yang dianyam. “Pertunjukan rakyat ini dilakukan oleh laki-laki menunggang kuda-kudaan pipih yang dibuat dari anyaman bambu dan dicat,” tulisnya.

Konon, jaranan adalah bagian dari ritual yang dilakukan masyarakat untuk beberapa tujuan, antara lain menolak bala, mengatasi berbagai musibah, meminta kesuburan pada lahan pertanian, mengharap keberhasilan panen, dan bagian dari upaya menciptakan lingkungan yang aman dan tenteram.

Kesenian tradisi itu dikatakan berasal dari Jawa Timur. Hal tersebut tak lepas dari relief Candi Jawi di Pasuruan yang menggambarkannya. Meski demikian, jaranan berkembang pula di Jawa Tengah.
Di Kabupaten Semarang misalnya, ada banyak kelompok yang memainkannya. Bramantyo menjelaskan, di Kecamatan Bandungan ada belasan kelompok reog.

“Di setiap desa atau kelurahan bisa ada empat atau lima kelompok. Dan mereka masih aktif,” tambahnya.
Kecamatan Bandungan terdiri dari sembilan desa dan satu kelurahan. Satu-satunya kelurahan berada di jantung kecamatan tersebut, yakni Kelurahan Bandungan.

Jika tadi jantung Kecamatan Bandungan adalah Kelurahan Bandungan, Lingkungan Junggul atau RW 4 adalah jantung dari Kelurahan Bandungan. Wilayahnya hanya sepelemparan batu dari alun-alun. Di situ, reog atau jaranan masih terus dimainkan.

“Kalau menurut sesepuh dulu, nama reog berasal dari suara yang keluar dari anyaman bambu berbentuk kuda saat dimainkan oleh para penari,” ujar salah seorang warga Junggul, Bowo Sulaksono.
Bowo adalah Penasehat Reog Sari Utama. Kelompok tersebut konon telah berdiri sejak 1920-an. Semula, namanya adalah Sarutama. Namun, karena nama tersebut dianggap terlalu “berat” maka warga sepakat untuk menggantinya menjadi Sari Utomo.

Dia tak tahu persis kapan pergantian nama itu. Namun, dugaannya kebijakan itu diambil pada 1960-1970 an. Kelompok Sarutama atau Sari Utomo sama-sama dimiliki oleh masyarakat Junggul. Anggotanya adalah warga yang tinggal di lingkungan tersebut.

Untuk diketahui, sebagian warga Junggul bekerja sebagai karyawan di tempat hiburan. Maka mereka tak jauh dari dunia malam yang gemerlap. Meski begitu, mereka ternyata tetap memiliki komitmen untuk melestarikan tradisi reog atau jaranan.

Bowo kemudian bercerita beberapa perkembangan reog di Junggul baik saat masih bernama Sarutama maupun Sari Utomo.

Yang pertama, ukuran “kuda” yang dimainkan. Menurutnya, dari cerita yang diturunkan padanya serta foto-foto hasil pencariannya di dunia maya, ukuran “kuda” yang dipakai pada masa lalu panjangnya bisa mencapai lebih dari 1,5 meter.

“Bahannya sama, dari bambu. Tapi dulu ukurannya lebih besar. Panjangnya bisa lebih dari 1,5 meter. Kalau sekarang hanya satu meteran saja,” tambahnya.

Yang kedua adalah kostum. Bowo mengungkapkan, dia pernah ditunjukkan foto pada masa kolonial dimana penari reog menggunakan pakaian semacam jas. Sementara untuk bawahan ada kemben, jarik, dan celana.

Jas atau pakaian dinas yang berwarna putih sempat membuatnya heran. Namun, dia kemudian menemukan jawaban dari salah satu sesepuh desa.

Menurutnya, jas atau pakaian dinas itu didapat dari orang-orang Belanda yang nanggap.
“Jadi sebenarnya, pada awalnya, para penari itu hanya mengenakan bawahan saja. Untuk atasan, mereka tidak memakai apa-apa. Tapi kemudian dikisahkan bila saat diminta menari untuk orang-orang Belanda, mereka kerap diberi baju atau jas. Nah, pakaian itu yang kemudian dikenakan,” terang pria yang bersama istrinya juga memiliki sanggar tari bernama Puspita Kencana.

Kostum atasan jas atau baju dinas itu kemudian ditinggallkan. Mungkin karena para penari merasa tak leluasa bergerak atau bisa jadi karena mereka tak ingin lagi mengenakan sesuatu yang berbau kolonial.
Untuk iringan musik, juga ada perbedaan. Menurut Bowo, dulu alat musik yang digunakan hanya dua, bende dan gong. Jumlahnya yakni tiga bende dan satu gong. Semuanya dipukul bergantian.

“Jadi suaranya hanya teng tong teng, teng tong teng, teng tong teng, gong,” ucap Bowo menirukan suara yang dihasilkan bende dan gong.

Irama seperti itu dimainkan terus menerus sepanjang tarian. Kadang berhenti sejenak, tapi kemudian dimainkan lagi.

Pada 1980-an peralatan yang digunakan untuk menghasilkan bunyi bertambah. Bonang dan saron mulai digunakan. Bahkan, pada awal 2000 pihaknya juga mulai menggunakan organ.
Penggunaan perangkat baru, terutama yang membutuhkan pengeras suara, membuat mereka harus beradaptasi. Untuk organ, selain menambah variasi nada, sering pula digunakan untuk menambah suasana. Hal itu tak lepas dari fasilitas peralatan tersebut yang menyediakan suara seperti angin atau gemericik air.

“Kami pernah mengikuti lomba di Kota Semarang. Kami mempersiapkan tarian dengan iringan musik menggunakan organ. Namun, ternyata panitia tidak menyediakan pengeras suara. Tentu saja, kami kelabakan. Mereka menganggap musik iringan jaranan tak perlu pengeras suara,” kenang Bowo.

Sementara itu, pada sebuah kartu pos yang dimuat buku Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe karya Olivier Johannes Raap, tampak alat musik angklung juga digunakan mengiringi penari jaranan (dalam buku disebut jatilan). Kartu pos itu kemungkinan dibuat pada 1910.

Cerita yang dibawakan pada masa dahulu dan sekarang juga cenderung berbeda. Untuk diketahui, ada beberapa kisah yang melatarbelakangi tarian jaranan.

Yang pertama yakni kisah tentang pasukan yang mengiringi pernikahan Klana Sewandana dengan Dewi Sanggalangit. Kemudian juga pasukan Mataram yang akan menyerang kompeni. Pun kisah Arya Penangsang dengan kudanya Gagak Rimang.

Sementara Prihananto pada tulisannya berjudul “Tari Jaranan: Kreasi Sunan Ngudung untuk Berdakwah” di nursyamcenter.com (diakses pada 12 April 2025) mengungkapkan, “.. kesenian jaranan merupakan penggambaran dari kisah perjuangan Raden Fatah yang dibantu oleh Sunan Kalijaga dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.”

Bagaimana dengan Reog Bandungan?
Bowo mengungkapkan bila Reog Bandungan mengisahkan prajurit Pangeran Diponegoro yang berangkat untuk menyerang pasukan Belanda di Jawa.

“Jumlah penari yang tampil dan menggambarkan pasukan itu biasanya enam orang. Formasinya adalah dua berbanjar ke belakang. Mereka yang di depan adalah pemimpinnya,” terang Bowo.
Selain para penari dengan kuda-kudaan tersebut, ada juga dua orang yang berperan sebagai macan dan dua orang lagi yang berperan sebagai sapi.

Potret Penari Reog dan Jaranan sedang Beraksi (Dokumentasi Sari Utomo)

Kemudian juga ada dua orang yang berperan sebagai angon. Mereka biasanya mengenakan topeng dan membawa tongkat atau pentungan serta cambuk.

Meski begitu, Bowo mengungkapkan, kini kisah yang dibawakan bisa beragam. Reog atau jaranan telah menjadi semacam sendratari. Mereka beberapa kali membawakan kisah legenda atau cerita rakyat.
Para pendukung Sari Utomo biasa bertemu seminggu sekali. Setiap akhir pekan mereka akan berkumpul di halaman rumah seorang warga untuk melatih gerakan-gerakan atau sekadar berbincang tentang pementasan yang sudah serta akan dijalankan.

Setiap tradisi mungkin selalu dihantui dengan istilah regenerasi. Namun tidak bagi Sari Utomo. Mereka telah memiliki pemuda-pemuda bahkan anak-anak yang siap menggantikan kakek, ayah, paman, atau tetangga.

“Regenerasi memang sempat jadi kekhawatiran. Tapi kami membuktikan persoalan tersebut bukan lagi masalah. Sekarang banyak penari atau niyaga kami masih berusia muda,” tambah Bowo penuh percaya diri.

Para pendukung Sari Utomo dan kelompok reog atau jaranan lain di Bandungan, terus menari di tengah gemerlap kawasan sebagai pusat hiburan. Saat rayonan (pentas bersama), mereka bisa menarik banyak penonton. Para seniman tersebut memegang teguh tradisi dan menunjukkan bila pelestariannya bisa sejalan dengan kemajuan zaman serta tuntutan kehidupan.(Adhitia Armitrianto)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *