
Oleh: Harsa Permata
Sebelum berbicara lebih jauh tentang bagaimana teknik penulisan yang sesuai dengan garis ideologi Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER), ada baiknya kita melihat ke belakang, khususnya yang terkait dengan sejarah sastra Indonesia. Karena sastra sebagai salah satu bagian dari seni, adalah hal yang sangat melekat pada kebudayaan Indonesia, bahkan saat wilayah Kepulauan Indonesia ini masih bernama Nusantara.
Penggunaan bahasa Melayu, yang menjadi cikal-bakal bahasa Indonesia, dalam penulisan sastra, bahkan sudah dimulai semenjak abad 19, atau tepatnya pada sekitar tahun 1850-an (Erowati & Bahtiar, 2011: 11). Sebelum abad ke-20, atau sebelum dimulainya era pergerakan nasional Indonesia, karya sastra yang berkembang saat itu lebih didominasi oleh pantun, syair, gurindam, dan hikayat, yang biasanya menggunakan bahasa daerah. Era ini disebut sebagai Angkatan Pujangga Lama, isi karyanya, biasanya berupa petuah atau nasihat moral, kisah para raja, atau bangsawan (Abi Mu’ammar Dzikri dalam tirto.id, diakses 24/06/2025).
Era berikutnya, adalah Angkatan Pujangga Baru, yang namanya diambil dari nama majalah yang dikelola oleh Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisyahbana, yaitu majalah “Pujangga Baru”. Majalah ini terbit sebagai reaksi terhadap sensor penerbitan Balai Pustaka, terhadap karya para sastrawan, yang menyuarakan tentang semangat nasionalisme dan kesadaran kebangsaan (Erowati & Bahtiar, 2011: 39).
Muncul setelah pergerakan nasional Indonesia mengalami titik balik, pasca gagalnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda, pada sekitar tahun 1926-1927. Oleh karena itu, tidak heran dominasi kesadaran kebangsaan dan nasionalisme, cukup kental dalam karya-karya para sastrawan masa ini.
Salah satu puisi karya Armijn Pane, yang berjudul “Bertemu”, mungkin cukup tepat untuk mewakili nafas dan semangat sastra era Pujangga Baru ini,
Di tepi pantai laut kami bersua,
Dan kami memandang ke dalam mata masing-masing,
Yang penuh sengsara, penuh duka,
Karena negeri digenggam bangsa asing.
Dengan diam kami berjabat tangan,
Sambil menantang muka saudara yang muram caya,
Kami bersama pergi berjalan,
Melalui dataran di senjakala.
Angin meniup jubah kami,
Bagai mengembus kain mati
(Sumber: sepenuhnya.com, akses 24/06/25).
Jika dibandingkan dengan isi novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis, yang tebit pada tahun 1928, atau pada era Pujangga Lama, maka kita bisa melihat bahwa satir dalam novel tersebut, hanya berupa cemoohan dan kritik terhadap sikap para pemuda yang mengidolakan kebudayaan barat atau kebarat-baratan. Tidak ada sama sekali seruan nasionalisme dan kesadaran kebangsaan, dalam novel terbitan Balai Pustaka itu. Hanafi, si tokoh utama, digambarkan sebagai seorang laki-laki yang tega meninggalkan istrinya yang orang Minang, untuk mengejar perempuan Belanda yang dicintainya, yaitu Corrie (indonesiakaya.com, akses 24/06/2025).Sementara puisi “Bertemu” karya Armijn Pane, menuliskan tentang kedukaan dalam mata dua orang yang bertemu, akibat negerinya dikuasai oleh bangsa asing.
Pada masa pendudukan Jepang, antara tahun 1942-1945, sastra Indonesia dikembangkan sebagai alat propaganda pemerintah militer Jepang. Lembaga Sendenbu, yang berisikan wartawan, budayawan, dan seniman, dibentuk oleh pemerintah militer Jepang, untuk mengomandoi propaganda kebijakan pemerintah Jepang, dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa yang dimengerti oleh sebagian besar rakyat Indonesia saat itu (Erowati & Bahtiar, 2011: 49).
Pasca kemerdekaan, atau tahun 45, dan setelahnya, polemik dan friksi antara dua kutub sastra Indonesia, tak terelakkan, dua kutub tersebut yaitu kutub sastra yang mengusung semangat seni untuk rakyat, yang dimotori oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan kutub sastra yang mengusung semangat seni untuk seni, yang disuarakan oleh kelompok yang menamai diri mereka sebagai Manikebu (Manifes Kebudayaan). LEKRA berdasarkan pada ideologi realisme sosialis, sementara Manikebu mendasarkan diri pada ideologi humanisme universal (Erowati & Bachtiar, 2011: 56-57).
Sebenarnya puisi-puisi Chairil Anwar, sastrawan utama, angkatan 45, atau pasca kemerdekaan, yang diklaim oleh kelompok Manikebu sesuai dengan ideologi humanisme universal mereka, tidak sepenuhnya berwarna seni untuk seni. Khususnya dalam puisi “Karawang-Bekasi”, yang sebenarnya merupakan simbolisasi penghargaan terhadap para pejuang Republik Indonesia (Yulaika Ramadhani, dalam tirto.id, akses 24/06/2025).
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Antiklimaks dua kutub utama dalam sastra Indonesia ini, terjadi pasca peistiwa G-30S 1965 (Gerakan 30 September 1965). Pemberangusan terhadap para sastrawan dan seniman pendukung Bung Karno, terjadi pada saat Orde Baru berdiri, yang ditandai oleh pemberian Surat Perintah Sebelas Maret oleh Presiden Soekarno (Bung Karno) kepada Jenderal Soeharto, yang kemudian memimpin Orde Baru sampai lengser tahun 1998 (Erowati & Bachtiar, 2011: 61).
Salah seorang intelektual, yang bernama Wijaya Herlambang mengungkapkan hasil risetnya tentang pemberangusan karya-karya sastrawan dan seniman pendukung Bung Karno, yang tergabung dalam LEKRA dan lainnya, oleh Rezim Orde Baru. Pengagungan ideologi humanisme universal, yang pada dasarnya didominasi oleh liberalisme barat dan penyebaran sikap anti komunisme, adalah corak penulisan sastra pada masa itu.
Walaupun implementasi ideologi humanisme universal tidaklah sevulgar cara-cara militer dalam memanfaatkan domain kebudayaan untuk melegitimasi kampanye kekerasan mereka terhadap kaum komunis -ini sebabnya maka menjadi lebih sulit untuk diukur dan dikaji-namun demikian tujuan keduanya tetap sarna, yaitu mengibliskan komunisme termasuk ideologi dan praktik kebudayaannya. Pendeknya, upaya-upaya itu adalah bentuk legitimasi kebudayaan terhadap penghancuran komunisme (Herlambang, 2014:10-11).
Novel Arswendo Atmowiloto, yang berjudul “Pengkhianatan G30S/PKI”, menurut Wijaya Herlambang berisikan gambaran hitam putih terhadap komunisme yang diwakili PKI dan TNI (Tentara Nasional Indonesia). PKI digambarkan secara hitam, sebagai setan pengecut, yang tidak terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, sementara para Jenderal digambarkan secara putih selayaknya malaikat. Novel inilah yang mendasari pembuatan Film dengan judul sama, yang disutradarai oleh Arifin C Noer. Film ini pada msa Orde Baru dijadikan film yang wajib diputar oleh stasiun televisi milik pemerintah Indonesia, yaitu TVRI (Televisi Republik Indonesia) (Herlambang, 2014: 176-2014).
Akan tetapi, masa Orde Baru juga melahirkan karya-karya sastra yang menyuarakan perlawanan terhadap ketertindasan rakyat di bawah rezim Orde Baru. Ada dua sastrawan yang mengemuka pada masa itu, pertama, yaitu Willibrordus Surendra Broto Narendra, atau W.S. Rendra. Kedua, yaitu, Wiji Thukul.
Karya Rendra yang bernuansa kritik sosial, salah satunya adalah “Sajak Sebatang Lisong”.
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit. Fajar tiba
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan, tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
Menghisap udara yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting antri uang pensiunan
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata : bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun mesti di-up-grade disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya, tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon, Berjuta-juta harapan ibu dan bapak menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan hanya menghayati persoalan yang nyata.
(sumber: kompas.com,akses 24/06/2025)
Sementara karya Thukul yang terkenal salah satunya adalah puisi yang berjudul “Peringatan”,
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembuyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
(Sumber: kompas.com, akses 24/06/2025).
Jika dibandingkan kedua puisi karya dua penyair tersebut, akan terlihat bahwa penggunaan kata dalam puisi Wiji Thukul, lebih gamblang dibandingkan puisi W.S. Rendra. Hal tersebut dikarenakan bahwa Thukul berasal dari kelas sosial yang merasakan langsung ketertindasan ekonomi dan politik di bawah rezim Orde Baru. Sehingga boleh dikata, puisi-puisi Thukul adalah gambaran pengalaman hidup sehari-hari yang dirasakannya. Sementara Rendra, selain memang sempat mengenyam pendidikan tinggi di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, memang tidak secara langsung merasakan keterpinggiran ekonomi di bawah rezim Orde Baru.
Hal inilah, yang sepertinya membedakan jalan perjuangan yang diambil oleh Wiji Thukul dan W.S. Rendra. Thukul memilih untuk bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang melawan Orde Baru secara frontal. Sementara, Rendra tetap dalam komunitas senimannya, menyuarakan kritik terhadap rezim Orde Baru.
Pasca jatuhnya Rezim Orde Baru, atau pada masa Reformasi, dua kutub sastra kembali muncul. Pertama, adalah karya-karya sastra fiksi islami, yang mengedepankan karya-karya bertema moralitas, antisekularisme, antihedonisme, dan eksploitasi tubuh. Semangat ini salah satunya diusung oleh Forum Lingkar Pena (FLP). Kedua, yaitu karya-karya sastra yang dilahirkan oleh para sastrawan anggota Komunitas Utan Kayu (KUK), seperti Djenar Mahesa Ayu dan Ayu Utami, banyak mengusung tema-tema liberalisme dan individualisme, seperti seksualitas dan tubuh, hal-hal yang bertentangan dengan tradisi Indonesia dan ajaran agama (Nasrulloh, 2013: 4-5).
Karya-karya sastrawan Seno Gumira Ajidarma, yang bernuansa postmodern dan surealis juga mewarnai era reformasi ini. Kritik terhadap Rezim Orde Baru dan otoritarianisme, adalah unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra, sastrawan Seno Gumira Ajidarma. Di sisi lain, masa reformasi ini juga membuat karya-karya para sastrawan LEKRA, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Martin Aleida, bisa dikonsumsi secara mudah oleh khalayak luas. Bahkan salah satu novel karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu “Bumi Manusia”, diadopsi menjadi sebuah film dengan judul sama, yang dirilis tahun 2019 (Insistpress.com, diakses 24/06/2025). Karya sastra Eka Kurniawan, juga mengusung tema-tema surealisme dan realisme magis (literat.my.id, akses 24/06/2025).
Ada banyak penulis sastra pasca reformasi, yang lain seperti Linda Christanty, Leila Chudori. Untuk Linda Christanty. Jika membaca karya Linda yang terkenal, yaitu “Kuda Terbang Maria Pinto”, maka akan terlihat sekali kentalnya nuansa surealisme dalam karya tersebut. “Angin tiba-tiba bertiup kencang lewat jendela. Tubuhnya menggigi. Ia melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Mengapa perempuan itu selalu mengikutinya ke manapun?” (ruangsastra.com, akses 24/06/2025).
Menurut Yanty Nuryanah, cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” (KTMP) pada dasarnya adalah sebuah satir dalam bentuk ironi, terhadap masalah kemanusiaan, yang eksis dalam kenyataan . Cerpen KTMP ini juga adalah judul untuk buku kumpulan cerpen karangan Linda Christanty. Cerpen-cerpen di dalam kumpulan cerpen tersebut pada umumnya berisikan satir terhadap realitas sosial (Nuryanah, 2017 :63-67).
Gaya surealis juga terlihat dengan jelas pada salah satu paragraf dalam novel “Laut Bercerita”, karya Leila Chudori, “Begitu saja, berkat doa para burung, aku sudah berada di dasar laut. Dan begitu saja, ketika aku merasa dirubung oleh ratusan ikan dara, ikan sersan mayor, lantas kepalaku berdebam keras di atas salah satu koral otak. Mereka, rombongan ikan itu menciumku, mungkin merasa belas kasih kepada mayat yang begitu sia-sia.” (Chudori, 2017: 6). Novel “Laut Bercerita”, pada dasarnya adalah berisikan satir terhadap sejarah politik Indonesia, khususnya pada era rezim Orde Baru, yang diwarnai oleh berbagai kasus pelanggaran HAM, salah satunya adalah penculikan aktivis prodemokrasi.
Surealisme menurut ensiklopedi Britannica, adalah sebuah penyatuan antara alam sadar dan bawah sadar, dengan demikian dunia fantasi dan mimpi bisa menyatu dengan dunia keseharian, sehingga menjadi sebuah dunia tersendiri, yaitu surealitas, “Surrealism was a means of reuniting conscious and unconscious realms of experience so completely that the world of dream and fantasy would be joined to the everyday rational world in ‘an absolute reality, a surreality’,” ( dikutip dari britannica.com/art/Surrealism, akses 24/06/2025). Artinya gaya surealisme dalam sastra, tidak bisa dikategorikan sebagai realis, tetapi lebih kepada kritik sosial melalui penggambaran dunia fiktif, yang berdasar pada refleksi pengarang atau seniman terhadap realitas sosial.
Pertanyaan terakhir: Bagaimanakah seharusnya penulisan sastra yang diadopsi oleh Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER)?
Pada dasarnya, dalam pandangan saya, dalam setiap aliran sastra itu selalu terdapat unsur-unsur positif dan negatif. Karya-karya sastra liberal dan surealis biasanya juga banyak berisikan refleksi dan kritik atas ketidakadilan dalam hidup dan kenyataan. Karya sastra yang bernuansa realisme sosialis, juga jika disampaikan dalam bahasa yang menjemukan, tentu saja akan membuat pembaca enggan membacanya sampai selesai.
Bagi saya, gaya penulisan sastra seperti yang digunakan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi, khususnya Bumi Manusia (Toer, 2002), adalah suatu gaya yang berhasil mengombinasikan antara postmodern, yang ditandai dengan eksplorasi tema-tema kecil, dengan tema-tema besar, yang menjadi esensi aliran modern.
Kisah cinta Minke dan Annelies yang tragis. Sikap Minke yang tidak pernah menyerah memperjuangkan emansipasi dirinya dan bangsanya. Kedua hal tadi adalah bukti bahwa Pramoedya berhasil menggabungkan dua gaya penulisan yang saling berseberangan tersebut.
Propaganda cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang setara, tanpa diskriminasi , dan berkeadilan sosial, atau masyarakat sosialis, memang adalah hal yang utama dalam garis perjuangan JAKER. Persoalannya adalah bagaimana supaya propaganda tersebut menarik pembaca. Khususnya generasi yang lahir dan besar pada era digital, yang lebih banyak mendapatkan informasi secara digital, melalui gawai telepon pintar yang mereka miliki. Untuk itu, propaganda tersebut harus bisa dengan mudah diakses, ditangkap dan dipahami oleh para pembaca.
Isu-isu disabilitas, juga seharusnya tidak dikesampingkan begitu saja. Sebaliknya, isu-isu teresebut tetap harus dipropagandakan, dalam koridor untuk mewujudkan sila ke-5, Pancasila. Karena, jika berbicara tentang keadilan sosial, maka kaum difabel sebagai bagian dari bangsa Indonesia, juga harus mendapat perlakuan yang adil dan manusiawi.
Daftar Pustaka
Erowati S dan Bahtiar A. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.2014.
Chudori, L, S. Laut Bercerita. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2017.
Herlambang, Wijaya. Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Tangerang: Marjinkiri. 2014.
Nuryanah, Yanty. 2017. Satir Dalam Kumpulan Cerpen Kuda Terbang Maria Pinto Karya Linda Christanty Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia. (Skripsi Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah: Jakarta). Diakses dari https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/36468?mode=full.
Toer, P,A. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra. 2002.
Abi Mu’ammar Dzikri dalam tirto.id, diakses 24/06/2025.
britannica.com/art/Surrealism, akses 24/06/2025
indonesiakaya.com, akses 24/06/2025.
Insistpress.com, diakses 24/06/2025.
Kompas.com, akses 24/06/2025.
literat.my.id, akses 24/06/2025.
Ruangsastra.com, akses 24/06/2025.
sepenuhnya.com, akses 24/06/25.