siang ini hujan turun seperti suara
dari megaphone deras menyuarakan tuntutan
langit gelap mewujud malam
siang malu menampakkan muka
tubuh basah baju basah tapi hati panas
menunggu para wakil rakyat keluar
menemui demonstran

seorang ibu penjual teh seduh menghampiriku
menawarkan dagangan
dengan gelas plastik
teh aku pesan datang
tapi lama kupandangi terus menerus

teh belum kuteguk sedikit pun
hampir hilang hangatnya
nikmatnya mungkin sudah pudar
karena imajinasi dalam kepalaku
masih tertuju pada selembar kertas
tuntutan yang meraung raung basah

dalam hatiku sepi sedih perih
menggores-gores tanah
mengepalkan tinju ke tembok
dengan jemari gemeretak tak patah
tanah kucabik di sebatang kayu
membentuk kata puisi berbunyi:
“duduk tertindas atau mati melawan”

tenunan panji-panji hampir koyak
menunggu janji-janji manis para borjuisi
di balik dasi dan topeng halusinasi ditepati

kepada garda terdepan
bagai anak panah menembusi panas
segelas tehku tumpah
memaksa terus terjaga dan berteriak
woi …. bajingan yang lupa tuhan?!
keluar kalian dari gedung pesakitan itu!
kami menuntut segera cawe cawemu
di masa pemilihan umum

gelas teh kugenggam telah kosong
imajinasiku berontak atas goresan puisi
di atas tanah yang menangis
menuntunku menuntut sampai
tetes darah penghabisan
berharap keadilan diberi
sejahtera milik kami

di depan mata
sebatalyon prajurit gagah
berbaris dengan senjata-senjata terhunus
aku tetap di baris terdepan
teh hangat telah kulupakan
sebab emosi menjadi senapan
puisi jadi peluru menembusi gedung berbentuk seni kemaluan
semalu itukah kalian tak sadar diri

Herry Tany
Jakarta, 13 Mei 2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *