Cover Buku Antologi Puisi HUT Ke-32 JAKER (Dok. Redaksi)

Oleh: Ignas Mau

Foto Ignas Mau (Berdikarionline.com)

Sebuah perjalanan panjang pasti melahirkan cerita yang penuh variasi: suka dan duka, sakit dan sehat, haru dan pilu, naik dan turun, terguncang dan kembali tenang. Selalu pula ada refleksi yang bisa ditarik darinya.

Tiga dekade lebih, Jaringan Kebudayaan Rakyat, yang dulu dikenal dengan nama Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat, sudah lahir dan berkembang. Tiga puluh dua tahun perjalanan JAKER adalah cerita panjang tentang kesetiaan pada rakyat. Ia bukan sekadar organisasi atau jaringan yang menggelar kegiatan budaya, melainkan sebuah sikap: bahwa kebudayaan hanya berarti bila berpihak pada kehidupan bersama. Dalam tiga dekade lebih usianya, JAKER telah menunjukkan bahwa seni bisa lahir dari sawah, dari pabrik, dari ruang belajar alternatif, dari rumah sederhana di kampung, bahkan dari jalanan yang dipenuhi gas air mata.

Buku antologi ini adalah salah satu penanda perjalanan itu. Ia tidak hanya hadir untuk merayakan, tetapi juga untuk merekam dan juga memberi makna lebih dalam. Merayakan usia 32 tahun dengan karya, sekaligus merekam jejak pemikiran, perasaan, dan pengalaman yang sedang hidup di tubuh rakyat hari ini. Maka membaca buku ini tidak sama dengan membaca kumpulan puisi biasa. Kita sedang membuka sebuah arsip kolektif: arsip yang berisi jeritan, tawa, dan harapan dari banyak suara yang mungkin tidak akan kita temukan di buku pelajaran sejarah atau di panggung festival resmi.

Puisi-puisi di dalamnya lahir dari konteks sosial yang nyata. Arahmaiani menulis tentang perusakan alam yang terus berlangsung: “Lingkungan hancur berantakan / hutan dibakar dan dibabat / dijadikan kebun kelapa sawit / tambang emas, nikel dan batubara.” Lino Sanjoyo menegaskan ketidakadilan struktural dalam pengentasan kemiskinan: “kami tidak lapar karena malas / kami lapar karena sistem.” Herry Tany menuliskan pengalaman demonstrasi dengan gamblang: “puisi jadi peluru menembusi gedung berbentuk seni kemaluan / semalu itukah kalian tak sadar diri.

Ada pula suara yang lebih lirih, yang berangkat dari kerendahan hati. Margiyono, seorang petani, menyebut dirinya dan kawan-kawan hanya “butiran-butiran biji / yang dibawa angin tak tahu ke mana arahnya”, namun justru dari butiran kecil itulah tumbuh kehidupan baru yang “menghijaukan tanah gersang, menyejukkan udara panas.” Dari sini kita melihat, antologi ini memadukan dua wajah kebudayaan rakyat: kemarahan yang meledak dan kesabaran yang terus berakar.

Selain itu, kita juga mendengar dengan jelas suara lantang perempuan. Nadia Edawarma menulis tentang Bundo Kanduang bukan sebagai simbol pasif, melainkan sebagai penentu arah: “Perempuan Minang bukan pelengkap, tapi penentu arah.” Dalam puisi lainnya, ia menulis tentang Perempuan yang Tak Ditulis di Silsilah, yang berani berdiri tanpa warisan nama besar, karena “martabat bukan warisan, martabat adalah keberanian.” Dari situ kita tahu, kebudayaan rakyat tidak pernah bisa dilepaskan dari peran perempuan yang merawat, melawan, sekaligus membuka jalan.

Semua karya ini memperlihatkan bahwa antologi bukan hanya soal menghimpun teks. Ia adalah ruang pertemuan lintas generasi. Dalam satu buku, kita bisa membaca suara penyair senior yang sudah puluhan tahun menulis dan bersuara, berdampingan dengan penyair muda yang baru memulai langkahnya. Putu Oka Sukanta, dengan sejarah panjangnya sebagai penyintas represi, menulis Puisi Akar Rumput yang mengingatkan kita akan pentingnya suara kecil yang sering diremehkan. Di sisi lain, ada penulis muda seperti Siti Nur Aisyah yang dalam Di Tepi Pesisir yang Terkoyak menghubungkan isu lingkungan dengan keberanian rakyat kecil. Kehadiran keduanya dalam satu buku menunjukkan kesinambungan: api yang dijaga, sekaligus api yang diwariskan.

Di sinilah letak penting antologi ini: ia berfungsi sebagai jembatan. Bagi generasi lama, buku ini adalah pengingat bahwa perjuangan kebudayaan belum selesai. Bagi generasi baru, buku ini adalah ruang belajar bahwa menulis puisi bukan hanya urusan indah kata, melainkan keberanian untuk bersuara. Dan bagi pembaca umum, buku ini adalah bukti bahwa kebudayaan rakyat masih hidup, masih bergerak, dan masih relevan untuk menjawab persoalan hari ini.

Maka, epilog ini ingin menegaskan: antologi ini adalah arsip kolektif. Ia tidak menampilkan satu suara tunggal, tetapi menyatukan banyak suara yang berbeda. Arsip ini penting karena dalam sejarah resmi, suara rakyat sering diabaikan atau dihapus. Di buku ini, suara-suara itu tidak hanya hadir, tetapi justru menjadi pusat.

Pada saat yang sama, buku ini juga adalah ruang pertemuan lintas generasi. Penyair muda dan senior, aktivis dan petani, seniman dan buruh, semua hadir dalam satu halaman. Pertemuan ini bukan kebetulan, melainkan cermin dari perjalanan JAKER sendiri yang selalu berusaha menjadi ruang perjumpaan, bukan ruang eksklusif.

Jack Albantani menulis dalam puisinya tentang ulang tahun JAKER: “Tiga puluh dua tahun, kita bukan sekadar angka, kita luka yang tak menyerah, kita bara yang tak padam diterpa angin sejarah.” Kalimat ini merangkum isi antologi dengan tepat: usia 32 tahun bukan soal peringatan angka, tetapi tentang bagaimana luka tidak membuat kita menyerah, dan bagaimana bara tetap dijaga.

Akhirnya, perlu ditegaskan bahwa buku ini tidak berhenti pada halaman terakhir. Ia adalah undangan. Undangan untuk melihat bahwa kebudayaan rakyat bukan cerita masa lalu, melainkan tugas masa kini. Undangan untuk membaca puisi tidak hanya sebagai karya sastra, tetapi juga sebagai bahan bakar untuk bertindak. Undangan untuk menyadari bahwa suara yang kecil sekalipun, bila disatukan, bisa mengguncang tembok yang besar.

Antologi ini adalah hadiah, sekaligus janji. Hadiah untuk perjalanan panjang yang telah ditempuh, dan janji bahwa kebudayaan rakyat akan terus bertumbuh. Semoga ia menjadi arsip yang hidup, jembatan lintas generasi, dan api yang tidak padam.

Selamat ulang tahun ke-32, JAKER. Teruslah hidup tepat di tengah jantung rakyat!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *