
Karya: Imam Khanafi
PAGI di kampung Sorogenen, Solo, tahun 1970-an. Jalanan sempit ramai oleh derit becak. Salah satunya milik seorang lelaki sederhana, ayah dari anak kecil bernama Dji. Ia bangun sebelum ayam berkokok, menuntun becaknya keluar dengan mata sayu. Di dapur, sang ibu menyiapkan ayam bumbu untuk dipikul berkeliling kampung.
Rumah bambu mereka berdinding anyaman, berlantaikan tanah, tetapi penuh kehangatan. Di sanalah Dji kecil duduk memperhatikan. Ia menyimpan pemandangan itu di kepalanya: ayah yang letih, ibu yang berpeluh, dan hidup yang terasa berat sejak pagi. Dari situlah benih kata-kata tumbuh.
Dji suka menulis di kertas bekas, kadang hanya coretan sederhana tentang hujan atau ayam ibunya. Suatu sore ia menulis:
Hujan jatuh di jalan kecil / ayah belum pulang / ibu menutup dagangan / aku menunggu / di bawah air yang tak pernah berhenti.
Ibunya tersenyum lirih. “Dji, kenapa kamu suka menulis begitu?” “Entahlah, Bu. Rasanya enak saja. Seperti aku bisa bercerita pada kertas kalau tak bisa bercerita pada orang.”
Jawaban polos itu menjadi isyarat: kata-kata adalah rumahnya.
Masa remaja mempertemukan Dji dengan teater. Latihan di panggung bambu, lampu seadanya, penonton kampung—semuanya membuat hidupnya terasa luas. Dari panggung ia belajar, suara bisa mengguncang hati orang.
Tak hanya di panggung, ia juga mengamen puisi di alun-alun Solo. Orang-orang lewat, sebagian memberi receh, sebagian mencibir. Tapi bagi Dji, itu sekolah kehidupan.
“Kalau kata-kata hanya berhenti di kertas, ia akan diam. Kalau keluar dari mulut, ia bisa berjalan,” katanya pada seorang kawan teater.
Perlahan, puisinya berubah. Tidak lagi tentang hujan, tapi tentang perut lapar, becak sepi, harga beras, dan ketidakadilan. Kata-kata itu sederhana, tapi tajam.
Awal 1980-an, Solo mulai dipenuhi pabrik. Buruh bekerja keras, upah kecil, suara mereka tak didengar. Dji mendengarkan keluhan mereka di warung kopi, di kontrakan sempit. Dari sana, lahirlah puisinya yang terkenal:
“Hanya satu kata: lawan!”
Slogan itu ditempel di tembok-tembok, diteriakkan di demonstrasi, disalin di stensilan. Puisi bukan lagi sekadar karya seni, melainkan poster, pamflet, semboyan.
Dalam aksi buruh di Solo, ia maju membaca puisi di depan polisi. Tak lama, aparat bergerak. Gas air mata, pentungan, teriakan. Dji ikut jatuh, wajah lebam, kaki cedera. Tapi api dalam dirinya justru semakin menyala.
“Kalau kita diam, mereka semakin semena-mena,” katanya pada kawan-kawannya. “Kalau bersuara, mungkin kita dipukul. Tapi suara itu akan tinggal.”
Selain bersama buruh, ia mendirikan sanggar untuk anak-anak kampung. Mereka belajar melukis, menulis, bermain drama. “Kalau mereka tumbuh dengan seni, mereka tumbuh dengan keberanian,” katanya.
Namun bayangan gelap mulai mengintai. Orang-orang tak dikenal mendatangi rumah. Telepon berdering dengan ancaman. Sipon, istrinya, sering gelisah. “Mas, sampai kapan begini? Mereka bisa datang kapan saja.”
Dji tersenyum getir. “Kalau aku berhenti, siapa yang akan menulis?”
***
Tahun 1990-an, Dji bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Partai kecil itu dianggap musuh negara. Tapi di sanalah ia menemukan wadah. Puisinya menjadi manifesto politik.
Dalam forum PRD, ia membacakan “Peringatan”. Kata-katanya mengguncang: jangan remehkan suara rakyat, karena api kecil bisa menjelma badai. Tepuk tangan pecah. Orang-orang tahu, suara ini lebih berbahaya daripada senjata.
Aparat makin menekan. Rumahnya sering digedor. Sipon menahan gemetar tiap kali membuka pintu. “Kalau dia pulang,” kata seorang intel, “bilang: jangan main-main dengan negara.”
Di banyak kota—Jogja, Semarang, Jakarta—ia terus tampil. Dengan suara serak ia berkata:
“Kalau kalian merasa sendirian, ingatlah: kita punya kata. Kata tidak bisa dipenjara. Kata tidak bisa dibunuh.”
1997, Krisis moneter. Rupiah ambruk, harga naik. Rakyat resah, demonstrasi pecah di mana-mana. Dji ada di sana. Puisinya diteriakkan mahasiswa dan buruh. Ia berjalan dari satu kota ke kota lain, meski tubuhnya pincang akibat luka lama.
Di Semarang, ia berteriak: “Rakyat adalah api, dan api tak bisa dipadamkan!”
Sorak massa meledak. Tapi kamera intel juga merekam. Awal 1998, ia jadi buronan. Tidur berpindah-pindah, jarang pulang. Pada seorang kawan ia berpesan:
“Kalau aku tidak pulang, jaga keluargaku. Jangan biarkan mereka sendirian.”
Februari 1998, ia menghilang. Ada yang bilang ditangkap, ada yang bilang dibunuh. Negara bungkam. Pintu rumah Sorogenen tak pernah lagi diketuk tangannya. Sipon menunggu. Ia tetap menyiapkan kopi tiap pagi, seakan suaminya bisa pulang kapan saja. Anak-anak menatap jalan, menunggu ayah yang tak kembali.
Kawan-kawan mengenangnya dengan cerita. “Mas Dji tidak pernah menyuruh kami angkat senjata. Ia hanya menyuruh kami berani berkata. Tapi justru itu yang membuat mereka takut.”
Puisinya disimpan, dibacakan ulang, diterbitkan. Kalimatnya jadi semboyan: “Hanya satu kata: lawan!” Di kampus-kampus, mural wajahnya muncul. Di tembok kota, namanya ditulis. Ia hilang secara tubuh, tapi hadir sebagai simbol.
***
Kini, puluhan tahun kemudian, misteri nasibnya tetap menggantung. Negara belum pernah benar-benar menjawab. Tapi satu hal pasti: suara itu tetap hidup. Di setiap aksi menuntut keadilan, ada bait puisinya. Di setiap teriakan buruh, ada gema suaranya. Di setiap hati yang menolak tunduk pada penindasan, ada semangatnya.
Dji pernah berkata:“Kalau aku hilang suatu hari nanti, jangan cari tubuhku. Cari puisiku. Di sanalah aku akan selalu hidup.”
Dan benar, ia tetap hidup. Tidak di tubuh yang hilang, tapi di suara yang tak bisa dibungkam. (*)